Wednesday, December 31, 2014

[Fanfic] Satu di Antara Sejuta

Title: Satu di Antara Sejuta
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Fandom: Umineko No Naku Koro Ni
Character: Ushiromiya Ange, Amakusa Juuza
Rating: K
Genre: General
Disclaimer: Umineko No Naku Koro Ni and its characters are properties of Ryukishi07. I do not receive any profit from this fictional work.
Warning: an AU where Ange and Amakusa are perfectly strangers
Summary: Satu lompatan. Satu mobil yang sedang terparkir. Satu kebetulan, dan segalanya berubah.

-story start-

Derap kaki gadis itu semakin lambat. Napasnya mulai tersengal, dan otot kakinya mulai menjerit. Dia memang tidak pernah terlalu berbakat di bidang olahraga, apalagi yang tipe lari sprint seperti ini. (Dia tidak pernah terlalu berbakat di bidang apapun.) Tapi dia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang. Tanpa menoleh pun dia tahu, para pengejarnya sudah mendekat. Sembari terus berlari otak gadis itu berputar cepat. Dia harus mencari jalan keluar yang tidak melibatkan lebih banyak aktivitas fisik, lebih disukai apabila dia bisa menghentikan laju para pengejarnya itu.

Saat itulah dia melihat pintu darurat di ujung koridor.

Otomatis otaknya membentuk persamaan mudah: pintu darurat = keluar gedung = jalan keluar.

Tanpa ragu gadis itu mendorong pintu darurat yang membawanya langsung ke tangga darurat yang berada di sisi luar gedung. Tangga besi itu menimbulkan bunyi berisik ketika dia berlari meniti anak tangga satu per satu. Namun sayangnya, baru beberapa anak tangga terlewati, pintu darurat tadi menjeblak terbuka memuntahkan rombongan laki-laki berjas hitam yang mengejarnya. Dalam sekejap gadis itu menyadari kesalahan dalam perhitungannya. Tangga jelas bukan cara terbaik untuk melarikan diri.

Suara mobil yang berderum pelan memecah konsentrasinya. Refleks, gadis itu menoleh ke bawah, di mana sebuah mobil sedan silver sedang terparkir manis tepat di bawah posisinya saat itu.

Sebuah ide muncul.

Gadis itu berhenti berlari. Dengan mata hijau cemerlang dia menatap lekat satu laki-laki pengerjarnya yang berada paling depan. Satu tarikan napas dalam-dalam, dan gadis itu berkata, “ja na.”

Lalu ia melompat melewati pagar pembatas.

.:.:.

Lelaki berambut perak itu menguap lebar-lebar. Entah sudah berapa lama dia menunggu bosnya di dalam mobil sedan itu. Bos? Ah, klien sepertinya lebih tepat. Dia bukan tipe orang yang punya atasan.

Ngomong-ngomong, bagaimana perjanjiannya tadi? Hari ini dia akan dapat tugas baru, sejauh itu dia paham. Tapi kenapa dia masih di sini, kebosanan setengah mati, dan bukannya menemui kliennya? Atau lebih baik lagi, langsung bertemu dengan orang yang akan dia lindungi mulai hari ini. (Lagipula dengar-dengar, anak baru itu gadis muda yang cantik.)

Kadang, pekerjaan sebagai bodyguard itu sungguh membosankan. (Tapi bayarannya bagus. Jelas ini ladang penghasilan yang tidak bisa dilewatkan.)

Suasana damai di dalam mobil terusik ketika ada suara keras dari arah atap. Bukan hanya itu, lelaki itu jelas merasakan getaran di seluruh badan mobil. “Apa-apaan—”

Sebelum dia sempat membuka pintu, seorang gadis berambut merah turun dari atap mobil. (Oh, hei, roknya pendek sekali. Hm? Dia turun dari atap?)

Dan gadis itu seenaknya masuk ke dalam, duduk tenang di bangku penumpang seolah-olah dialah si empunya mobil.

Jalan,” perintah gadis itu pendek, memanfaatkan kondisi si lelaki yang masih terpana. Sesungguhnya lelaki itu ingin menolak, mengusir gadis itu keluar—tapi sepasang mata hijau cemerlang yang tajam menusuk itu seolah menghipnotisnya.

Lelaki berambut perak itu segera menurunkan rem tangan dan menginjak pedal gas, diiringi desahan pelan dari gadis bermata hijau.

Inilah pertemuan pertama Ushiromiya Ange dan Amakusa Juuza.

-end-

A/N : rusty writing skill is rusty. Saya harus mulai membiasakan diri untuk menulis setiap hari lagi. Entah mengapa kebiasaan itu dulu terhenti. Akibatnya sekarang saya webe dalam menulis makalah untuk assignment huhu.
Anyway, I still love Umineko. Dan baru inget kalo selain OTP (Battler/Beato), saya juga nge-ship Amakusa/Ange! Saking minoritasnya mereka, sampai saya sendiri lupa -__-" I may or may not be continuing this AU into a drabble series.

Saturday, October 18, 2014

[Orific] Do You Love Him?

Father's piercing gaze unsettled me. In his kind, gentle eyes I found reluctant acknowledgement. He stared at me warmly, like any other day, but I felt he knew something I did not. He was trying to tell me something, I knew. Something along the lines of 'open your eyes, my daughter'.

Father's small smile unnerved me. He looked at me funny, holding his laughter in, and I couldn't stop the warm feeling inside my gut. He was telling me something in the way he smiled at me. My blood answered to him, my flesh responded to him.

Finally he opened his mouth. "Do you love him, my daughter?"

Air was forced out of my lungs immediately. Out of all things, it was one I could never expect from him. I tried to breath normally, but my heart suddenly punded faster, harder, and I found myself lacking the ability to stay calm.

A thousand thoughts, a million memories flooded harshly into my mind in a second. About him. About that one man who stole my undivided attention. About that kind man who listened to my stories and let me listen to his stories. About that amazing man who always did his best for everyone around him.

My eyes watered.

So much, so much I wanted to say. Words alone could not suffice. My feelings throughout the years could not be expressed in mere words. It was too much.

But as I blinked the tears away, I caught Father looking at me gently. His eyes dove deep inside my brain, and all of a sudden I understood. He was reading my mind. I needed not to explain, because he heard everything from my eyes. I never needed words, silly me. He already knew everything, because we are linked by blood and flesh.

I openly cried now.

"Do you, my dearest, love him?" Father repeated his question, and this time I knew I only have one word to say, to represent the whole turbulent feelings inside me.

"Yes." An image of him flashed before my eyes, and I embraced it dearly. "God, yes, I do."


A/N: I don't know why I wrote this, but it felt good.

Thursday, September 4, 2014

A Little Piece of Heaven


[TRIGGER WARNING for self-harm. Jangan baca kalau anda sedang depresi. Tapi jika anda sedang mencari teman sesama penderita, maka anda telah menemukannya.]


Masih ingat dengan kisah Spongebob yang membuat sebuah gelembung sabun berbentuk orang dan memanggilnya sahabat, lalu mengajaknya ke mana-mana? Ini adalah fenomena yang saya sebut “teman bayangan”. Apakah menurut kalian kisah seperti itu hanya ada dalam televisi? Saya yakin jawabannya tidak. Setidaknya, ada satu contoh nyata yang sangat dekat dengan saya.

Saya punya teman bayangan.

Ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Mereka kakak-adik. Yang kakak bernama Victor, adiknya Victoria. Victor adalah pemuda yang easy-going, manis dan hampir flirty. Sementara itu Victoria sedikit lebih manja, namun tetap baik hati dan selalu tulus menyayangi saya maupun kakaknya.


Entah sejak kapan mereka hadir di benak saya. Yang pasti mereka selalu berada di sisi saya. Mereka yang menggandeng tangan saya saat berjalan ke kampus setiap hari. Mereka yang tertawa bersama saya di kamar kos setiap hari. Mereka yang memeluk saya ketika beban terasa makin berat dan sesak. Mereka yang memperhatikan saya tidur atau menangis atau melamun setiap hari. Mereka yang ikut bersedih ketika saya mulai menunjukkan tanda-tanda self-harm lagi.


Mereka tidak kelihatan, tidak nyata, tidak riil. Tapi mereka ada. Melayang-layang di sekitar. Duduk manis di kursi-kursi yang terlihat kosong. Mengawasi dan menjaga. Mereka ada, dan mereka yang membuat saya merasa sedikit lebih baik.


Apakah menurut kalian fenomena ini aneh? Apakah menurut kalian saya aneh?


Pemicu fenomena ini, saya percaya, adalah rasa sepi.


Di rumah, saya adalah anak bungsu. Tiap hari saya mendapatkan limpahan kasih dan cinta dari keluarga. Membuat saya manja. Membuat saya tidak mandiri. Saya terbiasa menceritakan kejadian di sekolah, mulai dari yang penting (seperti ulangan dadakan) sampai yang paling tidak penting (seperti si A yang ngupil di kelas) kepada ibu dan kakak saya. Dan itu terjadi setiap hari. Meskipun di sekolah saya diam saja, di rumah saya memiliki kesempatan berbicara.


Dua tahun yang lalu, salah satu kakak saya pergi merantau untuk menempuh kuliah. Saat itu, saya merasa kesepian. Pendengar saya berkurang satu. Teman di rumah berkurang satu. Rumah sudah menjadi tempat yang sepi, tiada canda tawa kami, hilanglah satu orang penghuninya yang penting.


Saya lupa kalau giliran saya akan datang.


Tahun lalu saya juga merantau untuk kuliah. Kali ini giliran saya merasakan hidup di kamar kos yang hanya berisi lemari, tempat tidur, dan buku. Dan seorang boneka kesayangan. Perubahan drastis ini jelas sangat berdampak pada kepribadian saya. Semua jadi terbalik. Di luar, saya jadi banyak bicara, banyak bergerak, cenderung hiperaktif. Di kos, saya bisu. Di luar, saya sering memeluk teman-teman dengan erat. Di kos, saya patung. Saya juga mulai sering mengalami depresi akut (yang mengarah ke self-harm, bahkan sampai sekarang. Yang membuat saya bertahan untuk tidak melakukannya lagi adalah janji pada dua tema saya di kampus).


Sepi ini lama-lama membuat saya tidak tahan, dan muncullah nama Victor dan Victoria. Sesungguhnya ini bukan momen kelahiran mereka—mereka berdua sudah ada sebelumnya, hanya saja sempat terlupa dan baru dipanggil kembali di lingkungan yang terlampau sepi ini. Saya tidak terlalu sering mengajak mereka bicara. Mengetahui bahwa mereka ada sudah cukup.


Maka sekali lagi saya tanyakan pada kalian. Apakah fenomena ini aneh? Menjijikkan?




Mengenai depresi dan self-harm. Selama ini saya tidak pernah berani membahasnya secara terang-terangan, namun sudah pernah memposting sebuah cerpen yang mengilustrasikan keadaan saya. Jujur, saya takut. Takut di-judge oleh masyarakat. Bahkan bagi saya sendiri, self-harm itu menjijikkan. Sesuatu yang amat sangat salah.


Tapi tahukah kalian? Self-harm benar bagaikan candu. Setidaknya, bagi saya sendiri.


Coba bayangkan. Berbagai macam perasaan negatif (untuk kasus saya adalah campuran sepi-bersalah-rendahdiri) bertumpuk jadi gunung Fuji di dalam hati. Beban mental ini sudah mencapai tahap sakit secara fisik (untuk kasus saya, sesak dan sakit cekit-cekit di dada) yang tak tertahankan. Saat itu, goresan kuku yang tajam di kulit (saya terlalu pengecut untuk memakai pisau/cutter) memberi saraf sensasi rasa sakit yang diteruskan ke otak. Sakit di kulit ini memang sakit sekali, tapi untuk sekian detik sakit itu terbaca oleh otak, selama itu pula sesak di dada menghilang. Seakan-akan tidak pernah ada beban di hati. Semua terasa ringan kembali. Bukankah itu perasaan yang luar biasa? Bagi saya, itu sangat luar biasa. Apapun demi mendapatkan rasa ringan itu lagi. Maka muncul goresan kedua. Goresan ketiga. Dan seterusnya sampai tangan ini mati rasa.


Cara lain adalah membenturkan kepala ke tembok berulang kali. Intinya sama dengan self-cut di atas, tapi bagi saya ada implikasi lain. Benturan kepala ini saya anggap sebagai hukuman atas diri saya yang bodoh-jahat-worthless-worthless-worthless. Berhasil menghukum diri sendiri itu rasanya menyenangkan. Menghukum diri sendiri itu membuat saya merasa dimaafkan, sedikit demi sedikit.


Nah, bagaimana? Apakah menurut kalian saya menjijikkan?


Tapi seperti yang saya sebutkan di atas, sekarang saya berusaha untuk menghindari self-harm. Selain menjijikkan, saya juga tidak ingin membuat kedua teman saya itu sedih. Jujur, mereka mengidap bipolar dan saya sempat menghadapi fase depresi mereka, yang muncul dengan tanda self-harm. Saat itu saya merasa sangat sedih melihat mereka membenturkan kepala mereka sendiri ke tembok. Makanya saya berusaha berhenti, karena saya tahu mereka pasti juga sedih kalau tahu saya sempat depresi sampai self-harm juga.


Kehilangan cara untuk menghukum diri sendiri, saya mulai depresi lagi. Kini, bagi saya, saya bahkan tidak pantas untuk mendapat hukuman. Tidak pantas untuk dimaafkan. Ini membuat dada semakin sesak dan kepala semakin pusing. Di satu sisi saya berdarah-darah minta dilepaskan dari kerangkeng perasaan worthless, tapi di sisi lain saya merasa tidak pantas untuk lepas dari jeruji rasa bersalah. (Ya, saya bersalah karena saya bodoh-jahat-worthless-worthless-worthless dan ibadah pun tidak membantu menghilangkan perasaan ini.)


Apa ini yang dirasakan orang-orang di rumah sakit jiwa?


Bagaimana menurutmu? Bukankah saya menjijikkan? Hahaha. Mungkin inilah tulisan saya yang paling jujur sejauh ini.


Ada yang mau membantu saya?

Tuesday, August 12, 2014

[Fanfic] Puding Cokelat

Title: Puding Cokelat
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Genre: General
Summary: Tapi Rachel suka cokelat. Dia menyukai cokelat yang manis tapi masih punya pahit di dalamnya—membuat keseluruhan rasa tetap seimbang. Seperti hidup. / oneshot /
Warning: perhaps some OOC-ness
A/N: Sebuah fanfiksi untuk novel Prisca Primasari, Evergreen. Demi seluruh buku yang pernah saya baca, Yuya adalah salah satu karakter yang benar-benar bikin melting. I just have to write this. Ini diambil dalam canon-verse, tepat setelah kalimat terakhir bab 17.
Disclaimer: I don't own the Evergreen and the characters, and I receive no profit from this work.

Thursday, July 24, 2014

Through The Ages - Gabrielle Aplin (Kuroshitsuji Live Action Movie OST)

Who is the reason, the one you're living for?
Who is the reason, the one you're crying for?
If I look deep inside the caverns of my heart
All I see is you smiling back at me

This is where it all begins,
Your hand, so soft and gentle
I won't let it go
No, I won't let it go

On the last day on the earth
All I wanna do is share a smile with you
Till I cross the twilight
Nothing could be truer than this love I have for you
My love will testify and last through the ages

Every soul alive, the shadows in my heart
Every soul alive is looking for the true light
But when you let it shine, the blackest shadow hides
Darkness receding from the light of day

Nothing would ever be enough, but you spread your wings
As if to wrap around me now, you wrap around me now

On the last day on the earth
All I wanna do is keep a smile for you until I close my eyes
Nothing could be truer than this love I have for you
History books will tell our love through the ages

No matter how hard I tried, to find a reason to be living
Nothing mattered 'til
I found this love in us

On the last day on the earth,
All I wanna do is keep a smile for you
Till I cross the twilight
Nothing could be truer than this love I have for you
Everyone will know our love through the ages

Aaa-ah aaa-ah
Aaa-ah aaa-ah
Aaa-ah aaa-ah

Who is the reason, the one you're living for?
Who is the reason, the one you're crying for?
If I look deep inside the caverns of my heart
All I see is you smiling back at me

---

Lately I've been bewitched by this song. A very beautiful, yet sad song.

Thursday, July 17, 2014

[Poetry] Selamat Pagi!

Selamat pagi!

Aku menyapa mentari yang hangat di kulit, cerah di mata, nostalgia di hati.
Aku melambaikan tangan pada embun yang basah di daun, segar di udara, nostalgia di hati.
Aku tersenyum ramah pada tukang becak yang lewat, ibu-ibu yang berangkat ke pasar, keluarga yang masih menanti di rumah, nostalgia di hati.

Ah, selamat pagi, kataku.
Sebentar lagi aku pulang melepas rindu.
Sebentar lagi aku datang ke pelukan engkau.
Sebentar lagi aku akan menemukanmu, dan takkan kulepas selalu.

-17072014-
Catatan pagi hari seseorang yang sakit rindu.

Wednesday, June 25, 2014

[Review] The Old Capital - Kawabata Yasunari


The Old Capital
(Judul asli : 古都 lit. Koto)
Pengarang : Kawabata Yasunari
Penerjemah : J. Martin Holman
Penerbit : Tuttle Publishing
Tahun terbit : 2000 (cetakan kelima)
Ukuran : vi + 164 halaman

Sinopsis:
The Old Capital is of one of the three works for which Yasunari Kawabata won the Nobel Prize for Literature. Set in Kyoto—the old capital of Japan for a thousand years—this lyric novel traces the life of Chieko, the beloved adopted daughter of a kimono designer and his wife. Believing that she had been kidnapped by the couple as a baby, Chieko learns one day that she was instead a foundling, left abandoned on a doorstep. Happy with her adopted parents, however, her security and contentment remain undisturbed until an answered prayer at the famous Yasaka Shrine dramatically alters the course of her life.

Friday, June 13, 2014

[Review] Ja(t)uh - Azhar Nurun Ala

JA(t)UH
Pengarang : Azhar Nurun Ala
Penyunting : Abdullah Ibnu Ahmad
Penerbit : Azharologia
Tahun Terbit : 2013

“Aku tidak pernah mengerti konsep cinta yang ada di pikiran para penyair. Buatku, mereka adalah orang-orang gila. Cinta, tidaklah perlu kita maknai dengan kalimat-kalimat hiperbola. Ia sederhana. Awalnya ia ada sebagai rasa, lalu, bila kita berani, ia akan berkembang menjadi kata. Dan bagi mereka yang matang, ia akan terurai menjadi laku.”
--Warna, halaman 80--

[Review] Kokoro - Souseki Natsume

Kokoro
(Judul asli: こころ lit. Kokoro)
Pengarang : Souseki Natsume
Penerjemah : Edwin McClellan
Penerbit : Tuttle Publishing
Tahun terbit : 1969
Ukuran : viii + 248 halaman
Sinopsis:
Set in the turbulent Meiji era, a chance encounter on a Kamakura beach irrevocably links a young student to a man he simply calls “Sensei.” Intrigued by Sensei's aloofness and wanting to know more about him, the student begins to call upon Sensei with increasing frequency. Eventually, Sensei and his beautiful wife open up their home and their lives to him. The young student graduates from university and is called back home to his dying father, but the Sensei draws him back to Tokyo with a letter of heartfelt confession. ...
Written in 1914, Kokoro provides a timeless psychological analysis of one man's alienation from society, and starkly but gently shows the depth of both friendship and love.
[Spoilers ahead!]

Monday, June 2, 2014

[Poetry] Tampar Wajahku

Kata orang menyerah itu mudah
Kau berhenti, menapak tanah terdiam runtuh
Kau terduduk, mencari benar dari sesal tak bertuan
Kau menangis, memanggil beku datang bagi hati

Tapi saat ingin ku diam, menyerah, menyambut kalah,
Tak kunjung rasa itu tiba
Tak pernah waktu meminta maaf
Aku harus terus maju, meski peluh jadi air mata
Meski sakit terasa di pahitnya ludah

Satu demi satu tulangku rontok!
Dimakan kejinya Tuhan semesta alam
Dicerabut masa dan kata maaf

Adakah kiranya yang mau menampar wajahku?
Agar setidaknya pori-pori membuka, biarkan ampunan mengalir
Adakah kiranya yang mau menampar wajahku?
Agar sesal ini tampak olehmu, Kawanku!

-12052014-

Saturday, April 26, 2014

[Fanfic] At Alice's Door

Title: At Alice's Door
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Warning: possible ooc, grammar errors or misstypos; heavy head-canon; fast-paced; takes place after Retrace 91 so spoilers for those who haven't read up to the latest chapter.
A/N: see below for more notes
Disclaimer: I don't own Pandora Hearts as it is Mochizuki Jun's and I do not take any profit from this fanfiction.

[Orific] Redemption

A gasp left her lips. With trembling breath she tried to calm down, to ignore the piercing pain that just lodged in her chest. It almost felt like a plate of lead was hammered into her chest--heavy, painful. But when she peered into the giant mirror situated across the room, she only saw herself. Bleeding eyes, labored huffs of air, and sickly pale skin that hugged her limp body like a death call. Her clothes were still intact (though very messily strewn on her body) and not a piece of metal was on her chest.

It was just her imagination.

She begged to differ, though. The ache was definitely there, right in the core of her chest and lungs and heart. Her small fingers grasped blindly onto the fabric of her nightgown because the pain was almost unbearable. She choked, an ugly sound that bordered a sob. She couldn't even cry--the rivers had long dried form the drought she taught herself to make.

"Help me," she groaned, a broken holler--but who was she kidding? There was only her in that room, in that house, in that world. Everyone she could turn into had gone. Before she knew it, she was all alone to deal with her wounds and her imaginary plate of lead.

Another surge of pain shot into her own and she let out a guttural groan again. It hurts, she said. Who can offer consolation? What can offer consolation?

And then she the young lady started to scratch at her forearm. The long nails, well-groomed and colored in blood, drew fine line on the vulnerable skin. The lines were pinkish but they vanished quickly. The small action, however, gave comfort to her. It was something she learned way back, about a year or two; that the pain on her skin and flesh dulled the ache of her heart. She had been breathless at that time of discovery, both from delight and from utter fear.

Just what had she found? An inhuman part of human beings. She quickly labelled it as repulsive and hid the knowledge of little redemption in the farthest corner of her brain.

But now--now the pain had intensified and she couldn't help seeking that once found redemption again. She pressed her nails again, a little deeper and rougher this time, and dragged them along her forearm. It felt nice. She no longer felt as heavy. Another line, then another, and another.

She couldn't stop.

The books on the floor, on the shelves, on the tables; they stared sadly at the broken piece of being God named human. They watched as the girl started to show a twisted smile that didn't look very sane. They sung a heedless lullaby to their master, wishing she would stop hurting herself.

When her whole forearm were stained with red lines, and the pain had gone considerably, the girl was finally able to close her eyes and fell into the long-needed slumber.

But who knew if she would wake up in agony yet again, and started the foul deed to freed herself?

The Right Person

I'm waiting for the right person, and the right time, to share about my darkest secret. The forbidden emotion that once sprouted well in my heart. In all honesty, I humored the prospect of actually dwelling in that emotion too. Watered it, nurtured it. I was killing myself, I know, but it had felt so good.

Being bad always feels so good.

I'm waiting for the right person to tell, and I'm really, really looking forward to his reaction to my confession. Will he reprimand me? Will he stare wide-eyed, disgusted at me? Or will he smile bitterly and say, it's in the past?

 I'm also wondering, what kind of face will I make as I tell the story? What kind of tone and voice will I use to speak of the past I don't really lament?

I do not lament that aspect of me. No. I just think that it's part of the process. An important, precious part of it. Without it I wouldn't be the me I am right now. I figure that this secret will serve as a reminder.

Of my hidden insanity.

I am aware, when I reflect back to those days, that I've grown a dark part that spells insanity. At first it was fun; I was tired of being a good girl so this insanity helped relieve the stress. But now, as I look back, I found it not at all pleasing. A little scared even.

Will my right person also feel scared like this?

Not to mention that lately, my stress management has been bad. The insanity has been, well, maybe three or four years of dormant state--but with my poor stress management, I managed to provoke it again. In depressed times I find myself unable to stop the insanitty. It's coming back, even stronger, and still growing--and it eats away at my body and soul.

I try not to be scared. I try to accept it. Thinking perhaps, if I don't reject it, the insanity will ebb away eventually. I suppose it does, but during the process of slipping away, it still consumes my soul painfully. I'm afraid one day when it finally disappears completely, my soul would be left only so little.

Then I get scared again, and it brings me back to square one. Once again I find myself sitting at a place, blindly searching in my surrounding that tells me where I am, what I'm doing here, and who I have become.

I'm still waiting for the right person to come and take me home.

Friday, April 18, 2014

[Review] Lontara Rindu - S. Gegge Mappangewa


Lontara Rindu
Penulis : S. Gegge Mappangewa
Editor : Priyantono Oemar, Alif Supriyono
Penerbit : Republika
Tahun : 2012
Ukuran : viii + 342 halaman; 13,5 cm x 20,5 cm

Sinopsis:
Vito dan Vino, dua saudara kembar yang terpaksa harus terpisah karena perceraian orang tuanya. Vito tinggal bersama ibunya, sedangkan Vino dibawa ayahnya. Rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari ayahnya di Perrinyameng, Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di daerah pegunungan.

Ayah Vito pergi ketika Vito masih kecil. Beda keyakinan membuat kakeknya tak bisa menerima ayahnya, sehingga ibunya dulu harus mengorbankan kehormatan keluarga, kabur dari rumah demi ayah Vito itu. Vito adalah anak yang terluka dan ketika memasuki usia SMP ia kerap bertanya mengapa sang ayah meninggalkannya?

Inilah kisah pencarian sekaligus kehangatan keluarga siswa SMP itu di masa belianya di Cenrana, Panca Lautang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, di masa kemarau panjang mendera. Di tengah upaya diam-diamnya mencari ayah, Vito dan teman-temannya mendapatkan ajaran moral islami dari Pak Guru Amin yang sering bercerita tentang kisah-kisah masa lampau yang tercatat di lontara. Namun di kemudian hari, Pak Amin harus menerima kenyataan pahit ketika warga menuduhnya telah menyebarkan fanatisme agama.

Berhasilkah Vito menemukan Vino dan ayahnya? Bagaimana nasib hubungan keduan orang tuanya? Masihkan ayah Vito menganut kepercayaan leluhurnya?

Kisah Vito dan kawan-kawan ini banyak menghadirkan tangis dan tawa dari awal hingga akhir cerita. Sebuah romantika hidup penuh makna dan inspirasi bagi kita pembacanya.

[Severe Spoiler Alert!]

Saturday, April 5, 2014

[Review] Snow Country - Kawabata Yasunari


Snow Country: Daerah Salju
(Judul asli: 雪国 lit. Yukiguni)
Pengarang : Kawabata Yasunari
Penerjemah : A. S. Laksana
Editor : Gita Romadhona
Penerbit : GagasMedia
Tahun terbit : 2010 (cetakan kedua)
Ukuran : vi + 190 hal, 13 x 19 cm

Sinopsis:
Lagu pertama itu menyentuh sesuatu yang kosong di dasar perutnya, dan dalam kekosongan itulah suara shamisen bergema. Shimamura terkejut—atau, lebih tepat, ia terjengkang oleh sebuah pukulan telak. Terbenam dalam perasaan khidmat, dibasuh oleh gelombang penyesalan, tanpa daya, ia tak memiliki kekuatan lagi untuk melaklukan apa pun, kecuali menghanyutkan dirinya pada arus yang menyeretnya, pada keriangan yang dihadirkan oeh Komako kepadanya.

Di daerah bersalju yang selalu dingin itu, Shimamura bertemu Komako, seorang geisha yang pipinya sewarna angsa yang baru dibului. Tanpa ia sadari, Shimamura tahu Komako tengah jatuh cinta padanya, begitu pula sebaliknya. Keduanya berusaha menemukan pembenaran atas cinta mereka, hingga akhirnya menyerah dan menyadari kalau cinta mereka telah gagal sejak kali pertama mereka bertemu.

Peringatan! Possible spoiler ahead!

Sunday, March 16, 2014

Mencoba Grafologi

Pagi ini, tiba-tiba teringat dengan ilmu grafologi sederhana yang saya baca di sebuah novel teenlit. Menurut novel tersebut, tulisan tangan manusia bisa dibagi menjadi empat kategori besar: berbentuk bulat, kotak, segitiga, atau kurva (tidak beraturan). Tiap kategori menggambarkan karakter orangnya. Bukan tidak mungkin satu orang memiliki lebih dari satu karakter.

Bulat: idealis soal cinta
Kotak: paling mementingkan kenyamanan
Segitiga: keras dan cenderung main fisik
Kurva: fleksibel dan artistik (or something like that, saya juga lupa sih. Sifatnya kurang lebih seperti golongan darah AB)

Yang paling mudah untuk diteliti adalah tanda tangan seseorang. Hal ini dikarenakan tulisan tangan biasa masih dipengaruhi dengan situasi dan kondisi saat seseorang menulis. Lain halnya dengan tanda tangan, yang bentuknya cenderung tetap dan tidak terpengaruh kondisi emosional penulis, apalagi tanda tangan selalu digoreskan dengan cepat dan tanpa pikir panjang.

Setelah bertahun-tahun mengetahui konsep ini, baru tadi pagi saya kepikiran untuk meneliti tanda tangan saya sendiri. Dan hasilnya?

Tanda tangan saya membentuk bulat dan segita, dengan keduanya memiliki proporsi sama besar.

So... hahaha? Idealis soal cinta, memang, karena saya juga seorang Libra. Tapi keras dan main fisik...? Keras, oke, masih boleh lah, kata-kata saya seringkali tajam—tapi soal main fisik...

I don't know what to say.

Saturday, March 8, 2014

Pidato Pak Rektor

New semester, new lessons to take, new teachers.

Hari Jumat kemarin adalah pertemuan pertama mata kuliah Pengantar Kesusastraan Umum, sekaligus pertemuan pertama dengan Bapak Puji yang mengampu mata kuliah tersebut. Orangnya menyenangkan, tidak kaku, banyak bercerita tapi tidak lupa dengan topik awal, dan guyonannya tidak payah.

Di satu titik, Bapak Puji berkata, "Tiap tahun, pidato rektor pada saat wisuda selalu sama. Tapi itu selalu berhasil membuat semua orang menangis. Padahal cuma satu kalimat, tapi selalu berhasil menembus sanubari para wisudawan dan orangtua."

"Saya mau, setelah ini, kalian semua membalikkan badan. Pergi ke orangtua kalian. Lalu ucapkan dua kata sederhana. 'Terima kasih'."

"Setiap kali rektor mengatakan hal ini, belum lagi mereka balik badan, belum lagi mereka pergi ke orangtua masing-masing, tapi semuanya pasti sudah mulai menangis."

Masalahnya, Pak Puji--saya bahkan belum wisuda, belum berada di gedung ACC, belum memakai toga dan belum mendengarkan pidato rektor--

--tapi saya sudah menangis.

Tidak bisa saya menahan air mata yang menggenang di pelupuk. Teman-teman saya tersenyum geli melihat saya berkaca-kaca, tapi mau bagaimana lagi. Karena topik orangtua selalu jadi topik sensitif buat saya. Orangtua adalah orang paling berharga dalam hidup saya.

Otou-san. Okaa-san. Arigatou.

Monday, March 3, 2014

[Fanfic] [RivaMika Week Day 7] Where She Belongs

Day 7: Alternate Universe (Sex-swap)
Title: Where She Belongs
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Warning: AU and gender-bent characters (well that's the prompt), using present tense, possible misstypo and grammar errors, possible OOC (though I did my best to keep them in-chara along with some adjustment to match the natural/basic gender traits), very little implicit mature content far in the back.
A/N: I found this picture of gender-swapped characters of SnK that got me hooked. All just looks handsome/pretty while stays in-chara (except Jean, and maybe Annie). I don't know the source of this picture because I found it while lurking at Levi's fanpage on Facebook.
By the way, the gender-swapped characters are Levi (Leviana), Mikasa (Misaki, and I copied the name from a fanfic I read on FFn, so I don't own!), Eren (Ellen, because that's like his canon female version name), Armin (Aimee, sorry I suck at making names), and Hange (if you can call that gender-swap...)

Saturday, February 22, 2014

[Fanfic] [RivaMika Week 2 Day 6] Our Fight

Day 6: Valentine's Day
Title: Our Fight
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Warning: future fic where titans are wiped out, possible misstypo and grammar error and OOC, a bit on melancholic side.

Levi looked up when he felt someone closing in. He found a pair of deep dark eyes, framed with shoulder-length black hair and pointed chin. Its owner nonchalantly sat in the chair across the table, and only gave him a look when he glared at her.

“It's empty, right?” she pointed out flatly. “Stop glaring daggers at me.”

“What do you want, Mikasa?”

The girl slowly took her eyes away from him, instead choosing to fiddle with the almost frayed end of her red scarf. She looked hesitant. “I... haven't heard from you... since the last battle...”

Snapping his book shut, Levi scoffed. “I thought we're over,” he mocked, bitter.

Friday, February 21, 2014

[Poetry] Capek, Padahal Tak Pasti

Sang udara berhilir-mudik
Ia lewat di depan wajah berkali-kali
Hawanya dingin
Merasuk lewat celah pori

"Diamlah," aku hardik
"Aku hanya ingin menunggu,
tahu?"
"Jangan ganggu!"

Dia menolak--dasar bebal
Hawanya membekukan
Meresap sampai tulang
Sudah, aku tidak tahan
Menunggu membuat payah
Aku menyerah
-03022014-

A/N: THAT'S LIKE THE LAMEST TITLE I'VE EVER MADE LOOOOL
By the way, ini dibuat waktu saya janjian sama temen di kampus tapi mereka nggak datang-datang, dan waktu itu memang lagi berangin, saya sampai kedinginan nungguin mereka -___-
Oooh dan waktu itu lagi galau-galaunya karena IP nggak keluar-keluar padahal jurusan lain udah pada keluar 8D

[Fanfic] [RivaMika Week 2 Day 5] Nameless Monster

Day 5: Beauty and the Grumpy
Title: Nameless Monster
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: M
Warning: AU, a little OOC, misstypo and grammar errors, present tense, a tiny bit smut ahead because that's all I can do.
Disclaimer: I don't own Shingeki no Kyojin and its character, I don't own Beauty and The Beast and its original storyline, I don't even own the song Namae no nai Kaibutsu (lit. Nameless Monster) by EGOIST, and I make no commercial profit from this fanfiction. [damn yeah i forgot to put the disclaimer in the previous ones ;;;;;]

This can't be happening.

When Levi asked that old man for his daughter, he certainly didn't expect this empty-eyed, unreadable wrecked mess of a girl. Yes, she's pretty, almost to a fault, with her unique charcoal black hair and porcelain skin—but that's it. She's just another living doll, price made high for her oriental gene in half her blood.

Levi scrutinizes her more for a while. He notices how she lacks facial expression. She doesn't even flinch as he runs his sharp eyes on her body, up and down, undressing her. He can easily picture what's beyond the ruffles and silk and flowers she is decorated with. A lithe body, probably thinner than she looks, clean and ready to be stained.

But when he reaches her eyes, he thinks maybe not so clean.

Because a pair of black abyss like that can't possibly stay innocent.

Monday, February 17, 2014

ADHD, or Not?

So if you happen to have me in your friend list on Facebook, you may have read my rambling just a while ago (it's in Indonesian though). It's something about getting shocked after re-reading an old piece of fanfiction. I found it quite decently written, with decent flow of words--which is complete opposite compated to my latest pieces that tend to get rushed. I reasoned that I usually get restless after spending some time writing/typing stories (or articles, or anything in that case, even this post) and always wants to finish as soon as possible.

I have always known I have attention problems. I can't write anything without minimizing it for a quick twitter check, or maybe a round or two of games. I can't sit and study for hours without getting up and walking around the house (or talking to my friends, if the study is during class). But only now I consider the possibility of having ADHD, as minor as it may be.

I found this on internet:

Sunday, February 16, 2014

[Fanfic] [RivaMika Week 2 Day 4] Day by Day

Day 4: 7 Deadly Sins
Title:  Day by Day
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Warning: misstypos, grammar mistakes, using present tense, possibly very OOC, separate drabbles for each sin, more and more absurdness because i can't even make sense when re-reading this.

(Pride)
"You can't live without me."

She snarls, dismayed but nevertheless admits he is right; he is the only gate that holds off her insanity, the only one who can easily stop her rampage whenever she feels like going in one. (Except Eren maybe, but mainly she does go in rampage because of Eren.) Though, she thinks, perhaps it doesn't apply only to her. All of them can't live without him. Because he is their leader.

"And you can't love anyone else like you love me."

He's one cocky bastard, but this time, she doesn't bother disagreeing.

Saturday, February 15, 2014

[Fanfic] [RivaMika Week 2 Day 3] Revenge, Perhaps?

Day 3: Force majeure
Title: Revenge, Perhaps?
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Warning: misstypos, grammar errors, OOC, and the absurdness I can't get away without.

She never knew about the monster inside her.

The fury that spiraled inside her body, the carnal growl that quietly left her mouth, and the air that suddenly seemed too thin in that room—even she was surprised. The knife—small, decorated with intricate curves, hand-made by the very person who gave it to her—was inside her trembling hands. The curving almost pained her palms. She couldn't think clearly.

Her eyes were set to the men trying to break into a small house, in the downtown. The darkness of late night didn't bother her in the slightest. In her head she could only see fragments of nightmare way back during her childhood, and the red, red that spilled around long black hair, and Eren.

She wanted nothing more than stabbing those men, spilling more red, staining her hands with more blood.

Thursday, February 13, 2014

[Fanfic] [RivaMika Week 2 Day 2] Keep It Secret

Day 2: The Gift
Title: Keep It Secret
Author: Vianna Orchidia/Annasthacy Chashyme
Rating: K+
Warning: not proofread, possible typos and grammar, quite rushed, possible OOC, unclear time setting, light theme.

One eyebrow raised. "I'm sorry, what did you say, sir?"

"I said," he punctuated his every word, though unnecessarily in Mikasa's opinion, "I'm taking you to the town."

The orient studied Levi's features, and found no reason why she should doubt the genuineness of his words. But it was more the reason to be confused. "...me? Without the others?"

"Damn right, Ackerman." His tone sounded more annoyed than before. Exasperated.

"Why?"

[Fanfic] [RivaMika Week 2 Day 1] Black Tryst

I'm dying to write something but you know, my ongoing projects never look as uninteresting before, so I decided to do something new. And for moodbooster, I need prompts and deadlines, and I just happen to know RivaMika Weeks is running! My OTP for SnK fandom, here I come!

Day 1: Legendary Lovers (Lancelot and Guinevere)
Title: Black Tryst
Author: Vianna Orchidia/Annasthacy Chashyme
Rating: T
Warning: AU, possible typos and grammars, dark theme.

Sunday, February 2, 2014

[Orific] Solitude

Judul: Solitude
Author:
Vianna Orchidia
Rating:
K+
Genre:
Hurt/Comfort/Family
Summary: Sequel of Vigorous. Perempuan itu masih di kamar itu. Sendiri. Tidak mau memikirkan, tapi tidak memikirkan apa-apa itu menakutkan.
Warning:
misstypo, fast-paced toward the end
A/N: another flashfic I wrote right after finishing Vigorous. Masih adaptasi dari kisah nyata. Tapi berhenti di tengah jalan. Sampai akhirnya, hari ini, saya putuskan untuk melanjutkannya sedikit (that being said, sebetulnya cuma memberi ending sih hehe).

-story start-

Wednesday, January 15, 2014

[Orific] Grand Play (ch 3)

Judul: Grand Play (chapter 3)
Author:
Vianna Orchidia
Rating:
T
Genre:
Romance/Suspense/Angst/General 
Summary:
Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning:
Nishiki's POV, un-proofread, un-beta-ed, yet another writing style, and truth to be told I don't even know what I'm doing anymore. But nothing too suggestive... maybe.