Saturday, February 13, 2016

[Orific] Hancur: A Sequel

Suara hujan. Tik-tik-tik, makin deras, lalu angin, tik-tik-tik, kaca jendela basah kuyup. Aku basah kuyup. Berlindung di bawah atap ala kadarnya di depan sembarang toko, aku masih menjadi sasaran empuk tetesan air hujan yang terbawa angin kencang. Dingin. Aku mulai menggigil. Kepalaku pening.

'Seharusnya tadi aku pulang lebih cepat,' sesalku. Bodoh karena sudah menunggu sampai awan mendung berkumpul sedemikian pekat, tolol karena mengabaikan cakaran angin dingin yang membawa bau hujan dari jauh. 'Seharusnya aku pulang lebih cepat,' ulangku dalam hati. Bukan malah bersikeras menanti munculnya seorang lelaki yang tidak memberi kabar. Dan lebih bodohnya lagi, dalam kondisi begini, aku malah mengecek ponsel dengan harapan melihat notifikasi pesan masuk dari yang kutunggu.

Nihil. Mataku bergeser sedikit ke arah empat digit angka di sisi atas kanan layar. Satu jam lewat dari waktu janjian. Aku ingin tersenyum tapi bibirku malah bergetar karena dingin. Aku mengusap mata karena seperti ada air mata di sana, tapi hanya dinginnya hujan yang kurasa. Satu jam dan aku masih mencoba percaya pada lelaki itu. Aah, bodoh, bodoh.

'Hiiragi Maki, kau benar-benar goblok,' aku memarahi diri sendiri. Hanya saja, mengatakan hal itu rasanya sudah terlalu klise—aku tidak tertarik meneruskan. Mari alihkan perhatian saja.

Sambil menarik anak rambut yang jatuh ke depan mata, aku mulai menghitung-hitung. Probabilitas terbesar aku baru akan sampai di rumah sekitar pukul enam, atau tujuh kalau aku tidak beruntung. Nanti aku mau berendam air hangat yang lama. Sepertinya aku masih punya lilin aromaterapi yang sangat kusukai itu, jadi aku akan menyalakannya juga. Setelah puas, aku bisa langsung ke tempat tidur karena semua pekerjaan untuk besok sudah kusiapkan sebelumnya. Sekali-sekali tidur sebelum jam sembilan boleh lah, apalagi rasanya aku lelah sekali. Mungkin satu bab novel misteri itu sebelum benar-benar terlelap. Yap, rencana bagus.

Oh, aku juga harus menelepon Shou-kun besok pagi.

Perlahan aku berjongkok lalu memeluk lutut. Tidak punya energi untuk sekedar menangis.

.:.:.

“Shou-kun. Ini Maki. Kemarin kamu tidak datang... Jadi kapan aku bisa menemuimu? Kamu tahu, untuk membentakmu habis-habisan? Karena aku marah. Marah sungguhan.”

Pip. Pagi ini, ponsel Shou-kun masih tidak bisa dihubungi. Akhirnya aku meninggalkan pesan saja, karena aku tahu ada kemungkinan Shou-kun hanya menghindar dan sengaja tidak mengangkat teleponku. Pesan yang bodoh, pula. Seharusnya kan aku langsung memarahinya, terang-terangan mengatakan kalau aku sakit hati setelah dia melanggar janjinya. Maki yang biasanya pasti bisa menyampaikan rasa kesalnya dalam beberapa kalimat pedas, dan Shou-kun akan meminta maaf lalu mentraktir sushi—bam, kondisi kembali seperti sedia kala.

Masalahnya, aku lelah. Terlalu lelah untuk berbicara dengan berapi-api. Terlalu penat untuk mulai berbicara dengan Shou-kun tentang dinginnya pertemanan kami belakangan ini. Menyalahkan diri sendiri rasanya beribu kali lipat lebih mudah. Aku tinggal melemparkan kata-kata tanpa suara pada orang di dalam cermin itu. Toh dia menerima dengan sepenuh hati. Bahkan tidak berusaha mendengarkan logika. Lihat, lebih mudah, tidak perlu tenaga. Aku sudah kehabisan tenaga.

Orang di dalam cermin itu menatap kosong. Padahal semalam tidurku nyenyak. Begitu bangun, aku sadar energiku sama sekali tidak kembali.

Maka sekali lagi aku menyalahkan diri sendiri.

A/N: I'm sorry again, Maki. You have to bear the burdens again.

Wednesday, February 10, 2016

[Orific] Hancur

Aku mendecakkan lidah dengan kesal. Kedua mata sibuk berputar-putar memindai seluruh penjuru taman, tanpa hasil karena kepala rambut merah yang dicari tidak kunjung ketemu. Padahal aku sudah menunggu sejak, entahlah, tiga puluh menit yang lalu? Tempat ini berangin, aku lupa memakai jaket yang lebih tebal, dan orang yang kutunggu masih belum menunjukkan batang hidungnya. Bagus. Aku mengusap kedua pipiku sebal.

Sekali lagi aku mengeluarkan ponsel dari saku dan mengecek notifikasi. Masih belum ada pesan masuk. Saat kulihat pesan terakhir yang kukirim, juga belum ada tanda pesan telah dibaca. Desah panjang dan berat meninggalkan hidungku, sementara aku mengembalikan ponsel ke tempat semula. Tidak ada kabar, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Memangnya ke mana cowok satu itu? Aku tahu dia bukan tipe yang mengecek notifikasinya setiap menit (Iya, beda seratus delapan puluh derajat denganku.), tapi dengan kondisi sedang ada janji ketemu, bukannya wajar kalau melihat ponsel barang sekilas?

Tiga puluh lima menit. Angin masih berembus tanpa henti, dan aku mulai merasa putus asa. Tumbuh keinginan dalam lubuk hati untuk melupakan janji ini dan pulang saja, mendekam di balik selimut sambil membaca novel. Tapi, ah, aku ingin bertemu. Jujur, aku ingin bertemu dengannya. Selama libur musim panas dia tidak di Yokohama, sementara aku terpaksa tinggal karena kerja sambilan. Aku kangen. Makanya aku buat janji bertemu begitu tahu bahwa dia sudah kembali ke kota ini.

Tapi sepertinya yang kangen hanya pihakku. Pikiran-pikiran buruk mulai bertunas. Jangan-jangan dia bohong saat bilang sudah kembali. Jangan-jangan pacarnya datang ke apartemennya duluan, jadi dia tidak bisa (atau tidak mau) pergi memenuhi janji denganku. Jangan-jangan, jangan-jangan...

Napasku memendek. Seperti ingin menangis, tapi tidak bisa. Seperti ingin berteriak, tapi tidak bisa. Pada akhirnya, yang bertahan hanyalah rasa pasrah dan putus asa ini. Perih dan pahit kutelan saat menengadah, memperhatikan awan yang bergerak berkumpul perlahan. Sepertinya akan hujan. Aku harus pulang.

Maka aku meninggalkan taman itu, dengan senyum tipis yang seperti pilu.

A/N: Hiiragi Maki, I'm sorry I put this burden on you.