Monday, November 26, 2012

[Orific] Authority

Vianna Orchidia (c) 2012
Authority
Warning: colorful words, somewhat KHR-based
 
Everyone!

I tried to yell, raising my voice above the noise, but it was in vain. No one seemed to hear me, and they kept chattering away, very well ignoring me who was standing straight in the head of the table. Oh-My-God. I tried my best not to ruffle my own hair out of frustration. No, I must contain myself, and preserve my image. I am the damn next head of family, for fuck's sake.

Argh, why did I become the head, anyway? Scratch that, how did I become the head? I'm as well as the worst leader out there. Those elders must have lost their mind when they picked me. I knew there had been other candidates, but why did it have to be me?

Gosh.

I took a deep breath, a habit I'd grown to have ever since I got involved in this whole fiasco to calm myself. I reminded myself of my tutor. Of what she said about being a charismatic leader. She also told me that I had that quality in me, that's why I was chosen. I trusted her, thus tried to trust in myself.

So I tried again. Raising my voice, but not yelling. Ordering.

Silence, everyone.”

And like magic, it worked. I didn't know how, but they absolutely obeyed my order as the commotion died in a second. Even though I said it in a voice lower than before. Shit, I thought, so actually they did hear me. Bunch of assholes.

After they stopped moving and shifting, I coughed once. “Well, everyone, thank you for your presence at this dinner. I am here in Ninth's place because he had an urgent matter to attend.” I paused, inspecting each and every eyes. Like what Ninth had taught me. I looked into their soul, demanding trust and loyalty. And then, in the most gracious tone I had, I introduced myself.

My name is Kalshmia Layn, and I am the Tenth Head of Toretto Famiglia.” I smiled, knowing that it had a touch of authority. “Nice to meet you all.”

A/N:
As again, this was written out of fury and annoyance. Though what happened didn't acually match the storyline, but well, I just needed some emotion release. By the way, if you notice this is tagged under orific and fanfiction, because I'm not so sure. Although this is by no means intended to be a fanfiction, but in the end it has a KHR-aura, with all those mafia and tenth head things. I've been obsessed with KHR lately lol.

Friday, November 23, 2012

[Orific] Fantasy Alright

Vianna Orchidia (c) 2012
Fantasy Alright
Aku bernyanyi-nyanyi kecil sembari menyusuri jalan setapak yang ada di taman. Siang ini, tumben tidak tampak seorang pun berada di sini; padahal biasanya, entah pada jam berapa saja, pasti ada beberapa orang duduk-duduk di bangku yang tersebar di taman. Kurasa ini keberuntunganku. Aku bisa bebas melakukan apapun yang aku mau, tanpa harus menjaga image.

Senyumku melebar, kubentangkan tangan lebar-lebar. Cuaca saat ini cerah, matahari bersinar terang, tapi tidak menyengat karena awan-awan masih melindungi. Belum lagi angin sepoi-sepoi yang menyejukkan ini. Benar-benar hari yang sempurna. Aku sangat ingin menari di bawah langit yang bersahabat ini.

Berhubung tidak ada yang orang di sini, dengan santai aku mulai berputar-putar. Hangatnya mentari di kulit kujadikan sumber energi untuk terus menari, melompat-lompat kecil, dan bersenandung mengiringi langkah. Sungguh. Nyaman sekali bisa melakukan ini.

“Kamu semangat banget,” komentar seseorang dari balik punggungku. Suara laki-laki, yang sudah sangat kukenal. Tanpa menghentikan tarianku, aku berbalik menatapnya.

“Mataharinya hangat,” jawabku, sambil tersenyum manis.

Laki-laki itu ikut tersenyum, geli. Rambutnya yang sudah mulai panjang bergerak-gerak mengikuti anggukan kepalanya. “Benar. Hangat.”

Aku melemparkan satu cengiran lebar sebelum mulai melompat-lompat lagi. Kali ini aku menaiki undakan pembatas pinggir jalan setapak ini, meniti langkah hari-hati di deretan bata yang sempit itu. Aku merentangkan tangan untuk menjaga kesimbangan. Bukannya aku tidak pernah melakukannya; justru aku suka sekali berjalan di pinggiran seperti ini. Rasanya ada suatu kepuasan tersendiri untuk berdiri di tempat yang sedikit lebih tinggi. Dan adrenalin di darah yang sedikit meningkat dalam tiap langkah awas, kusambut dengan senang hati.

Ketika lagu yang kusenandungkan berakhir, langkahku pun terhenti, masih di atas pembatas jalan. Aku berbalik, kembali menatap lelaki itu. “Kenapa?” tanyaku. Dapat kurasakan sejak tadi matanya melekat pada segala tingkah ajaibku.

“Nggak apa-apa,” ucapnya singkat. “Lanjutin aja. Aku ikutin kamu.”

Tawaku meledak. “Ngejek, nih...”

Lelaki itu menggaruk kepalanya. “Nggak, nggak. Bukan ngejek. Beneran.”

Aku menutup mulut untuk menahan tawa, sementara melangkah turun dari tempatku bertengger. “Aku merasa diejek lho,” gerutuku, untuk menambah kebingungannya.

Namun sayang, usahaku menggodanya tidak berhasil. Dia malah menggelengkan kepala dan berjalan mendekatiku dengan tenang. Cih, saling meledek seperti ini sudah terlalu sering terjadi, dia pun sudah tidak mempan dengannya. Setelah berada di sampingku, dia menjitak sisi kepalaku pelan—cukup pelan hingga tidak terasa sakit sama sekali.

“Ayo,” ajaknya singkat. Aku mengangguk, dan bersama dengannya melanjutkan acara jalan-jalan hari ini. Aku masih dengan lompatan dan tarian kecil, dia masih dengan tatapannya yang tak pernah lepas dariku.

Matahari masih bersinar, hangat di hati kami.

-FIN-
A/N:
Argh this is just overly cuuuute! Excessive sweetness! /shot
Ini ditulis berdasarkan mimpi. Cuma satu scene mimpi sih (cuma bagian itu yang saya ingat). Oh and that scene just demanded me to write it down, down, down! >w<

Thursday, November 22, 2012

[Fanfic] Accolade

A/N:
People! Behold the first fanfiction published here! And the honored fandom is, Katekyo Hitman Reborn! Oh, and excuse the penname. I do use two pennames, one for fanfiction, one for orifics. If you find an author by the name Annasthacy Chashyme anywhere, then 99,999% she's me.
This was written while I was having a test at class. Lol. I finished too quickly that I was left bored so I started to scribble down anything and it turned out a Fon/Fem!Mammon thingy! I'm glad I can finally write something about them, because I love this couple.
Well, here it is. Enjoy!

Annasthacy Chashyme (c) 2012
ACCOLADE
Romance, T
Warning: kissing scene, flashfic with no real plot

“Viper.”

The hooded girl pouted at the chinese man. “Mu,” she said, “my name is Mammon. Stupid Fon.”

Fon smiled at her remark with sadness apparent in his features. “But the you I know is named Viper.”

“Things change, Fon. Even I do not remain the same.” She paused, giving an emphasis, “my name is Mammon.”

“But, Viper,” he insisted, stubbornly, though Mammon could distinctly see the walls inside him started to crumble. “Your voice is still the same. Your face. Even your scent,” he took a few strands of her hair and sniffed, as if making sure he was right, “still remains.”

Tuesday, November 20, 2012

[Orific] Bring The Man Down

Vianna Orchidia (c) 2012
Bring The Man Down

Warning: this is written in a whim of fury. Be careful of some colorful words. Flashfic. No real plot.

She was damn annoyed. What the hell?! She screams in her mind. I'm not doing that. Never.

But truth defied her. Truth was, she was walking down the stairs, as good as descending to an awaiting hell. No matter how much she complained, her legs still moved in perfect accordance, giving her a graceful outlook. Even her facial muscles didn't give into her inner emotion. Only her eyes, shining bright green, indicated the fury.

Shit, she cursed. I'm doomed. She cringed at the sight of her supposed 'fiance' downstairs, looking up at her expectantly. Ugh. How she hated expectations. She'd had enough of gleaming eyes directed at her. She'd had those since childhood. Even before she could recognize them, people had started to expect her doing things.

Only because she was the sole daughter of the Archduke. Ha. What a joke.

Monday, November 12, 2012

Ironi

Ironis. Itu yang saya rasakan. Sebenarnya mereka paham bahwa mencontek itu buruk. Mereka paham bahwa itu sesuatu yang harus dihentikan.

Bagaimana saya tahu?

Jadi begini. Kelas kami mendapat tugas untuk membuat cerita, semacam drama lah, yang harus mengandung pesan moral. Nah, salah satu teman kelompok saya bilang, "bagaimana kalau tentang masalah mencontek? Jadi nanti ada yang ketahuan nyontek terus dihukum terus kapok gitu!"

Di balik satu usulan inosen seperti itu, saya menemukan ironi yang mendalam. Tidakkah itu berarti mereka paham bahwa mencontek itu tidak boleh? Bahkan mereka tahu kalau mencontek itu akan diganjar hukuman.

Tapi kenapa masih dilakukan juga?

Ironis nggak sih?

Saturday, November 10, 2012

[Orific] Sang Pahlawan

For [#FF2in1] sesi 10 November 2012 (1)
Theme song: Hymne Guru

Senyumnya menawan. Begitu lepas, riang, sama sekali tidak tampak terbebani.

Di tengah-tengah siswa sekolah dasar yang tubuhnya ceking-ceking itu, Pak Guru jadi satu-satunya yang beda. Kulitnya paling putih. Posturnya tegap walau tidak seperti atlet apalagi binaragawan. Bagian wajahnya juga kelihatan jauh lebih berisi daripada anak-anak malang itu, yang hanya bisa makan sehari sekali.

Di tengah-tengah muridnya, cinta kasih mengalir deras. Baik dari beliau, maupun sebaliknya. Arus dua arah. Pernah, kulihat seorang anak yang belum becus mengeja menggambar sesuatu untuk Pak Guru. Itu gambar paling kasar yang kutahu, digoreskan menggunakan krayon pinjaman dengan sedemikian rupa, hingga membentuk sebentuk wajah. Matanya ramah dan giginya berderet--wajah Pak Guru.

Gambar itu sekarang dibingkai dan disayang-sayang oleh Pak Guru.

Pernah juga, Pak Guru kedatangan tamu di sekolah. Orangnya tinggi, rambutnya rapi, bajunya berkilau. Anak-anak berebutan menyalaminya, sekedar untuk mencium harum minyak wangi yang segar, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan bau keringat yang menempel di seragam mereka. Orang itu lalu bicara lama dengan Pak Guru di ruang guru. Konon dia alumni. Mantan murid. Katanya sekarang dia jadi manajer di perusahaan besar. Kaya. Sukses.

Tapi sama sekali tidak melupakan jasa pendidiknya dulu.

"Berkat Pak Guru," begitu yang mereka dengar. Dan anak-anak berseragam putih-merah itu, bersorak-sorai. Mengelu-elukan Pak Guru, seolah ialah pak presiden yang tempo hari lewat di jalan besar di kota sebelah sana. Semuanya setuju, bahkan tanpa dirunding, bahwa mereka bisa mengecap pendidikan seadanya ini karena Pak Guru.

Setelah pria itu pergi dengan janji memperbaiki gedung sekolah dan memberi tunjangan serta beasiswa pada Pak Guru juga murid-muridnya, sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa pun berjalan pulang ke rumah. Di mana aku sudah menunggu beliau, dengan dua cangkir teh hangat kesukaan kami. Ketika Pak Guru tersenyum lebar, sumringah karena mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak di desa ini, aku memeluknya.

"Kami nggak akan lupa, Pak. Makasih banyak."

Mirai - Kalafina

MIRAI
-Kalafina-
Mahou Shoujo Madoka Magica ~Hajimari no Monogatari~
 
夢を叶えて
一人で探してた星の
同じ光を
君が見つめているだけで
いつもの夜が闇に染まる頃
走り出せるはず
一人じゃない心たちのように   
[yume wo kanaete
hitori de sagashiteta hoshi no
onaji hikari wo
kimi ga mitsumete iru dake de
itsumo no yoru ga yami ni somaru koro
hashiridaseru hazu
hitori janai kokoro-tachi no you ni]

明け行く空は
誰かが信じた明日を
裏切り続けて
それでも小さな祈りを
諦めないよ
届かないと泣き濡れた
君をただ抱きしめたい
側に居るよ、 ずっと   
[akeyuku sora wa
dareka ga shinjita ashita wo
uragiri tsuzukete
soredemo chiisana inori wo
akiramenai yo
todokanai to nakinureta
kimi wo tada
dakishimetai
soba ni iru yo
zutto]

そんな寂しい心じゃ
大事なものも失くしてしまうよ
少し優しい未来を信じていいんだと
かなしみを暖めてあげたい   
[sonna sabishi ni kokoro ja
daijina mono mo
nakushite shimau yo
sukoshi yasashii
mirai wa shinjitai
minna
kanashimi wo atatamete
agetai]

[arti sartia isorta mia
isadia sadore asortia idia
madia sorte idora
idaso adi aro]


街は静かに
君が描いた日々の中
数えきれない
夢の灯りが消える頃
いつもの夜が輝き始める
君を守りたい
一人じゃない心で行く
未来
[machi wa shizukani
kimi ga kaita hibi no naka
kazoe kirenai
yume no akari ga kieru koro
itsumo no yoru ga kagayaki hajimeru
kimi wo mamoritai
hitori janai
kokoro de yuku
mirai]

This song is very beautiful. The music feels very energetic but the lyric is kinda hopeful and sweet. <3

lyric from canta-per-me.net

Thursday, November 8, 2012

Contek-Contekan Hore!

[Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam lomba blog oleh Indonesia Berkibar, Gerakan Indonesia Berkibar Blog Competition 2012 dengan tema "Guruku Pahlawanku".]


Lie of lives to the netherworld,
Lie in yourself and your words,
Lie because you are the liar,
Vianna desu.

 Kalau ditanyai pendapat soal kualitas pendidikan Indonesia saat ini, yang jadi perhatian saya cukup yang ada di lingkungan saya sendiri. Satu masalah yang begitu berat, belum ada solusinya. Satu masalah yang menjadi akar dari berbagai masalah lain.

Bobroknya kejujuran.

Wednesday, November 7, 2012

Awal dan Kemudian

Ada yang bilang, sudah naluri dasar manusia untuk tetap di dalam zona nyamannya. Berlindung dari badai bernama perubahan. Menjauhi duri-duri kehidupan yang kadang, bisa menusuk dengan begitu kejam, tak kenal ampun. Menusuk sampai kita kehabisan darah dan kehabisan napas.

Saya jadi berpikir. Apakah saya pun seperti itu? Sejauh mana yang dikatakan sebagai 'zona nyaman' bagi saya?

Thursday, November 1, 2012

[Orific] Denganmu, Bermimpi

For #FF2in1 sesi 1 November 2012 (1)
Theme song: Perahu Kertas - Maudy Ayunanda

Di dunia ini, hanya piano yang bisa menggugah hatiku. Sejak kecil aku menyentuh tuts-tuts hitam-putih, sejak kecil aku mendengar dentingnya, dan sejak kecil aku berkawan dengan piano. Satu grand piano warna putih kepunyaan keluargaku, sudah menjadi sahabat sehari-hari. Kalau dulu ada ayah dan ibuku yang memainkannya, sekarang piano itu milikku seorang, seorang.

Dulu aku menganggap, yang bisa mengalun dalam jiwaku terbatas pada piano itu dan laguku sendiri . Ternyata aku salah. Salah. Ternyata, lagunya pun mampu bergaung indah di relung hati ini.

Aku tidak bisa berhenti. Menonton jemarinya menari di atas tuts, menyenandungkan lagu favoritku. Aku tidak kuasa mengalihkan pandangan dari entakan kepalanya yang mengikuti melodi dari permainan pianonya. Aku melihatnya, seperti melihat seseorang yang sudah lama kucari, yang sudah lama hilang dalam lautan manusia.

Seperti menemukan pelabuhan tempat pelayaranku akhirnya berhenti.

Ketika lagu yang dimainkannya habis, aku bertepuk tangan pelan. "Kamu hebat," pujiku singkat sembari melangkah ke sisinya, lalu turut duduk di kursi piano.

Dia hanya tertawa ringan. "Terima kasih," jawabnya, sementara nada-nada indah kembali mengalun. "Mau main juga?"

Tanpa bicara aku meletakkan ujung jemariku di atas tuts piano, siap mengikuti musiknya. "Bagaimana kalau kita buat lagu baru?"

"Hmm, boleh juga. Dari tadi aku ingin memainkan melodi seperti ini," dia menekan beberapa tuts secara simultan, dan hatiku membuncah saat mendengarnya. Rasanya seakan-akan aku langsung menemukan nada yang cocok untuk melengkapinya. "Bagaimana menurutmu?"

"Lalu begini," kini giliranku memainkan kumpulan nada, harmoni menyatu dengan miliknya. "Manis, kan?"

"Hmm...," ia bergumam sementara aku terus berkreasi dengan laguku. "Terdengar seperti kisah kita. Manis, penuh kejutan, mengikuti tempo takdir."

Mau tak mau aku tertawa. "Tidak biasanya kamu puitis begitu," ujarku. Lagu yang kumainkan memasuki bridge, di mana aku memainkan nada-nada yang kompleks--seperti kisah kami, yang sempat menemui tanjakan terjal serta turunan curam. Namun setelah nada yang cukup melelahkan itu, bagian akhirnya berupa not-not simpel yang begitu ringan, begitu manis.

"Dan, kisah kita berakhir dengan ucapan 'aku mencintaimu'," cetusnya.

Aku tertawa lagi, dan menambahkan, "juga 'terima kasih'."

Setelah jemariku berhenti bergerak, namun tetap bertahan di atas tuts piano, kami saling berpandangan. Bisa kurasakan senyumku melebar. "Aku bersyukur bisa menemukanmu," bisikku.
Kusandarkan kepala di bahunya, membiarkan ia mengusap kepalaku.

"Aku tahu kita pasti bisa bertemu."