Saturday, June 25, 2016

[Fanfic] To Learn Something New (ch 25)

Title: To Learn Something New
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Fandom: Final Fantasy XIII Series
Character: Hope Estheim, Elida
Rating: K
Genre: General
Disclaimer: Final Fantasy XIII is property of Square Enix. I do not own the series and the characters, and I do not gain any profit from this fanfiction
Warning: Me trying to write soulmate AU. Light is not even mentioned here, oh la la.

signal /sig·nal/ n something (such as a sound, a movement of part of the body, or an object) that gives information about something or that tells someone to do something

It was not supposed to be like this. Hope stared at his mark, a small red lightning bolt on the outside of his left wrist, in horror. Next to him, an equally horrified girl clenched the seams of her skirt until her knuckles went white. Both were silent, drown in their thoughts, until Hope gathered his courage and turned to his girlfriend.

Friday, June 24, 2016

[Orific] Serah

If I showed you my flaws
If I couldn't be strong
Tell me honestly: would you still love me the same?
[Locked away - R. City ft. Adam Levine]

Ini kesalahan. Tidak seharusnya aku melewati ruang kelas itu beberapa menit yang lalu. Tidak seharusnya aku memasang telinga baik-baik hanya karena guru favoritku itu yang sedang berdiri di depan murid-murid. Tidak seharusnya aku menginterpretasikan kata-kata beliau dalam artian seperti ini. Salah, semuanya salah. Kenapa aku melakukannya?

Sembari menatap kosong tembok kotor yang membatasi halaman belakang sekolah, aku mengulang-ulang perkataan Pak Surya yang kutangkap dari balik dinding ruang kelas yang kulewati saat akan menuju kamar kecil. Seperti biasa, ketika melewati ruang-ruang kelas aku selalu mengawasi siapa guru yang sedang mengajar dan bagaimana situasi di dalam kelas tersebut. Kadang aku membaca tulisan yang berhamburan di papan tulis. Kadang pula aku memperlambat langkah dan ikut mendengarkan ceramah bapak-ibu guru. Dan, hal itu pulalah yang kulakukan saat melewati ruang kelas 12-Bahasa-1, di mana kulihat guru bahasa Indonesia favoritku sedang bersuara.

Pak Surya adalah lelaki berperawakan kurus tinggi, dengan rambut menipis yang dibiarkan tumbuh sedikit panjang sampai leher. Gara-gara rambut panjangnya ini, beliau menguarkan aura yang 'nyastra banget'. Ditambah lagi, beliau selalu punya kisah yang seru dan menstimulasi otak di tiap jam pelajarannya. Aku sangat menyukai guru bahasa Indonesia satu ini.

Oleh dasar ketertarikan itulah, tanpa pikir panjang aku berusaha mendengarkan kisah apa yang tengah dibagikan beliau untuk murid-murid kali ini. Beberapa kalimat pertama tidak kupahami sama sekali, karena aku tidak menemukan konteksnya, tapi satu kalimat berhasil membuatku terpaku.

“Kalau begini terus, lebih baik saya keluar saja dari sekolah ini.”

Sedikit panik, aku mendekatkan telinga ke dinding. (Tentu saja sambil tetap menyembunyikan diri. Tidak lucu kalau aku ketahuan menguping suasana kelas lain di saat aku seharusnya sedang menghitung sin dan cos.) Aku memang pernah mendengar desas-desus bahwa Pak Surya mulai memikirkan untuk mundur dari jabatannya saat ini, tapi dengan alasan apa, aku dan teman-temanku tidak pernah tahu. Ini tentunya jadi kesempatan emas untuk mendapatkan informasi.

“Dari sekian tahun yang lalu, dengan pemimpin sekolah yang berbeda-beda, sekolah ini tetap saja tidak mengalami kemajuan. Kesejahteraan gurunya masih dipertanyakan. Kurikulum berantakan. Murid-murid tidak diperhatikan secara memadai. Padahal saya sudah berusaha untuk membantu, memberikan aspirasi—tapi kalau tidak ada niatan berubah, mau bagaimana lagi? Lebih baik saya pergi.”

Oh Tuhan. Pak Surya merasa tidak puas dengan sekolah ini? Tidak berubah, maksudnya apa? Rasanya sekolahku baik-baik saja... Memang ada saat-saat di mana aku merasa tidak nyaman dengan berbagai kebijakan sekolah, tapi apakah seburuk itu di mata Pak Surya? Aku menarik napas dalam-dalam.

“Lihat saja, sudah berapa tahun sekolah ini absen dalam berbagai perlombaan. Lomba pidato tempo hari saja tidak menang, padahal dua tahun kemarin kita juara nasional. Di mana semangat memperbaiki diri dari sekolah ini?”

Hatiku mencelos. Lidahku kelu. Napasku tersendat.

Peserta lomba pidato yang gagal mempertahankan kemenangan beruntun sekolah kami, itu aku.

Segera aku memacu langkahku. Menjauh. Tidak ingin mendengarkan lebih lanjut. Secara otomatis tubuhku sampai di halaman belakang sekolah, yang sepi senyap karena ini masih jam pelajaran. Dengan napas terengah, yang lebih dikarenakan syok daripada lelah setelah berlari, aku menyandarkan punggung di salah satu sudut. Setelah berdiam diri beberapa saat pun, napasku masih putus-putus. Dadaku masih sakit. Ucapan Pak Surya masih terngiang.

“Karena aku kalah,” sadarku. “Karena aku gagal.”

Pak Surya yang kukagumi, beliau ingin pergi, karena aku tidak berguna. Aku sudah mengecewakan guru-guruku, teman-temanku, bahkan kakak-kakak kelasku yang tahun lalu maupun dua tahun lalu memenangkan lomba pidato tersebut. Aku tidak serius dalam berlatih. Aku tidak bersungguh-sungguh saat mempersiapkan diri. Aku tidak memberikan yang terbaik ketika tampil.

Karena aku kalah, Pak Surya akan meninggalkan kami.

Aah, kalau saja waktu bisa berputar kembali. Aku ingin memutar balik waktu. Aku ingin mengulang lagi penampilanku di lomba pidato. Mungkin dengan demikian aku bisa melakukan yang lebih baik. Atau mungkin hasilnya akan sama saja. Isi pidatoku tidak sebagus itu. Kenapa aku memilih tema abstrak untuk pidatoku sih?

Aah, kalau saja waktu bisa berputar kembali. Aku ingin memutar balik waktu. Aku ingin mengulang lagi waktu pembuatan naskah pidato. Mungkin dengan demikian aku bisa membuat yang lebih bagus. Atau mungkin hasilnya akan sama saja. Kemampuanku tidak sebaik itu. Kenapa aku mendaftarkan diri untuk lomba ini sih?

Aah, kalau saja waktu bisa berputar kembali. Aku ingin memutar balik waktu. Aku ingin mengulang lagi saat pendaftaran peserta lomba pidato dibuka. Dengan demikian aku tidak usah mendaftar. Dengan demikian siswa lain yang akan berkompetisi. Dengan demikian siswa lain yang akan tampil dalam lomba, memberikan yang terbaik, dan membanggakan sekolah.

Dengan demikian tidak ada yang perlu pergi dari sekolah ini.

Hanya saja, aku tidak bisa memutar balik waktu. Menyadari hal ini, aku menggigit bibir kuat-kuat. Membiarkan rasa sakitnya berputar di otak. Agar aku bisa mengabaikan panasnya mataku, basahnya pipiku, gemetarnya tubuhku. Rasa sakit bagus. Kalau tidak bisa memutar balik waktu, setidaknya aku bisa menerima sakit. Bukankah aku patut dihukum karena sudah mempermalukan almamater? Benar. Bagaimana kalau sekalian menghilang saja? Ada di sini pun aku tidak berguna untuk siapapun.

Biar aku yang pergi.

Aku tidak kuat menahan sakit ini.


Laughing, laughing, until my cheeks start to hurt
So that I don't betray the dreams we saw that day
Singing, singing, until my chest feels tight
So that I don't betray the expectations again
[Forty-seven - Mikito-P]