Saturday, December 29, 2012

Frequently Said Words

Selamat malam :)

Aih, kangen berat sama blog ini. Sudah lama tidak bisa update apa-apa karena kemarin itu minggu ujian semester, dilanjutkan minggu liburan. Selama liburan di luar kota, laptop lebih sering dipakai onii-sama main game =w="

Nah, mumpung sekarang bisa ngetik, saya mau share sesuatu.

Kemarin saya mendapat satu sms unik dari seorang teman. Berisi sebuah pertanyaan, lebih menyerupai survei.
Kata dalam bahasa Inggris apa yang paling sering kamu ucapkan? Dan mengapa?
Saya benar-benar merasa tertampar membaca pertanyaan nan simpel tersebut. Segeralah saya mengingat-ingat. Apa ya? Well, at least saya menemukan dua, yang saya ucapkan tiap hari. (Warning, diucapkan dalam hati saja lho ya)

Monday, December 10, 2012

Pernyataan Maaf

Heya. Selamat malam. Ketemu lagi dengan saya di blog ini.
Oh, lupakan, saya terlalu banyak nonton TV.

Nggak ada kerjaan setelah belajar buat UAS, akhirnya saya baca-baca ulang blog ini. Terdengar narsis memang, jadi kepikiran apa ada orang lain yang punya kebiasaan seperti saya ini? Oke, itu hanya penjelasan latar belakang. Masuk ke bahasan utama.

Setelah membaca-baca ulang, beberapa post rasanya sedikit rasis(?). Bukan, bukan rasis yang beneran, cuma sedikit diskriminasi. Bahkan saya, yang sudah menulis post-post itu dengan segala kesadaran (kecuali kalau keadaan galau bisa bikin mabok), merasa bahwa mereka... sangat songong/sombong/sok sekali =)) [hey, deadly triple s!]

Beneran. Dibaca tuh seakan-akan saya, si penulis, adalah yang paling benar. Haha. Sifat alami saya, mungkin? Weleh, kalau iya, gawat ini.

Saya nggak bakal heran kalau ada yang merasa tersinggung. Saya nggak menyalahkan. Saya usahakan menerima komentar anda sebagai kritik membangun. Kalau perlu lain kali jitak saja saya secara langsung XD

Untuk itu saya minta maaf yang sebesar-besarnya untuk semua pembaca. Saya mengaku salah. Harusnya saya memikirkannya lebih matang, ya. Terkadang jari saya bergerak jauh lebih cepat dari otak dan mulut #slapfinger. 

Friday, December 7, 2012

[Poetry] Doubting Grey

When people start to doubt,
anxiety growing black in their wake,
unsure of which path to take,
the silent wing refuses to break,
then your heart shall breathe,
inside and out, transpiring grey and red,
until nothing remain,
until fate comes and saves

-07122012-
Because when I doubt, I write

Tuesday, December 4, 2012

Rank

Ranking 1. Apa yang timbul dalam pikiranmu jika melihat kata tersebut? Jawaban kalian, mungkin akan berkisar pada hebat, pintar, kerja keras, bakat. Benar, kalau hanya melihat angka 1 di belakang kata 'rangking', secara otomatis itulah yang akan tebersit. Lingkungan masyarakat membentuk nilai bahwa semua yang mendapat ranking 1 berarti punya kualitas terbaik. Kebanyakan orang--scratch that, semua orang--menganggap ranking 1 adalah akhir dari perjuangan, titik tertinggi yang bisa kamu dapat.

Bagi saya, ranking 1 sama sekali tidak ada artinya. Bagi saya, 'kualitas terbaik' itu semu.

Monday, November 26, 2012

[Orific] Authority

Vianna Orchidia (c) 2012
Authority
Warning: colorful words, somewhat KHR-based
 
Everyone!

I tried to yell, raising my voice above the noise, but it was in vain. No one seemed to hear me, and they kept chattering away, very well ignoring me who was standing straight in the head of the table. Oh-My-God. I tried my best not to ruffle my own hair out of frustration. No, I must contain myself, and preserve my image. I am the damn next head of family, for fuck's sake.

Argh, why did I become the head, anyway? Scratch that, how did I become the head? I'm as well as the worst leader out there. Those elders must have lost their mind when they picked me. I knew there had been other candidates, but why did it have to be me?

Gosh.

I took a deep breath, a habit I'd grown to have ever since I got involved in this whole fiasco to calm myself. I reminded myself of my tutor. Of what she said about being a charismatic leader. She also told me that I had that quality in me, that's why I was chosen. I trusted her, thus tried to trust in myself.

So I tried again. Raising my voice, but not yelling. Ordering.

Silence, everyone.”

And like magic, it worked. I didn't know how, but they absolutely obeyed my order as the commotion died in a second. Even though I said it in a voice lower than before. Shit, I thought, so actually they did hear me. Bunch of assholes.

After they stopped moving and shifting, I coughed once. “Well, everyone, thank you for your presence at this dinner. I am here in Ninth's place because he had an urgent matter to attend.” I paused, inspecting each and every eyes. Like what Ninth had taught me. I looked into their soul, demanding trust and loyalty. And then, in the most gracious tone I had, I introduced myself.

My name is Kalshmia Layn, and I am the Tenth Head of Toretto Famiglia.” I smiled, knowing that it had a touch of authority. “Nice to meet you all.”

A/N:
As again, this was written out of fury and annoyance. Though what happened didn't acually match the storyline, but well, I just needed some emotion release. By the way, if you notice this is tagged under orific and fanfiction, because I'm not so sure. Although this is by no means intended to be a fanfiction, but in the end it has a KHR-aura, with all those mafia and tenth head things. I've been obsessed with KHR lately lol.

Friday, November 23, 2012

[Orific] Fantasy Alright

Vianna Orchidia (c) 2012
Fantasy Alright
Aku bernyanyi-nyanyi kecil sembari menyusuri jalan setapak yang ada di taman. Siang ini, tumben tidak tampak seorang pun berada di sini; padahal biasanya, entah pada jam berapa saja, pasti ada beberapa orang duduk-duduk di bangku yang tersebar di taman. Kurasa ini keberuntunganku. Aku bisa bebas melakukan apapun yang aku mau, tanpa harus menjaga image.

Senyumku melebar, kubentangkan tangan lebar-lebar. Cuaca saat ini cerah, matahari bersinar terang, tapi tidak menyengat karena awan-awan masih melindungi. Belum lagi angin sepoi-sepoi yang menyejukkan ini. Benar-benar hari yang sempurna. Aku sangat ingin menari di bawah langit yang bersahabat ini.

Berhubung tidak ada yang orang di sini, dengan santai aku mulai berputar-putar. Hangatnya mentari di kulit kujadikan sumber energi untuk terus menari, melompat-lompat kecil, dan bersenandung mengiringi langkah. Sungguh. Nyaman sekali bisa melakukan ini.

“Kamu semangat banget,” komentar seseorang dari balik punggungku. Suara laki-laki, yang sudah sangat kukenal. Tanpa menghentikan tarianku, aku berbalik menatapnya.

“Mataharinya hangat,” jawabku, sambil tersenyum manis.

Laki-laki itu ikut tersenyum, geli. Rambutnya yang sudah mulai panjang bergerak-gerak mengikuti anggukan kepalanya. “Benar. Hangat.”

Aku melemparkan satu cengiran lebar sebelum mulai melompat-lompat lagi. Kali ini aku menaiki undakan pembatas pinggir jalan setapak ini, meniti langkah hari-hati di deretan bata yang sempit itu. Aku merentangkan tangan untuk menjaga kesimbangan. Bukannya aku tidak pernah melakukannya; justru aku suka sekali berjalan di pinggiran seperti ini. Rasanya ada suatu kepuasan tersendiri untuk berdiri di tempat yang sedikit lebih tinggi. Dan adrenalin di darah yang sedikit meningkat dalam tiap langkah awas, kusambut dengan senang hati.

Ketika lagu yang kusenandungkan berakhir, langkahku pun terhenti, masih di atas pembatas jalan. Aku berbalik, kembali menatap lelaki itu. “Kenapa?” tanyaku. Dapat kurasakan sejak tadi matanya melekat pada segala tingkah ajaibku.

“Nggak apa-apa,” ucapnya singkat. “Lanjutin aja. Aku ikutin kamu.”

Tawaku meledak. “Ngejek, nih...”

Lelaki itu menggaruk kepalanya. “Nggak, nggak. Bukan ngejek. Beneran.”

Aku menutup mulut untuk menahan tawa, sementara melangkah turun dari tempatku bertengger. “Aku merasa diejek lho,” gerutuku, untuk menambah kebingungannya.

Namun sayang, usahaku menggodanya tidak berhasil. Dia malah menggelengkan kepala dan berjalan mendekatiku dengan tenang. Cih, saling meledek seperti ini sudah terlalu sering terjadi, dia pun sudah tidak mempan dengannya. Setelah berada di sampingku, dia menjitak sisi kepalaku pelan—cukup pelan hingga tidak terasa sakit sama sekali.

“Ayo,” ajaknya singkat. Aku mengangguk, dan bersama dengannya melanjutkan acara jalan-jalan hari ini. Aku masih dengan lompatan dan tarian kecil, dia masih dengan tatapannya yang tak pernah lepas dariku.

Matahari masih bersinar, hangat di hati kami.

-FIN-
A/N:
Argh this is just overly cuuuute! Excessive sweetness! /shot
Ini ditulis berdasarkan mimpi. Cuma satu scene mimpi sih (cuma bagian itu yang saya ingat). Oh and that scene just demanded me to write it down, down, down! >w<

Thursday, November 22, 2012

[Fanfic] Accolade

A/N:
People! Behold the first fanfiction published here! And the honored fandom is, Katekyo Hitman Reborn! Oh, and excuse the penname. I do use two pennames, one for fanfiction, one for orifics. If you find an author by the name Annasthacy Chashyme anywhere, then 99,999% she's me.
This was written while I was having a test at class. Lol. I finished too quickly that I was left bored so I started to scribble down anything and it turned out a Fon/Fem!Mammon thingy! I'm glad I can finally write something about them, because I love this couple.
Well, here it is. Enjoy!

Annasthacy Chashyme (c) 2012
ACCOLADE
Romance, T
Warning: kissing scene, flashfic with no real plot

“Viper.”

The hooded girl pouted at the chinese man. “Mu,” she said, “my name is Mammon. Stupid Fon.”

Fon smiled at her remark with sadness apparent in his features. “But the you I know is named Viper.”

“Things change, Fon. Even I do not remain the same.” She paused, giving an emphasis, “my name is Mammon.”

“But, Viper,” he insisted, stubbornly, though Mammon could distinctly see the walls inside him started to crumble. “Your voice is still the same. Your face. Even your scent,” he took a few strands of her hair and sniffed, as if making sure he was right, “still remains.”

Tuesday, November 20, 2012

[Orific] Bring The Man Down

Vianna Orchidia (c) 2012
Bring The Man Down

Warning: this is written in a whim of fury. Be careful of some colorful words. Flashfic. No real plot.

She was damn annoyed. What the hell?! She screams in her mind. I'm not doing that. Never.

But truth defied her. Truth was, she was walking down the stairs, as good as descending to an awaiting hell. No matter how much she complained, her legs still moved in perfect accordance, giving her a graceful outlook. Even her facial muscles didn't give into her inner emotion. Only her eyes, shining bright green, indicated the fury.

Shit, she cursed. I'm doomed. She cringed at the sight of her supposed 'fiance' downstairs, looking up at her expectantly. Ugh. How she hated expectations. She'd had enough of gleaming eyes directed at her. She'd had those since childhood. Even before she could recognize them, people had started to expect her doing things.

Only because she was the sole daughter of the Archduke. Ha. What a joke.

Monday, November 12, 2012

Ironi

Ironis. Itu yang saya rasakan. Sebenarnya mereka paham bahwa mencontek itu buruk. Mereka paham bahwa itu sesuatu yang harus dihentikan.

Bagaimana saya tahu?

Jadi begini. Kelas kami mendapat tugas untuk membuat cerita, semacam drama lah, yang harus mengandung pesan moral. Nah, salah satu teman kelompok saya bilang, "bagaimana kalau tentang masalah mencontek? Jadi nanti ada yang ketahuan nyontek terus dihukum terus kapok gitu!"

Di balik satu usulan inosen seperti itu, saya menemukan ironi yang mendalam. Tidakkah itu berarti mereka paham bahwa mencontek itu tidak boleh? Bahkan mereka tahu kalau mencontek itu akan diganjar hukuman.

Tapi kenapa masih dilakukan juga?

Ironis nggak sih?

Saturday, November 10, 2012

[Orific] Sang Pahlawan

For [#FF2in1] sesi 10 November 2012 (1)
Theme song: Hymne Guru

Senyumnya menawan. Begitu lepas, riang, sama sekali tidak tampak terbebani.

Di tengah-tengah siswa sekolah dasar yang tubuhnya ceking-ceking itu, Pak Guru jadi satu-satunya yang beda. Kulitnya paling putih. Posturnya tegap walau tidak seperti atlet apalagi binaragawan. Bagian wajahnya juga kelihatan jauh lebih berisi daripada anak-anak malang itu, yang hanya bisa makan sehari sekali.

Di tengah-tengah muridnya, cinta kasih mengalir deras. Baik dari beliau, maupun sebaliknya. Arus dua arah. Pernah, kulihat seorang anak yang belum becus mengeja menggambar sesuatu untuk Pak Guru. Itu gambar paling kasar yang kutahu, digoreskan menggunakan krayon pinjaman dengan sedemikian rupa, hingga membentuk sebentuk wajah. Matanya ramah dan giginya berderet--wajah Pak Guru.

Gambar itu sekarang dibingkai dan disayang-sayang oleh Pak Guru.

Pernah juga, Pak Guru kedatangan tamu di sekolah. Orangnya tinggi, rambutnya rapi, bajunya berkilau. Anak-anak berebutan menyalaminya, sekedar untuk mencium harum minyak wangi yang segar, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan bau keringat yang menempel di seragam mereka. Orang itu lalu bicara lama dengan Pak Guru di ruang guru. Konon dia alumni. Mantan murid. Katanya sekarang dia jadi manajer di perusahaan besar. Kaya. Sukses.

Tapi sama sekali tidak melupakan jasa pendidiknya dulu.

"Berkat Pak Guru," begitu yang mereka dengar. Dan anak-anak berseragam putih-merah itu, bersorak-sorai. Mengelu-elukan Pak Guru, seolah ialah pak presiden yang tempo hari lewat di jalan besar di kota sebelah sana. Semuanya setuju, bahkan tanpa dirunding, bahwa mereka bisa mengecap pendidikan seadanya ini karena Pak Guru.

Setelah pria itu pergi dengan janji memperbaiki gedung sekolah dan memberi tunjangan serta beasiswa pada Pak Guru juga murid-muridnya, sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa pun berjalan pulang ke rumah. Di mana aku sudah menunggu beliau, dengan dua cangkir teh hangat kesukaan kami. Ketika Pak Guru tersenyum lebar, sumringah karena mendapat jaminan pendidikan yang lebih layak di desa ini, aku memeluknya.

"Kami nggak akan lupa, Pak. Makasih banyak."

Mirai - Kalafina

MIRAI
-Kalafina-
Mahou Shoujo Madoka Magica ~Hajimari no Monogatari~
 
夢を叶えて
一人で探してた星の
同じ光を
君が見つめているだけで
いつもの夜が闇に染まる頃
走り出せるはず
一人じゃない心たちのように   
[yume wo kanaete
hitori de sagashiteta hoshi no
onaji hikari wo
kimi ga mitsumete iru dake de
itsumo no yoru ga yami ni somaru koro
hashiridaseru hazu
hitori janai kokoro-tachi no you ni]

明け行く空は
誰かが信じた明日を
裏切り続けて
それでも小さな祈りを
諦めないよ
届かないと泣き濡れた
君をただ抱きしめたい
側に居るよ、 ずっと   
[akeyuku sora wa
dareka ga shinjita ashita wo
uragiri tsuzukete
soredemo chiisana inori wo
akiramenai yo
todokanai to nakinureta
kimi wo tada
dakishimetai
soba ni iru yo
zutto]

そんな寂しい心じゃ
大事なものも失くしてしまうよ
少し優しい未来を信じていいんだと
かなしみを暖めてあげたい   
[sonna sabishi ni kokoro ja
daijina mono mo
nakushite shimau yo
sukoshi yasashii
mirai wa shinjitai
minna
kanashimi wo atatamete
agetai]

[arti sartia isorta mia
isadia sadore asortia idia
madia sorte idora
idaso adi aro]


街は静かに
君が描いた日々の中
数えきれない
夢の灯りが消える頃
いつもの夜が輝き始める
君を守りたい
一人じゃない心で行く
未来
[machi wa shizukani
kimi ga kaita hibi no naka
kazoe kirenai
yume no akari ga kieru koro
itsumo no yoru ga kagayaki hajimeru
kimi wo mamoritai
hitori janai
kokoro de yuku
mirai]

This song is very beautiful. The music feels very energetic but the lyric is kinda hopeful and sweet. <3

lyric from canta-per-me.net

Thursday, November 8, 2012

Contek-Contekan Hore!

[Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam lomba blog oleh Indonesia Berkibar, Gerakan Indonesia Berkibar Blog Competition 2012 dengan tema "Guruku Pahlawanku".]


Lie of lives to the netherworld,
Lie in yourself and your words,
Lie because you are the liar,
Vianna desu.

 Kalau ditanyai pendapat soal kualitas pendidikan Indonesia saat ini, yang jadi perhatian saya cukup yang ada di lingkungan saya sendiri. Satu masalah yang begitu berat, belum ada solusinya. Satu masalah yang menjadi akar dari berbagai masalah lain.

Bobroknya kejujuran.

Wednesday, November 7, 2012

Awal dan Kemudian

Ada yang bilang, sudah naluri dasar manusia untuk tetap di dalam zona nyamannya. Berlindung dari badai bernama perubahan. Menjauhi duri-duri kehidupan yang kadang, bisa menusuk dengan begitu kejam, tak kenal ampun. Menusuk sampai kita kehabisan darah dan kehabisan napas.

Saya jadi berpikir. Apakah saya pun seperti itu? Sejauh mana yang dikatakan sebagai 'zona nyaman' bagi saya?

Thursday, November 1, 2012

[Orific] Denganmu, Bermimpi

For #FF2in1 sesi 1 November 2012 (1)
Theme song: Perahu Kertas - Maudy Ayunanda

Di dunia ini, hanya piano yang bisa menggugah hatiku. Sejak kecil aku menyentuh tuts-tuts hitam-putih, sejak kecil aku mendengar dentingnya, dan sejak kecil aku berkawan dengan piano. Satu grand piano warna putih kepunyaan keluargaku, sudah menjadi sahabat sehari-hari. Kalau dulu ada ayah dan ibuku yang memainkannya, sekarang piano itu milikku seorang, seorang.

Dulu aku menganggap, yang bisa mengalun dalam jiwaku terbatas pada piano itu dan laguku sendiri . Ternyata aku salah. Salah. Ternyata, lagunya pun mampu bergaung indah di relung hati ini.

Aku tidak bisa berhenti. Menonton jemarinya menari di atas tuts, menyenandungkan lagu favoritku. Aku tidak kuasa mengalihkan pandangan dari entakan kepalanya yang mengikuti melodi dari permainan pianonya. Aku melihatnya, seperti melihat seseorang yang sudah lama kucari, yang sudah lama hilang dalam lautan manusia.

Seperti menemukan pelabuhan tempat pelayaranku akhirnya berhenti.

Ketika lagu yang dimainkannya habis, aku bertepuk tangan pelan. "Kamu hebat," pujiku singkat sembari melangkah ke sisinya, lalu turut duduk di kursi piano.

Dia hanya tertawa ringan. "Terima kasih," jawabnya, sementara nada-nada indah kembali mengalun. "Mau main juga?"

Tanpa bicara aku meletakkan ujung jemariku di atas tuts piano, siap mengikuti musiknya. "Bagaimana kalau kita buat lagu baru?"

"Hmm, boleh juga. Dari tadi aku ingin memainkan melodi seperti ini," dia menekan beberapa tuts secara simultan, dan hatiku membuncah saat mendengarnya. Rasanya seakan-akan aku langsung menemukan nada yang cocok untuk melengkapinya. "Bagaimana menurutmu?"

"Lalu begini," kini giliranku memainkan kumpulan nada, harmoni menyatu dengan miliknya. "Manis, kan?"

"Hmm...," ia bergumam sementara aku terus berkreasi dengan laguku. "Terdengar seperti kisah kita. Manis, penuh kejutan, mengikuti tempo takdir."

Mau tak mau aku tertawa. "Tidak biasanya kamu puitis begitu," ujarku. Lagu yang kumainkan memasuki bridge, di mana aku memainkan nada-nada yang kompleks--seperti kisah kami, yang sempat menemui tanjakan terjal serta turunan curam. Namun setelah nada yang cukup melelahkan itu, bagian akhirnya berupa not-not simpel yang begitu ringan, begitu manis.

"Dan, kisah kita berakhir dengan ucapan 'aku mencintaimu'," cetusnya.

Aku tertawa lagi, dan menambahkan, "juga 'terima kasih'."

Setelah jemariku berhenti bergerak, namun tetap bertahan di atas tuts piano, kami saling berpandangan. Bisa kurasakan senyumku melebar. "Aku bersyukur bisa menemukanmu," bisikku.
Kusandarkan kepala di bahunya, membiarkan ia mengusap kepalaku.

"Aku tahu kita pasti bisa bertemu."

Thursday, October 25, 2012

Stronger

Hari Sabtu-Minggu lalu, saya mengikuti suatu perlombaan Biologi yang diadakan oleh salah satu universitas di Surabaya. Target awal cuma sampai semifinal (diambil 20 besar dari 870-an peserta saja sudah WOW), sehingga bisa langsung pulang. Tapi ternyata, saya masuk 5 besar yang melanjutkan ke final esok harinya.

Dan materinya? Pembedahan. Dan pengamatan tumbuhan.

Di mana saya TIDAK PERNAH membedah apapun. Dan saya, sebagaimana kebanyakan anak perempuan lain, TIDAK SUKA dengan yang namanya katak. Hei, yang paling mungkin untuk dibedah hanya ikan dan katak, kan? Semua kemungkinan harus diperhitungkan!

Monday, October 22, 2012

[Poetry] Reliable

O My Dear,
Need not to fear,
although cry might you bear,
'cause He shall hear,
and He shall be near;
He shall lend you powers; mightier,
ever and ever;
A lend of no return--but some prayers,
from you who used to forget.

-20102012-
Experience talks.

[Poetry] White Romance

Snow falling...
So white, so pure, prettily they flow down the air,
into our waiting hands
Then we'll walk together,
under this snowy shower, 
holding hands and holding gazes,
and we'll say,
"miraculous, isn't it?'

Snow falling...

-20102012-
A sudden rush during Math
Inspiration from Kalafina's song, snow falling.

Thursday, October 18, 2012

Aku Sayang Mereka

[Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar "Guruku Pahlawanku" oleh Gerakan Indonesia Berkibar.]



Belakangan ini, saya sering memikirkan soal guru-guru saya. Baik yang mengajar di sekolah maupun yang saya kenal di lembaga bimbingan belajar. Saya ingat-ingat bagaimana cara mereka berinteraksi dengan saya. Satu demi satu. Mulai dari guru-guru muda yang bisa lebih santai, sampai guru-guru senior yang punya wibawa lebih. Mulai dari guru yang 'sangar', sampai guru yang dekat dengan murid-muridnya. Semua saya bandingkan.

Dan hasilnya? Saya menyimpulkan bahwa semua guru saya itu perhatian pada saya. Istilah kerennya, mereka care. Memang, ada yang tarafnya biasa, tapi ada juga yang tarafnya superlatif. Berbeda untuk tiap individu, yang punya sifat berbeda-beda pula. Ada beberapa yang rajin mengajak saya ngobrol ngalor-ngidul, ada yang selalu berbaik hati mengingatkan saya untuk menjaga pola makan, ada yang tanpa diminta mengajari saya materi-materi ekstra. Lebih banyak yang hanya sekedar senyum sih. Tapi secara keseluruhan para guru itu hapal dengan saya, dan sikapnya baik terhadap saya.

Kalau dihadapkan dengan sikap yang generally bersahabat begitu, mana bisa saya bilang kalau guru-guru saya itu menyebalkan, coba? Bagi saya, semua guru itu menyenangkan. Baik. Ramah. Enak diajak bicara. Tidak pernah marah atau menolak kalau ditanyai macam-macam atau dimintai bantuan soal pelajaran. Intinya, semua guru punya nilai positif di mata saya.

Sunday, October 14, 2012

[Poetry] "Hello"

"Hello"
For whom do I smile? To whom do I greet?
Solitude binds me, in this sea of people
I drift from one to another--roosting high beyond their reach still
Do I find comfort? Or do I want consort?
Such musings get me nowhere, I realize
But dreams humans see, as natural as your wings flapping in the air
And dream I do see--for I am human, human still.

-13102012-
Forever alone means new poems

Thursday, October 11, 2012

[Orific] Bersama

For [#FF2in1] sesi 11 Oktober 2012 (1)
Tema: Cobalah Mengerti - Ariel, Uki, Lukman, Reza, David Ft Momo Geisha

Pagi. Masih dingin, dengan seberkas saja sinar mentari. Kantuk masih kental mengambang di udara, kecuali bagi seseorang. Hanya satu orang, yang pagi-pagi begini sudah bangun dan berkutat di dapur, memasak sarapan. Dia bahkan sudah selesai membuat nasi goreng, tinggal menyeduh teh--satu poci besar, dua cangkir, yang satu berisi dua sendok gula sementara satunya lagi dibiarkan bercita rasa pahit tanpa gula. Kesukaan lelaki yang saat itu masih sibuk di dunia mimpi.

Setelah selesai memasak, dan menyiapkan meja makan, wanita dengan rambut dijepit itu melirik jam. 'Sudah waktunya,' pikirnya, sembari melangkah ke kamar tidur. Ketika pintu kamar terbuka dan dia bisa mendengar suara desah napas dari tempat tidur, tanpa sadar senyumnya tersungging.

"Sayang... ayo bangun..." Wanita paruh baya itu mengguncang pelan tubuh orang yang masih asyik tidur tersebut. Sentuhannya dingin, nyaman, membuat yang dibangunkan segera membuka mata. Setelah matanya benar-benar terbuka--meski masih berselimut kantuk--wanita itu kembali berkata, "ayo cepat, bangun. Hari ini dokter datang pagi lho."

Lelaki muda--paling masih delapan belas tahun--mengangguk. Dia memaksa tubuhnya untuk duduk. Dengan gerakan lambat, dia menggerakkan tangannya membentuk serangkaian simbol.

Sarapan apa hari ini, Bu?

Sang wanita tersenyum. "Nasi goreng. Kamu suka, kan?"

Anggukan kecil lain.

"Nah, ayo berdiri. Sini Ibu bantu..." Wanita itu melingkarkan tangannya di sekitar pinggang si anak, lalu mengangkatnya, menariknya menuju kursi roda yang selalu siap di samping tempat tidur. "Tehnya juga sudah siap, lho."

Anaknya, lelaki tampan dengan rambut hitam pendek, tersenyum senang. Tangannya kembali bergerak-gerak. Terima kasih. Ibu pasti capek.

Ibunya menggeleng pelan, lalu mengusap tengkuk anaknya. "Jangan dipikirkan. Pokoknya Ibu ada di sini. Selalu di sini, untuk kamu. Ya, Sayang?"

Iya, Ibu. Kita terus bersama, ya...

-FIN-

Wednesday, October 10, 2012

[Poetry] Tick-Ticking of Life

Second to seconds,
time slips from inside the hourglass
It's starting to fall apart,
breaking the world anew.
Come, feel them
The grains of time that's pouring out,
 drenching us in glorious growth.
Come, don't be afraid
For all these pearls are yours,
all yours.

-09102012-
some scribbling in my English workbook

Monday, October 8, 2012

[Orific] Happy Birthday

For [#FF2in1] 8 Oktober 2012 (2)
Tema: Pesta

Kling!

"Selamat ulang tahun, Mia~!" Koor meriah dari seluruh tamu undangan memekakkan telinga,  membuat ruangan yang luas ini tiba-tiba jadi terasa sumpek. Tapi, si gadis yang berulang tahun tetap tersenyum lebar.

"Terima kasih, semuanya! Setelah ini, silakan berdansa sepuasnya!" seru Mia, yang disambut dengan riuh rendah dari para tamu. Ini dia acara yang paling dinanti malam ini--memang, Mia mengadakan pesta dengan tema dancing ball. Tema yang unik dan sangat menarik minat para sosialita muda tersebut.

Selagi musik mengalun, Mia sedikit menarik diri dari keramaian pesta menuju deretan kursi yang sedikit lebih privat. Di salah satu kursi nyaman itu, sudah ada seorang lelaki yang asyik menikmati sepotong kue.

"Hei," sapa Mia pelan, sementara dia mengambil tempat duduk di samping lelaki itu. "Kuenya enak?"

Lelaki itu, rambutnya disemir pirang cerah--cocok sekali dengan kulitnya yang pucat--mengacungkan jempol. "Enak banget, Mi! Homemade ya?"

"Iya. Spesial dari para juru masak di rumahku."

"Kereeen. Titip salam buat mereka, ya. Bilang aja kalau mereka tuh harusnya buka bakery aja."

Mia mendorong bahu temannya itu main-main. "Yang masak di rumahku siapa dong? Dasar Dave," dia tertawa. "Eh, aku minta dong..." Mia mencondongkan tubuhnya ke arah Dave, minta disuapi.

"Oke, Tuan Putri. Aaa~" Dave memotong sedikit kuenya, dan menyuapi gadis itu. Sementara Mia mengunyahnya, Dave sadar kalau ada sedikit bekas krim yang tertinggal di sudut bibirnya. Sorot mata Dave langsung berubah, memikirkan sesuatu yang nakal.

"Eh, Mi, ada yang kotor tuh..." Mia langsung bereaksi dengan mengusap sisi bibirnya, hanya saja di tempat yang salah. Dave menyeringai. "Gue bersihin ya..."

Tanpa menunggu persetujuan, Dave sudah beraksi. Bibirnya menempel di sudut bibir Mia, menjilat krim yang tersisa hingga bersih sama sekali, sebelum bergeser untuk mengecup bibir gadis itu. Barulah dia menarik tubuh dan berkata dengan senyum puas, "nah, sip."

Mia sungguh tidak menyangka Dave berani menciumnya di tengah-tengah pesta seperti ini. Tapi dia sama sekali tidak bisa marah, karena Dave kemudian mengelus rambutnya dan berbisik, "selamat ulang tahun."

-FIN-

[Orific] Hadiah Kelam

For [#FF2in1] 8 Oktober 2012 (1)
Tema: Ulang tahun

Kalau kau tahu seperti apa bunyi burung camar yang memekik di pantai, maka kau tahu seperti apa jeritan dari tenggorokan gadis itu. Gadis dengan pakaian kumal, berdebu, seperti tidak pernah berganti baju selama beberapa hari. Gadis dengan air mata berlinang di pipinya, menumpahkan seluruh emosi yang selama tiga hari ini berlarut-larut dalam jiwanya.

Bahkan setelah suaranya berubah parau, dan pipinya terasa kaku, gadis itu masih terus berusaha menjerit. Berteriak, menghardik, menyalahkan alam. Menyalahkan takdir. Menyalahkan Tuhan.

Bahkan ketika tak ada lagi kata atau nada yang keluar dari bibirnya, gadis itu masih terisak. Lututnya melemah, membuatnya jatuh terduduk. Bumi menyambutnya--pasir pantai itu terasa nyaman di kaki dan pantatnya; satu-satunya bentuk perhatian dari alam untuknya selama tiga hari terakhir.

"Mengapa?"

Satu kata, seribu tanya. Dilontarkan kepada Tuhan.

"Seharusnya ini jadi hari ulang tahunku yang paling berkesan... Aku berlibur ke Bali dengan keluargaku, bayangkan! Ayah pulang dari Kalimantan hanya untuk merayakannya bareng kami. Seharusnya ini hari bahagia. Iya kan?" cerocosnya terus. Masih bersama angin yang semakin dingin. Masih bersama tangis yang tak berakhir.

"Ayah, kenapa Ayah harus naik bus itu, sih? Ayah tahu sendiri kalau sopir bus itu sekarang banyak yang ugal-ugalan di jalan. Banyak kecelakaan. Kenapa Ayah masih naik bus? Aku sudah bilang, aku sama Kakak yang akan jemput Ayah ke Jakarta. Kenapa, Yah? Kenapa?"

Monolog. Lagi-lagi monolog. Tidak ada yang mau menjawab. Tidak ada yang berani mendekat.

Ulang tahun? Sweet seventeen? Omong kosong.

-FIN-

A/N:
HA. Apa ini. Masa tema hepi gitu dijadiin angst? There's something wrong in my mind, I tell you.

[Photo] Grandma's Glasses?


Kacamata ini, baru. Kacamata ini, punya okaa-sama. Dan, masih baru.

Tapi bagi saya, kacamata ini bentuknya jadul sekali! Like, grandma's glasses.

=))

Tuesday, October 2, 2012

Pretty Presents

Yesterday shines in my eyes,
Yesterday rings in my ears,
And yesterday blossoms in my heart,
Vianna desu.

Yesterday was my birthday. I invited my classmates (and former classmate--our class got divided last year) to celebrate it at home. And the funny thing is, one of my classmate has his birthday on that day too! Well, though he was born in '94, while me in '95. We're exactly one years apart, even though we're in the same class XD

Well, it was very hilarious. And I mean, very. You couldn't talk in your normal volume--you had to shout loudly to be heard. Go imagine. The birthday boy (let's call him Dhani) brought his guitar too, because I requested him~ I know my male classmates are very fond of music, not to mention they also like to play various songs with guitar. Looks like it was a wise desicion, because the guitar and music certainly was the ice-breaker. We sang, sang along, and laugh.

The party lasted until eight. I helped my mom cleaning the house after the last guest had went home. After that, I started to unpack the presents my friends gave to me.

I got about five... or six. Can't really remember, eheheh.

[Poetry] Merry-Merry

We'll ride the merry-go-round,
Everyone, together, hand-in-hand
Go round and around and we'll land
On the hills of of dream and reality's junction
Twist them into mirage--even just a fraction
It's enough; illusionary truth, brings happiness
Although a bit, although a moment,
If we laugh and hold hands, it's enough.
Let's ride the merry-go-round

-01102012-
When my heart sings merrily

Sunday, September 30, 2012

[Poetry] Menjadi Sendiri

Ketika kengenku mulai menari dalam nadi,
Dan cinta berdendang, mengalun 'tuk iringi
Ketika hati jadi perih tak berperi,
Dan dada menyesak terpenuh hari;
Kututup kedua mata--berlari aku menuju mimpi

Tanpa ia yang terindu, tercinta, terkasih,
Duniaku bak Himalaya--bersalut putih, berpantulkan cahaya
Dingin yang sepi, indah yang menyakiti
Tanpa ia yang melindungi, menaungi, mengawasi--
aku lelah.

-29092012-
Lantunan kalbu yang didera rindu

A/N:  sayangnya ini ditulis di tengah-tengah pelajaran, jadi sedikit terpotong-potong saat proses pembuatan. Makanya, gaya bahasanya agak berubah di tengah jalan, dan makna yang diinginkan juga agak berubah. Jeda waktu yang diisi materi pelajaran bikin saya lupa sama feeling awalnya =="

[Poetry] Bliss

Appraise the flowers, bloom in their white glory
Stay still--the chatters of wind are coming
Blowing, swimming, missing the world--but never sorry
You are the singer, tell them your story,
Story of mingling and clinging and loving, in your melody
So you aren't alone--so I sing along, engrave the memory

-28092012-

Friday, September 28, 2012

[Orific] Revenge

For [#FF2in1] 28 September 2012 (2)
Theme: Mendua
Word count: 375

Siang ini, aku tertawa. Sangat keras, sampai-sampai otot perutku protes karena dipakai untuk tertawa berlebihan. Tapi, tunggu sebentar, perut. Aku masih belum puas tertawa. Aku belum puas menertawai perempuan yang duduk di kursi yang berhadap-hadapan denganku ini.

Oooh, dan cemberutnya itu! Raut wajahnya sudah seasam cuka basi. Garis bibirnya tertarik ke depan, sungguh tidak anggun sama sekali. Berseberangan seratus delapan puluh derajat dari pakaian resmi yang dia kenakan. Membuat banyolan siang ini semakin terasa lucu.

Tentu saja, hanya bagiku.

Berhenti tertawa, atau aku pergi sekarang dan kamu harus bayar makan siang kita,” ancam perempuan itu akhirnya.

Berusaha mengerem laju tawaku—hei, dompetku tidak setebal punyanya!—dan menelan humor yang berlebihan dalam darahku, aku pun meraih gelas es tehku dan menyeruput isinya sedikit. “Sorry, girl. Nggak sengaja.” Aku mengambil napas dalam sekali, lalu melanjutkan, “jadi kamu mau aku menulis artikel untuk koranmu...”

Tabloid-ku,” koreksinya cepat.

Aku mengibaskan tangan. Dasar kepala editor. Terlalu cermat. “Ya ya, tabloid, dan kamu mau aku menulis tentang perselingkuhan?”

Benar.”

Kenapa?” tanyaku sembari menopang dagu.

Sorot matanya intens, berbicara bahkan lebih banyak dari yang keluar dari mulutnya. “Aku butuh orang yang... berpengalaman.”

Aku mendengus, memilin sejumput rambut yang bergelantungan di depan mataku. “Jadi itu anggapanmu tentangku selama ini? Berpengalaman dalam hal mendua?”

Dia mengedikkan bahu. “Dulu kau bangga karena punya dua pacar,” ujarnya santai. Tanpa dosa.

Seyla...,” aku memulai. “Itu dulu. Sekarang, sudah beda. Aku kapok mendua. Selingkuh. Apapun lah istilahmu. Dan aku sama sekali nggak tertarik untuk berbagi cerita soal kisah asmaraku itu.”

Kenapa? Takut kalau image baikmu tercoreng?” Di bibirnya yang semerah darah itu tersungging senyum kemenangan.

Aih, lagi-lagi aku ingin tertawa. Sekaligus muntah. Tepat di depan mukanya. Tapi demi menjaga harga diri dan keanggunan yang kupunya, aku hanya meraih tas tanganku dari kursi di sebelahku, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang sebagai bagianku dalam acara makan siang ini. “Image baik?” aku mendengus penuh ejekan sambil berdiri. “Oh, tentu saja.”

H-hei, mau ke mana kamu, Rin?”

Aku menyeringai. “Kalau ingin membahas masalah mendua, sepertinya Nyonya Kepala Editor ini punya lebih banyak pengalaman daripada aku... Iya kan, Seyl? Tuh, PIL-mu sudah nungguin.”

Lalu aku melenggang pergi, meninggalkan Seyla terpaku dan tertohok, puas karena bisa membalaskan dendam lama pada perempuan yang sudah menjadi selingkuhan kekasihku, lima tahun silam.

[Orific] Stay

For [#FF2in1] 28 September 2012 (1)
Theme: Cinta Pertama
Word count: 324

Dia mencoba untuk menggapai sinar itu. Sinar yang kontras dengan kegelapan tempatnya bersemayam. Sinar yang membentuk jalan lurus, menuju sebuah pintu yang sangat aneh karena tidak melekat di dinding, melainkan pada gelap. Dia berusaha keras, mengulurkan tangan jauh-jauh, menggerakkan kaki dengan susah-payah—

lalu pintu itu terbuka.

Kali ini, tidak ada kegelapan dan sinar. Di depan matanya, yang ada adalah dunia nyata. Segalanya terdiri atas bentuk-bentuk yang kompleks, gradasi warna-warni, serta seraut wajah yang rasanya sangat dia kenali.

'Sora...?' bisiknya dalam hati, karena bibirnya kaku, tidak mampu bergerak barang sedikit pun. Namun pertanyaan itu tertuang dalam tatap matanya. Mengalir begitu saja seiring tetes air asin menuruni sisi wajahnya. Dan Sora—selalu Sora yang dulu, selalu paham dan mengerti segalanya tentang dia—tersenyum. Meraih tangan kanannya.

Ini aku, Maaya. Ini Sora.”

'Sora... Aku kembali?'

Selamat datang kembali, Maaya,” bisik Sora lembut padanya, sebagai jawaban atas tanya yang tak bersuara.

Maaya menggerakkan kepalanya sedikit—sebagai usaha untuk mengangguk. Gadis dengan rambut pirang stroberi itu menutup kelopak matanya sekali lagi. Dia mendengarkan detak jantungnya sendiri, sedikit lebih cepat dari tempo yang biasa, tapi tetap musik terindah baginya. Karena ini bukti bahwa dia masih hidup. Karena ini bukti bahwa hatinya masih bergetar demi sesosok lelaki bernama Sora itu.

Maaya... syukurlah.”

Keheranan, Maaya segera membuka mata untuk menangkap senyum Sora—sedih, bahagia, lega, bimbang—berpusar dalam satu garis bibir, membuat Maaya tertegun.

Akhirnya kamu bangun...”

'Ya. Akhirnya aku pulang. Demi kamu, Sora. Demi cintaku.'

Selama beberapa hari ini, aku tidak tahu harus bagaimana. Saat kamu koma, membuatku sadar...”

'Sadar akan apa, Sora?'

Aku mencintaimu. Maaf, baru sekarang aku sadar, karena ini yang pertama bagiku. Terlalu canggung, aneh, aku tidak paham sebelumnya. Tapi... Maaya, aku mencintaimu.” Sora mengecup punggung tangan Maaya, gestur yang asing bagi keduanya, karena ini memang yang pertama.

Gadis itu tersenyum kecil. Kali ini, bibirnya bergerak-gerak, lidahnya bergetar, tenggorokannya berdenyut—demi satu kalimat yang bahkan tidak koheren.

So...ra... Cinta... per...tama...ku...”

'Aku kembali, demi cinta pertamaku, Sora.'

-FIN-

Thursday, September 27, 2012

[Orific] Memoria

Re-publish from the note on my facebook.

For [#FF2in1] 25 September 2012 (1)
Theme Song: Sedang Apa Dan Di Mana - Sammy Simorangkir
Word count: 400

“Hei.”

Gadis dengan rambut pendek itu mendongak. Rona merah menyapu wajahnya yang berbentuk hati, membuatnya terlihat imut sekali. Poninya yang sudah agak panjang disibak ke belakang menggunakan bando hitam sederhana. Penampilannya segar. Dan bahkan dari jarak sebegini jauh, aku bisa mencium harum sabun yang menguar dari tubuhnya.

Aku tersenyum. “Pasti baru mandi nih?”

Jawabannya sedikit malu-malu. “Iya...”

“Mel, Mel... Padahal kita kan cuma mau ke alun-alun buat wawancara pedagang bakso. Niat amat dandannya?” godaku, senang bisa membuat gadis manis ini semakin gugup.

“Umm, yaah, namanya juga cewek, Yan... Malu kalau nggak rapi.”

Hmm. Smart answer. Anak perempuan memang beda sama kami, para adam yang kadang seenaknya sendiri dalam berpenampilan. Aku melirik bajuku sendiri sore ini: kaos v-neck yang gambarnya sudah agak luntur, celana jins selutut, dan sneakers yang entah kapan terakhir kali dicuci—dan aku meringis dalam hati. Seperti bumi dan langit dengan penampilan Melly. Kugaruk bagian belakang kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Malah aku nih yang malu, lusuh begini...”

Tapi cepat-cepat gadis itu tersenyum menenangkan. “Nggak kok, Yan. Udah bagus kok.”

“Haha, kurang rapi nih, padahal nanti kita harus foto sama pedagang bakso yang diwawancarai kan...,” sesalku. “Duh, padahal dari dulu Anita tuh—”

Menyebut nama Anita membuatku tertegun sendiri. Menyebut nama gadis yang sempat merajut kisah denganku, rasanya mengganjal. Padahal selama ini aku berusaha move on dari hubungan kami yang sudah kandas dua bulan yang lalu, bahkan berusaha mendekati Melly yang serba-perfect ini, tapi nyatanya dadaku masih terasa terhimpit kalau mengingat Anita.

Dulu, Anita yang paling rajin memberiku nasihat. Ini-itu, macam-macam yang dia minta dariku. Mulai dari menyuruhku pakai baju yang minimal tidak lusuh kalau kencan dengannya, memintaku mengurangi rokok, sampai mengingatkanku untuk belajar tiap malam. Kadang kusebut dia bawel, tapi kadang aku tahu nasihatnya itu memang benar. Kalau tidak ada dia, mana bisa aku bebas dari lintingan tembakau laknat itu, coba?

Sebesar itu arti hadirnya bagiku.

Tapi, Anita yang seperti itu, entah mengapa lama-lama hilang. Jadi jauh. Bawelnya tidak lagi menggangguku. Aku sudah mulai merasakan kejanggalan itu sejak beberapa minggu sebelum kami putus, tapi kukira itu hanya karena dia ada masalah.

Ternyata, masalahnya adalah aku bukan lagi orang yang paling dicintainya.

“Ryan?” panggil Melly lembut, membuatku tersentak. Aku tersenyum meminta maaf padanya, karena sudah mengabaikannya selama beberapa menit.

“Sori, ngelamun bentar,” ujarku.

Seulas senyum dari Melly membuatku teringat lagi pada Anita.

Sedang apa, dan ada di mana kamu, Nit? Kamu, yang dulu kucinta...

FIN

Thursday, September 13, 2012

[Poetry] Flame of Jewels

Are you alone? Singing in solitude, is it lonely?
The heartbeats marching through my ears, they are sad
United with my tears, a jewel under heavy world
Search the heart between graceful drops of rains
Because the moon always shines, for you, for me
Because the flame dims and flares, time allows
Because this is life.

-12092012-
the lyric of my downheart singing

Saturday, September 8, 2012

Melodies of Life

Melodies of Life (Final Fantasy IX Theme Song)
by Emiko Shiratori

Alone for a while I've been searching through the dark,
For traces of the love you left inside my lonely heart,
To weave by picking up the pieces that remain,
Melodies of life - love's lost refrain.

Our paths they did cross, though I cannot say just why.
We met, we laughed, we held on fast, and then we said goodbye.
And who'll hear the echoes of stories never told ?
Let them ring out loud till they unfold.

In my dearest memories, I see you reaching out to me.
Though you're gone, I still believe that you can call out my name.
A voice from the past, joining yours and mine.
Adding up the layers of harmony.
And so it goes, on and on.
Melodies of life,
To the sky beyond the flying birds - forever and beyond.

So far and away, see the birds as it flies by.
Gliding through the shadows of the clouds up in the sky.
I've laid my memories and dreams upon those wings.
Leave them now and see what tomorrow brings.

In your dearest memories, do you remember loving me ?
Was it fate that brought us close and now leave me behind ?

A voice from the past, joining yours and mine.
Adding up the layers of harmony.
And so it goes, on and on.
Melodies of life,
To the sky beyond the flying bird - forever and on.

If I should leave this lonely world behind,
Your voice will still remember our melody.
Now I know we'll carry on.
Melodies of life,
Come circle round and grow deep in our hearts, as long as we remember.

[lyric taken from http://www.lyricsmode.com/lyrics/n/nobuo_uematsu/melodies_of_life.html]

Black and White

Graceful rains begetting hollow,
Sobs running to follow,
But blinding is the light of tomorrow,
Vianna desu.

Quite a lot happened today... at school. Not everything is happy one, though.

First, at PE, we learnt how to do 'lompat jangkit'. I don't know what it goes in English (I even doubt there's that kind of sport in other countries). This is more or less a modified kind of long jump. And it uses thrice push (is that what you call 'tolakan' in English?).

Well, that's where an incident happened.

Thursday, September 6, 2012

[Review] Katekyo Hitman Reborn! 400

[Beware: I'm going to go fangirling all over.]

I read KHR 400 this afternoon... and got a hard time suppressing my squeals. There are too many, too many cool scenes. In only 17 pages.

First, Verde's machine... gone screwed. Damn. Jager is getting too gary-stu for my liking, and I don't really like where this's going. Look, Xanxus and Squalo's out, so is Byakuran. If even the remaining two also got 'killed', this series will be so downright boring.

Skeptical, but still fangirling. Yeah, that's me. I gasped and gawked when Mukuro got hit... AND SOMEONE TELL ME HIS TRIDENT'S NOT BROKEN. ;A;


And Dino saved him--in exchange he got a fatal blow though. Well, actually I don't know where his power lies in comparison to Xanxus, Squalo and Byakuran. But I tend to think he's weaker than Xanxus and Byakuran, but on par with Squalo, so I thought... he wouldn't stand a chance. [yeah, what kind of fangirl am I]


But you know, all the mass murder that happened for the last few chapters completely made me forget... about our beloved skylark: Hibari Kyouya!! 8D Where have you been hiding, damn birdie?! And, gosh, his coat made him look like a royalty out for a killing ==a (wait, he IS out for a killing).


Well, so basically (I think) I got the same expression as Reborn-Hibari-Mukuro there. "Wait, what??! Jager....?!" like that.



And then, Mukuro-Hibari tag team attack!! I believe this is a very amusing event for 6918 shipper. Because even Reborn acknowledged their good cooperation. Indeed, your natural nemesis is your best partner. So never hate someone with a passion, guys! You might've loved him/her in the process 8D #what


But Jager short-warped to Hibari's behind!! ;____; Damn you, Jager! Why don't you continue your physical dodge to Hibari's attack?!

In the same page, somehow I got a hint for D18 :-/ [looks like I'm beginning to understand how fujoshi/fudanshi's minds work]

Right, let's forget that, now onto the last panel. Anyone would be able to guess who it is. And I did, and I almost squealed. IT'S TSUNA!!! Hell yeah, I wonder if Tsuna (and their whole team, actually) have a strategy to overcome Jager's short warp. From the start, they relied on Tsuna to beat him, right?


And, with Dino-Byakuran-Xanxus-Squalo out, it left only Decimo's Guardians in the battlefield: Tsuna-Mukuro-Hibari-Chrome. (I don't think we should include Flan, lol) And, as the last chapter suggested, Reborn's gonna help 8D I wonder if Mammon will go too.

Next week will be the final clash. Looking forward to it!! >w<

[p.s: I don't own the pictures :3]

Wednesday, September 5, 2012

[Photos] Mia Nebbia & Mangifera

Sudah agak lama sih, tapi belum sempat update di sini, hehe.

So, tanggal 26 Agustus lalu, saya pergi ke toko buku untuk membeli styrofoam. Di rumah, saya siapkan cat dan tiner (uhh, tulisannya kayak gimana sih) dan kuas. Semuanya saya taruh di lantai kamar.

Ada apa gerangan?

Fufu, jadi begini. Onii-sama pernah menyarankan kalau saya sebaiknya bikin semacam 'mading' di dinding kamar. Dan sebagai mantan anak jurnalistik/mading, tentunya saya tertantang untuk mewujudkannya. Naah, pada tanggal 26 Agustus inilah, akhirnya misi saya terlaksana.

Berhubung saya ini tidak bisa menggambar (walaupun mantan anak jurnalistik/mading #orz), jadi saya pilih motif geometris yakni papan catur. Tinggal kotak-kotak hitam-putih, kan gampang =w= Sayang, karena cat yang ada di rumah cuma cat besi, jadi pengencernya adalah tiner, dan baunya ituuu urgh.

space kerja pembuatan mading :D


Entahlah berapa lama waktu yang saya perlukan waktu itu. Yang pasti, rasanya senaaang banget pas sudah selesai mengecat. Tinggal kasih judul.

Yang ada di pikiran saya langsung "Nebbia". Lol yeah, some fanatic I am. Karena tidak afdol kalau cuma satu kata, jadi saya gunakan Google Translate untuk membantu. Yang kepikiran waktu itu, "Wonderland of Mist". Oleh Google Translate, jadinya "Meraviglie di Nebbia".

So, I named it "Meraviglie di Nebbia".

Mia "Meraviglie di Nebbia"


Dan seriusan, tumben banget itu saya bisa nulis dengan rapi padahal pake tinta timbul yang notabene agak susah dipake ;___; =))

Memories :D
Untuk awalnya, mading itu saya tempeli foto-foto memorabilia. Foto saat OSN 2012 SMA tingkat Jawa Timur. Foto saat di FK Unair dalam rangka semfinal Medspin 2011. Foto waktu di lab kimia sekolah.

Betewe, di bagian judul saya tambahin gambar burung. Burung gagak. Ingat "Genjuu Mugaia"? I drew it while thinking about that one particular jutsu =))

.:.:.

Lalu satu lagi yang ingin saya sampaikan di sini.

Jadi ibu saya itu punya pohon mangga manalagi di halaman rumah. Tahun lalu adalah musim berbuah perdananya, dan dia itu mulai berbuah di akhir musim mangga umumnya. Jadi tahun ini, dia pun berbuahnya agak telat dibandingkan pohon-pohon lain. Kemarin-kemarin, waktu pohon-pohon mangga di dekat rumah, di sepanjang jalan, di mana-mana sudah berbunga dan berbuah dengan indahnya, pohon mangga kami melempem. Bikin saya penasaran nungguin.

Naaah, sekitar seminggu yang lalu si pohon ini akhirnya berbunga! Yatta! Tiap hari saya perhatikan deretan bunganya, senaaaang banget. Ternyata kemarin ibu saya bilang, "itu sudah ada yang berbuah, tapi ukurannya baru sebutir jagung."

Saya pun tambah senang. Tadi pagi saya ke sana, nyari-nyari mana yang sudah berbuah--dan ternyata benar. Lumayan banyak.


Lapor! Penyerbukan berhasil!
Lapor! Pembuahan berhasil!
Tinggal menunggu sampai besar dan siap dipetik!
Laporan selesai!

XD

[Poetry] True Beauty

Fall in grace; the lady were
Thrown as bless, her smile, her eyes
She was; everyhting and shining blindly
The life so pure, so dangerously close
To death she fell, she thrown, she shone


-28082012-
Some scribbling on my Biology workbook.

Sunday, September 2, 2012

[Poetry] Sayonara Janai

Goodbye, is it?
I wouldn't say, I wouldn't dare
Knocking on thy mind, the song of parting it might,
But unheard me. My mind. None.
Overrated frequency, I say. Overrated lengthwave you say.
Still, unheard, unheard,
not wanting to hear.

Sing, and hum, that song of longing--you may now
And smile, not rueful, not mirthful
Just suffice the world of love and of melodies

But never goodbye--
--not now.

-28082012-
A song for those who have to depart, farther from me; but, no goodbye. This isn't parting.

Thursday, August 30, 2012

[Photos] Various

Color edited, red nuance.

Suatu hari libur, masih pagi dan udara begitu dingin, saya diajak okaa-sama untuk jalan-jalan di sekitar rumah. Melihat-lihat rumah yang sedang dalam proses pembangunan tepat di belakang rumah saya. Mengamati tanaman punya okaa-sama yang cukup rimbun di halaman rumah. Nah, saat mengamati itulah saya menemukan rumpun anggrek tanah yang bunganya sudah banyak--ungu, anggun, cantik sekali. Sebagai penyuka anggrek, tentu saja saya berlama-lama di depan rumpun tersebut. Kemudian saya menemukan, bahwa di beberapa tangkainya terdapat tonjolan hijau. Setelah diamati lebih lanjut, dan dinalar, barulah saya sadar...

Itu buahnya.

Penasaran sekali saya waktu itu, belum pernah melihat buah dari anggrek tanah secara detail. Jadi saya petik beberapa, dan saya bawa masuk. Saya langsung menyiapkan selembar tisu, cutter, serta kaca pembesar milik otou-sama.

Pertama-tama saya teliti struktur dan tekstur luarnya. Setelah puas, saya potong melintang salah satu buah. Buah yang lain saya potong membujur. Ternyata isinya seperti serat yang pendek dan halus, hampir seperti serbuk. Baunya agak gimana gitu. Warnanya kuning pucat.

Hmm. Entah kenapa, saya merasa seperti 'anak Biologi banget'. Hihi.

Color-edited to sharpen colors a bit

Sewaktu masa puasa, sudah jadi kebiasaan saya untuk membatu okaa-sama menyiapkan takjil untuk kita sekeluarga. Suatu hari, menu minumannya adalah es cincau yang juga diberi nata de coco. Cincau yang warnanya hitam mengilat dicampur dengan nata de coco yang putihnya kenyal, perpaduan warnanya bikin saya tertarik. Imut sekaliii!

Color-edited, sephia mode
Onee-sama diterima di Universitas Airlangga. Salah satu persiapan untuk ospek adalah menghapalkan Hymne Airlangga serta Mars Airlangga. Berhubung okaa-sama dan otou-sama lulusan Airlangga, keduanya pernah hapal lagu-lagu tersebut. Nah, okaa-sama bilang, "coba sini ibu carikan buku wisudanya ibu dulu, di situ ada lirik lengkapnya."

Sebetulnya, cari di internet pun dapat, jadi saya dan onee-sama bilang tidak usah. Namun rupanya okaa-sama memang ingin membaca-baca buku itu lagi, jadi tetap saja dicari. Setelah, entahlah berapa hari, akhirnya okaa-sama mengacungkan sebuah buku tipis dengan senyum bangga, dan berseru, "Ketemu!"

Wow. Saya ikut membaca buku tersebut, dan hanya bisa terkagum-kagum. Itu buku wisuda tahun 1988, pemirsa! Sudah 24 tahun umurnya. Dan kondisinya masih bagus sekali. (Mungkin karena tidak pernah dibuka, cuma disimpan saja)

Ternyata... di belantara dus-dus sisa pindahan lima tahun yang lalu, masih tersimpan harta karun.

Fujo Desire

[Title isn't intented to offend. Cuma dirasa pas aja.]

Tahu nggak? Di kelas saya ada beberapa pasangan shou-ai. Yaoi. BL. Whatever. Pokoknya pasangan cowok dengan cowok.

Tunggu, mereka masih straight, tapi sukaaa banget beraksi lovey-dovey sesama cowok. Dan saya, yang notabene punya jiwa fujo sebanyak 0,001% (oke,  saya mengakui ini. Saya akui, tapi tidak menerima komentar lebih lanjut) tentu saja... ehem, menikmati. Aksi mereka tuh kadang gokil banget, sampe yang hardcore gitu pernah lho. Kalau nggak salah, waktu itu saya jejeritan. Entahlah, mungkin di luar saya kelihatan jijik(?) tapi aslinya di dalam................. cough.

And I notice, ada satu cowok yang punya banyak 'pemuja'. I notice him, as the ultimate seme.

Dia itu cool (walopun, akui sajalah, sangat gokil karena sampai bisa beraksi BL di kelas). Orangnya tinggi, tegap, rambutnya cepak-hampir-botak dan dia ikut ekskul silat (entah apa hubungannya, cuma mau nambahin aja). Suaranya dalam. Kalau diam tanpa senyum, mukanya rada sangar.

Naaah, anak ini, let's call him W, benar-benar ultimate seme. Lebih dari dua anak cowok lain suka nempel-nempel sama dia, what you call 'seductively', sambil senyum-senyum gitu. Tapiii, si W ini tetep stay cool, pemirsa! Digelayuti gitu, dia santai. Hampir tidak mengindahkan. Seakan-akan it's very natural to have his uke clinging all over him that he gets bored.

Buset.

Selain si W ini, ada beberapa uke-seme lain sih. Tapi mereka nggak stand out dibandingkan si W (dan para uke-nya). Though, BL show is daily entertainment for me. Tinggal ngeliat aja, kadarnya hardcore atau mild, tergantung tingkat insanity anak-anak pada hari itu. Lol.

[AND WHAT THE HELL AM I WRITING DOWN HERE, I'M PRACTICALLY LOSING MY MIND LOOOOL]
[And finally, I'm admitting my fujo side. Tapi pemirsa, kalau untuk animangame-movie-fanfic-dll, saya nggak dapet feel-nya. Entah kenapa cuma di RL saya merasa terhibur dengan BL. Mungkin, partially karena pelakunya adalah teman sendiri sehingga saya menganggapnya sebagai tingkah ngaco dari orang-orang gokil doang. Nggak serius kayak di fanfic gitu.]
[Dan kenapa saya terkesan membela diri begini, coba?]

Thursday, August 23, 2012

[Orific] Padang Ilusi

Ini cerita yang saya buat untuk majalah sekolah, meaning this is a re-publish~ Tema majalah adalah perayaan, makanya ini menggabungkan beberapa perayaan yang terkenal di dunia.
 
Padang Ilusi
Vianna Orchidia (c) 2011

Di dunia yang cemerlang ini, adakah sejumput gelap?
Di dunia yang gulita ini, adakah setitik cahaya?

.:.:.

“Riiiin!! Ayo siniii!”

Cewek dengan rambut dikuncir satu itu mendecak kesal. “Udah kubilang, nggak mau!” jawabnya keras. Tanpa menunggu balasan, ia langsung memutar tubuh dan berlari menjauh dari makhluk berisik yang selama ini mengaku sebagai teman dekatnya. Ukh, teman dekat apanya. Seharian ini kok kerjanya maksa terus. Yang nonton ini lah, yang lihat itu lah, sampai bosan Arina mendengarnya.

Setelah memastikan Kristin nggak mengikutinya, barulah Arina bisa menghembuskan napas lega. Dia nggak terlalu suka keramaian, makanya merasa sangat tersiksa dengan adanya festival sekolah kayak begini. Orang-orang yang berlalu-lalang tanpa henti membuatnya merasa gelisah. Arina akhirnya memutuskan untuk menghindar dulu dari segala hiruk-pikuk ini. Dia pun membawa langkahnya ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya dihindari para siswa.

Entah kenapa, Arina justru suka suasana di halaman belakang itu. Lebih tepat disebut lapangan sepak bola sih, tempat tersebut dipenuhi rumput pendek dengan beberapa batang pohon besar di sisinya. Rasanya segar dan tenang. Untuk mencapai tempat itu, siswa harus melewati lorong sempit sepanjang dua meter. Agak tersembunyi dari lingkungan sekolah memang.

Arina baru saja menginjakkan kakinya di depan lorong itu, dan matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Seorang cowok berambut cepak bersandar di tepi lorong, dan saat Arina datang dia menoleh. Seakan-akan sudah lama menunggu Arina, dia langsung mengulurkan tangan. Senyumnya yang hangat menghapus keraguan di hati cewek itu. Rasa rindu yang tak tertahankan membimbingnya untuk berlari menyongsong si cowok.

[Orific] Sang Pencipta

Re-publish dari FictionPress. Yang terakhir deh..... .____.v

 
Vianna Orchidia (c) 2012
Sang Pencipta

"Bumi ini pun... semakin sakit, ya."

Wanita dengan rambut hitam menjuntai, panjang hingga mata kaki, berbisik pada dirinya sendiri. Di hadapannya adalah cermin tinggi besar, berbingkai ukiran paling rumit di dunia, terbuat dari kayu dan berhias emas. Dari dalam cermin itu ia menatap nanar sebentuk bola sedikit pepat berwarna biru dan hijau dan cokelat—terkadang titik-titik merah menyala pun terlihat di permukaannya.

Bumi. Bagian dari tubuhnya sendiri, bagian dari Sang Gaia.

"Oh, Uranus," desahnya pelan, suaranya tercekat hingga hampir tak terdengar. "Lihatlah, lihat apa yang dilakukan anak-anak manusia itu pada tubuhku. Rusak, sakit, tak lagi indah seperti dulu. Apa yang harus kita lakukan?"

Lelaki tampan, meski wajahnya telah diwarnai guratan usia, ikut memandangi Bumi di dalam cermin ajaib itu. Sorot matanya pun nanar, ikut merasakan pilu dan nyeri pada istrinya. "Gaia, istriku...," balasnya lembut. "Aku pun sudah mulai rusak. Langit tak lagi cemerlang, melainkan dipenuhi asap yang perlahan melubangi udara. Sudah sulit untuk mendapat angin segar seperti dulu. Rasanya tubuhku telah begitu kotor—kotor yang tidak mau hilang." Lelaki itu tersenyum simpul. "Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan. Tugas kita hanya membentuk, mengatur agar bisa ditempati. Dan setelah manusia pertama memasuki Bumi serta langitnya... tugas kita selesai. Tinggal mengamati."

"Aku tahu, Uranus... tapi tidakkah mereka sadar, bahwa menyakiti Bumi juga menyakiti diri sendiri? Bumi adalah bagian dari tubuhku, manusia pun bagian dari hidupku... Apakah anak-anak itu demikian bodoh?"

"Mereka hanya tidak sadar, Gaia. Mereka tidak tahu dari mana mereka berasal, karena itu mereka bisa bertingkah semaunya. Tapi lihatlah...," Uranus menunjuk satu bagian dari Bumi, di mana manusia-manusia tengah berkumpul, menanam pohon di lahan gundul. "Tidak semuanya tenggelam dalam ketidaksadaran. Masih ada yang mau membuka mata."

Setelah terpaku beberapa saat, sudut bibir Gaia tertarik, membentuk seulas senyum yang begitu damai. "Benar. Kita hanya bisa berharap, bahwa semakin banyak manusia yang mau menyadarinya..."
"Bumi dan langitnya, kami serahkan pada kalian, anak manusia."

FIN
-04152012-

[Orific] Vigorous

Masih re-publish dari FictionPress. Enjoy~

Vianna Orchidia (c) 2012
VIGOROUS
Warning: no proofreading. This is almost-true story.



Satu hari lagi telah berlalu, heh?

Perempuan muda itu menatap langit kelam, langit tak berbintang yang memberi rasa tak nyaman. Walau angin dingin berusaha mengusirnya, tapi ia bergeming. Tak ingin mengalihkan pandangan dari sang horizon, tak ingin kembali ke dalam kamar yang berbau realita. Suara kodok dan jengkerik nun jauh di antara rerumputan juga tidak sanggup mendorongnya keluar dari lamunan yang panjang, dalam, tak berujung.

Dalam spiral otaknya, perempuan itu menemukan kata sakit. Di sebelahnya ada sedih serta duka. Susunan huruf yang mendeskripsikan keadaannya saat ini, meski di luar tidak ingin ia tunjukkan; tidak lewat kata, tidak lewat wajah. Ekspresinya sama seperti biasa, suaranya sama seperti biasa, pilihan katanya sama seperti biasa. Tapi isi hatinya, yang terdalam dan menyeruak berusaha keluar, penuh oleh ketiga kata tadi.

Suara lembut denting piano lah yang berhasil menyeretnya balik ke kenyataan. Dia beranjak dari jendela kamarnya, menuju ponsel yang menyala berdering-dering, memanggilnya, menyuruhnya sekali lagi berhadapan dengan masalah.

Meski raut wajahnya datar, namun kau bisa lihat sinar matanya—yang memang sudah redup—semakin kecil mendekati padam. Ia berdeham, berusaha menetralkan suara, sebelum memencet tombol hijau di ponselnya.

"Halo?" Ah, dia sukses menyuarakan gembira.

"Halo, Andien? Kamu nggak apa-apa kan, nak?"

"Iya, nggak apa-apa. Ibu sendiri gimana?"

"..." Hening. Perempuan muda itu menutup mata, seakan tubuhnya kini berada di dimensi lain, bersama ibunya di lorong rumah sakit, mendengar apa yang didengar ibunya dan melihat apa yang dilihat ibunya.

"Halo? Bu?"

Desahan. Suara bergetar. "Ayahmu drop lagi. Nggak tahu kenapa. Sekarang lagi di ICU."

Ah, terasa belitan di dadanya. Seperti ada yang mencekal jantungnya, mencubit paru-parunya, dan mencakar kulitnya. "Udah lama?"

"Yah, nggak juga..." Hening sekali lagi. "Ibu cuma mau ngabarin itu. Sudah dulu ya, Ndien. Nanti kalau ada perkembangan, Ibu hubungi lagi."

"Iya, Bu."

"Kamu yang hati-hati ya."

"Iya, Bu."

"Jangan lupa makan."

"Iya, Bu."

"Ya udah, nanti Ibu telpon lagi ya?"

"Iya, Bu."

Trek. Meski ponselnya sudah tidak mengeluarkan bunyi, dan layarnya kembali ke keadaan standby, perempuan itu masih memegangnya di dekat telinga. Masih berdenging. Tenggorokannya tercekat, sudah tak bisa lagi menyuarakan bohong. Dadanya juga masih sakit, tercabik, tertusuk. Sesak. Tidak kunjung hilang.

Perempuan itu sekali lagi menatap langit. Cakrawala yang mulai meneteskan air mata, sementara ia sendiri tidak bisa. Angin yang mulai membelai, merangkul tubuhnya, malah membuatnya bergidik tak nyaman. Suara hewan yang semakin menjauh, menimbulkan sepi tak terkira dalam relung hatinya.

Dia memilih untuk bergelung dalam kungkungan selimut, memejamkan mata untuk menyambut lelap.

Satu hari lagi sudah kulewati dalam dusta.
Bohong, karena aku bukannya tidak apa-apa.
Bohong, karena aku sebetulnya ingin menangis.
Bohong, karena aku sebenarnya hancur.

[Orific] Exorbitant

 Lagi nggak ada kerjaan. Re-publish orific yang ada di FictionPress ke sini ah~

Vianna Orchidia (c) 2012

EXORBITANT

Siang itu agak beda dari biasanya. Setelah pulang sekolah, aku masih harus mengikuti tambahan pelajaran dalam rangka persiapan lomba. Babak final lomba ekonomi yang aku ikuti sudah makin dekat sih, jadi guru ekonomiku pun ikut-ikutan intens memberi materi. Berkali-kali aku melirik keluar kelas, dan berkali-kali pula aku mendesah melihat halaman sekolah yang sudah sepi. Untunglah, Bu Indah sepertinya sadar kalau aku kurang berkonsentrasi mendengarkan instruksinya, jadi beliau memutuskan untuk mengakhiri tambahan pelajaran hari ini.
"Saya ngerti kalau kamu capek, Shin. Hari ini cukup sekian ya. Ingat, jaga kesehatan. Kami mengharapkanmu," ujar beliau sambil menepuk pundakku. Senyumnya ramah dan tipe keibuan banget, makanya aku suka sama beliau. Aku pun balas tersenyum dan menggangguk.

Bu Indah sudah keluar kelas saat aku membenahi barang-barangku. Dan saat aku akhirnya beranjak keluar dengan tas di punggung, aku sempat melihat mobilnya menderu keluar gerbang sekolah. "Tsk, aku yang capek kok Bu Indah yang pulangnya lebih cepet?" gumamku pada diri sendiri.

Aku memandang langit yang gelap. Aduuuh, kalau nggak cepat-cepat pergi, aku bisa kehujanan! Makanya aku berlari-lari kecil menuju lapangan parkir, di mana tinggal motorku berdiri tegak. Setelah memutar kunci kontak, aku langsung menyalakannya dan melaju. Tapi...

Takdir tak berpihak padaku hari ini.

Hujan tiba-tiba turun, langsung deras pula!

"Aaaa! Siaaal!" Tanpa daya aku terpaksa memarkir motorku di depan masjid sekolah, dan berteduh di sana. Aku menatap kesal bulir-bulir air yang menderu jatuh dari langit. "Kenapa harus hujan sekarang? Argh! Nggak bisa pulang deh! Kalo gini kan mending tambahan terus sama Bu Indah!" teriakku pada langit. Seperti orang gila saja.

Percuma marah-marah pada alam, pikirku. Aku pun memilih duduk, menopang dagu dengan kedua tangan. Nggak ada kerjaan, aku hanya menatap seluruh sekolah. Baru aku sadar, kenapa nggak ada orang sama sekali? Padahal biasanya sekolahku itu nggak pernah sepi. Adaaa saja kelompok-kelompok kecil yang bertahan di sekolah, entah untuk mengerjakan tugas ramai-ramai atau ada ekskul atau cuma bermain bola. Aneh deh. Aku mengingat-ingat, hari apa sekarang. Rasanya nggak ada sesuatu yang spesial deh.

Nah, whatever.

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya beberapa derajat di bawah jam tiga. Sudah jam segini? batinku.

"Ngapain ya...? Nggak bawa novel nih. Masa baca buku ekonomi lagi? Dih, amit-amit," aku berujar pada diriku sendiri. Toh nggak ada orang ini. Nggak ada yang lihat aksi gilaku yang bicara panjang lebar seorang diri.

"Mmm... Ngantuk..." Aku baru saja berpikir untuk merebahkan badan di lantai masjid yang dingin ini, saat mendengar denting alat musik dari balik suara hujan. Otakku langsung waspada. Ternyata sekolahku nggak 'sekosong' yang kukira.

Aku mendengarkan dengan seksama. Hujan sudah agak reda, jadi suara alat musik itu makin jelas. Ini suara gitar... dan indah sekali. Tipe permainan profesional lah. Dahiku berkerut sementara aku mempelajari nada-nada itu. Mungkinkah ini rekaman, yang disetel pakai komputer atau apa? Ah, nggak. Aku cukup yakin ini live.

Penasaran tingkat dewa menyelimutiku. Aku berusaha melacak arah sumber suara ini. Kanan, kiri? Setelah menoleh ke segala arah beberapa kali, disertai menajamkan pendengaran, akhirnya aku menyimpulkan kalau suara ini berasal dari lantai atas. Lebih tepatnya, di ujung barat balkon, dekat dengan kelasku. Kuputuskan untuk pergi mengeceknya.

Di sekolah yang teramat sepi ini, aku melangkah perlahan-lahan. Selain ingin menghindari percikan air hujan, aku juga nggak tega merusak nada-nada indah ini. ...oke, mungkin aku juga takut kepergok. Pokoknya, aku meminimalisir bunyi sepatuku, bahkan saat meniti tangga.

Sip, aku sudah sampai di lantai dua. Sekarang tinggal menoleh ke arah kanan untuk memastikan apakah deduksiku kali ini tepat. Yaaak, satu, dua, tiga...

—dan aku terpana.