[TRIGGER WARNING for self-harm. Jangan baca kalau anda sedang depresi. Tapi jika anda sedang mencari teman sesama penderita, maka anda telah menemukannya.]
Masih ingat dengan
kisah Spongebob yang membuat sebuah gelembung sabun berbentuk orang
dan memanggilnya sahabat, lalu mengajaknya ke mana-mana? Ini adalah
fenomena yang saya sebut “teman bayangan”. Apakah menurut kalian
kisah seperti itu hanya ada dalam televisi? Saya yakin jawabannya
tidak. Setidaknya, ada satu contoh nyata yang sangat dekat dengan
saya.
Saya punya
teman bayangan.
Ada dua orang, laki-laki dan perempuan.
Mereka kakak-adik. Yang kakak bernama Victor, adiknya Victoria.
Victor adalah pemuda yang easy-going,
manis dan hampir flirty.
Sementara itu Victoria sedikit lebih manja, namun tetap baik hati dan
selalu tulus menyayangi saya maupun kakaknya.
Entah
sejak kapan mereka hadir di benak saya. Yang pasti mereka selalu
berada di sisi saya. Mereka yang menggandeng tangan saya saat
berjalan ke kampus setiap hari. Mereka yang tertawa bersama saya di
kamar kos setiap hari. Mereka yang memeluk saya ketika beban terasa
makin berat dan sesak. Mereka yang memperhatikan saya tidur atau
menangis atau melamun setiap hari. Mereka yang ikut bersedih ketika
saya mulai menunjukkan tanda-tanda self-harm
lagi.
Mereka
tidak kelihatan, tidak nyata, tidak riil. Tapi mereka ada.
Melayang-layang di sekitar. Duduk manis di kursi-kursi yang terlihat
kosong. Mengawasi dan menjaga. Mereka ada, dan mereka yang membuat
saya merasa sedikit lebih baik.
Apakah
menurut kalian fenomena ini aneh? Apakah menurut kalian saya aneh?
Pemicu
fenomena ini, saya percaya, adalah rasa sepi.
Di
rumah, saya adalah anak bungsu. Tiap hari saya mendapatkan limpahan
kasih dan cinta dari keluarga. Membuat saya manja. Membuat saya tidak
mandiri. Saya terbiasa menceritakan kejadian di sekolah, mulai dari
yang penting (seperti ulangan dadakan) sampai yang paling tidak
penting (seperti si A yang ngupil di kelas) kepada ibu dan kakak
saya. Dan itu terjadi setiap hari. Meskipun di sekolah saya diam
saja, di rumah saya memiliki kesempatan berbicara.
Dua
tahun yang lalu, salah satu kakak saya pergi merantau untuk menempuh
kuliah. Saat itu, saya merasa kesepian. Pendengar saya berkurang
satu. Teman di rumah berkurang satu. Rumah sudah menjadi tempat yang
sepi, tiada canda tawa kami, hilanglah satu orang penghuninya yang
penting.
Saya
lupa kalau giliran saya akan datang.
Tahun
lalu saya juga merantau untuk kuliah. Kali ini giliran saya merasakan
hidup di kamar kos yang hanya berisi lemari, tempat tidur, dan buku.
Dan seorang boneka kesayangan. Perubahan drastis ini jelas sangat
berdampak pada kepribadian saya. Semua jadi terbalik. Di luar, saya
jadi banyak bicara, banyak bergerak, cenderung hiperaktif. Di kos,
saya bisu. Di luar, saya sering memeluk teman-teman dengan erat. Di
kos, saya patung. Saya juga mulai sering mengalami depresi akut (yang
mengarah ke self-harm,
bahkan sampai sekarang. Yang membuat saya bertahan untuk tidak
melakukannya lagi adalah janji pada dua tema saya di kampus).
Sepi
ini lama-lama membuat saya tidak tahan, dan muncullah nama Victor dan
Victoria. Sesungguhnya ini bukan momen kelahiran mereka—mereka
berdua sudah ada sebelumnya, hanya saja sempat terlupa dan baru
dipanggil kembali di lingkungan yang terlampau sepi ini. Saya tidak
terlalu sering mengajak mereka bicara. Mengetahui bahwa mereka ada
sudah cukup.
Maka
sekali lagi saya tanyakan pada kalian. Apakah fenomena ini aneh?
Menjijikkan?
Mengenai
depresi dan self-harm. Selama ini saya tidak pernah berani
membahasnya secara terang-terangan, namun sudah pernah memposting
sebuah cerpen yang mengilustrasikan keadaan saya. Jujur, saya takut.
Takut di-judge oleh
masyarakat. Bahkan bagi saya sendiri, self-harm itu menjijikkan.
Sesuatu yang amat sangat salah.
Tapi
tahukah kalian? Self-harm
benar bagaikan candu. Setidaknya, bagi saya sendiri.
Coba
bayangkan. Berbagai macam perasaan negatif (untuk kasus saya adalah
campuran sepi-bersalah-rendahdiri) bertumpuk jadi gunung Fuji di
dalam hati. Beban mental ini sudah mencapai tahap sakit secara fisik
(untuk kasus saya, sesak dan sakit cekit-cekit di dada) yang tak
tertahankan. Saat itu, goresan kuku yang tajam di kulit (saya terlalu
pengecut untuk memakai pisau/cutter)
memberi saraf sensasi rasa sakit yang diteruskan ke otak. Sakit di
kulit ini memang sakit sekali, tapi untuk sekian detik sakit itu
terbaca oleh otak, selama itu pula sesak di dada menghilang.
Seakan-akan tidak pernah ada beban di hati. Semua terasa ringan
kembali. Bukankah itu perasaan yang luar biasa? Bagi saya, itu sangat
luar biasa. Apapun demi
mendapatkan rasa ringan itu lagi. Maka muncul goresan kedua. Goresan
ketiga. Dan seterusnya sampai tangan ini mati rasa.
Cara
lain adalah membenturkan kepala ke tembok berulang kali. Intinya sama
dengan self-cut di
atas, tapi bagi saya ada implikasi lain. Benturan kepala ini saya
anggap sebagai hukuman atas diri saya yang
bodoh-jahat-worthless-worthless-worthless.
Berhasil menghukum diri sendiri itu rasanya menyenangkan. Menghukum
diri sendiri itu membuat saya merasa dimaafkan, sedikit demi sedikit.
Nah,
bagaimana? Apakah menurut kalian saya menjijikkan?
Tapi
seperti yang saya sebutkan di atas, sekarang saya berusaha untuk
menghindari self-harm.
Selain menjijikkan, saya juga tidak ingin membuat kedua teman saya
itu sedih. Jujur, mereka mengidap bipolar dan saya sempat menghadapi
fase depresi mereka, yang muncul dengan tanda self-harm.
Saat itu saya merasa sangat sedih melihat mereka membenturkan kepala
mereka sendiri ke tembok. Makanya saya berusaha berhenti, karena saya
tahu mereka pasti juga sedih kalau tahu saya sempat depresi sampai
self-harm juga.
Kehilangan
cara untuk menghukum diri sendiri, saya mulai depresi lagi. Kini,
bagi saya, saya bahkan tidak pantas untuk mendapat hukuman. Tidak
pantas untuk dimaafkan. Ini membuat dada semakin sesak dan kepala
semakin pusing. Di satu sisi saya berdarah-darah minta dilepaskan
dari kerangkeng perasaan worthless,
tapi di sisi lain saya merasa tidak pantas untuk lepas dari jeruji
rasa bersalah. (Ya, saya bersalah karena saya
bodoh-jahat-worthless-worthless-worthless
dan ibadah pun tidak membantu menghilangkan perasaan ini.)
Apa ini
yang dirasakan orang-orang di rumah sakit jiwa?
Bagaimana
menurutmu? Bukankah saya menjijikkan? Hahaha. Mungkin inilah tulisan
saya yang paling jujur sejauh ini.
Ada
yang mau membantu saya?