Title: Puding Cokelat
Author: Vianna Orchidia /
Annasthacy Chashyme
Rating: T
Genre: General
Summary:
Tapi
Rachel suka cokelat. Dia menyukai cokelat yang manis tapi masih punya
pahit di dalamnya—membuat keseluruhan rasa tetap seimbang. Seperti
hidup. / oneshot /
Warning: perhaps some OOC-ness
A/N: Sebuah fanfiksi untuk novel
Prisca Primasari, Evergreen. Demi seluruh buku yang pernah saya baca,
Yuya adalah salah satu karakter yang benar-benar bikin melting. I
just have to write this. Ini diambil dalam canon-verse, tepat setelah
kalimat terakhir bab 17.
Disclaimer: I don't own the
Evergreen and the characters, and I receive no profit from this work.
-story start-
Satu lagi suapan puding cokelat. Manis,
lembut, lumer di lidah. Rasa pahit samar baru menyebar ke seluruh
rongga mulut saat dikunyah. Tapi Rachel suka cokelat. Dia menyukai
cokelat yang manis tapi masih punya pahit di dalamnya—membuat
keseluruhan rasa tetap seimbang.
Seperti hidup.
Saat ini, jujur saja Rachel merasa
tengah berada dalam fase pahit roda kehidupannya. Pernah dia merasa
hidupnya penuh kepahitan semata, tapi yang ini beda. Pahit yang ini
adalah hasil adonan yang berisi penyesalan karena sudah berlaku
bodoh, kesedihan atas satu bakat penulis yang meredup, serta keraguan
atas benar-tidaknya keputusan untuk mengirimkan naskah mentah
Akemi-san di lomba tersebut.
Perlahan Rachel merasakan gelombang
baru air mata mengalir di pipinya. Beberapa tetes terlepas begitu
saja, menitik di atas foto yang sejak tadi dia amat-amati.
Evergreen. Gamma. Fumio. Kari. Lalu...
Yuya.
Entah kenapa melihat senyum mereka
membuat dada Rachel sesak. Satu demi satu kisah masa lalu keempat
temannya itu terbersit di benak. Dia pun teringat Toichiro-san
yang selalu setia di kafe dengan buku Ryunosuke Akutagawa di tangan.
Teringat Akemi-san, wanita rapuh yang hampir tidak bisa
menatap suaminya sendiri di manit mata.
Sambil menangkupkan tangan di depan
mulut, Rachel terisak pelan.
Larut dalam tangisnya—kapan dia
terakhir kali meneteskan air mata sebanyak ini? Aaah, jangan-jangan
saat tragedi pemecatan itu?—Rachel hampir tidak mendengar suara
kunci diputar dan langkah kaki ringan mendekat. Saat dia mengangkat
kepala, pintu dapur sudah terbuka, seorang lelaki berambut merah
panjang membelalakkan mata.
“Ojou-san?”
“Yuya-san!” sahut gadis itu,
sama terkejutnya. Buru-buru dia mengusap mata dan pipi, meskipun dia
cukup yakin Yuya sudah melihat jejak air mata di sana.
Untuk sesaat sang pemilik kafe tidak
berkata apapun. Matanya yang dibingkai celak tebal mengamati gadis
blasteran itu, semangkuk puding cokelat yang belum habis, dan dua
lembar foto di hadapannya. Tatapannya paling lama berada pada
sepasang mata biru yang bengkak dan memerah.
“Ehm, kenapa...,” Rachel berdeham
sekali untuk menghilangkan serak khas pasca menangis di tenggorokan,
“kenapa kau ke sini malam-malam begini?”
Yuya bergerak untuk duduk di samping
Rachel. Seperti biasa, posisi duduknya terbalik dengan sandaran kursi
menghadap dada. “Aku lupa kalau belum memeriksa buah untuk
persediaan besok. Waktu sampai, ternyata lampu dapur masih menyala
dan ada suara-suara aneh dari dalam. Kau membuatku takut, tahu.”
Rachel merasakan pipinya menghangat
saat pemuda itu menyebutkan 'suara-suara aneh'. Apakah tadi dia
terisak sekeras itu? Ditambah lagi, ini Yuya! Kenapa harus Yuya yang
datang dan menemukannya menangis separah ini? Rasanya dia ingin masuk
ke dalam lubang terdekat, atau memasukkan kepala ke dalam lemari es.
Lebih bagus lagi kalau punya alat pengontrol memori seperti di film
Men in Black.
“Ojou-san,” panggil Yuya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Tahu pertanyaan itu akan muncul cepat
atau lambat, Rachel merangkai jawabannya hati-hati. “Aku... sedang
tidak ingin pulang. Jadi kupikir, aku bisa menginap di sini untuk
semalam.” Semua karyawan memang memegang satu duplikat kunci kafe.
“Hei, hei, dapur Evergreen bukan
tempat yang bagus untuk menginap,” ujar pemuda itu riang, senyumnya
jahil. Namun ketika Rachel tidak menjawab, bahkan sekedar mendelik
seperti biasanya pun tidak, sudut bibirnya turun lagi. Dia bertanya
pelan, “hari ini, kau menemui istri Toichiro-san, bukan?”
Rachel mengangguk, tatapannya masih
tertuju pada puding cokelat yang manis tapi pahit. Tadi pagi, sebelum
menuju ke kediaman Toichiro-san, Rachel memang memberitahu
Yuya lewat telepon, sekaligus menolak ajakan pemuda itu untuk ikut
mengunjungi Kari.
“Bagaimana hasilnya?”
Sebelum menjawab, Rachel menarik napas
panjang. Ini akan menjadi kisah yang panjang, pikirnya. “Aku
berhasil membujuk Toichiro-san untuk membawaku ke rumah
Akemi-san. Tapi dia—Akemi-san...,” napas gadis itu
tercekat. “Dia menolakku mentah-mentah. Dia berulang kali
mengatakan bahwa dia sudah tidak bisa menulis lagi. Bahwa dia memang
tidak punya bakat untuk menulis.”
Merasakan tirai bening yang mulai
melapisi bola matanya, Rachel berhenti sebentar untuk mengontrol
emosi. “Sayang sekali, padahal menurutku Akemi-san berbakat.
Kau sudah membacanya juga—novel buatannya sangat menarik. Dan bakat
itu hancur karena ulahku.
“Tapi,” gadis bermata biru itu
menurunkan volume suaranya secara drastis, menjadi sebuah gumaman
pelan. “Tapi yang paling menyedihkan adalah: kebodohanku sudah
memisahkan dua orang yang saling mencintai.”
Yuya mendengarkan dalam diam. Kalimat
terakhir Rachel membuat benaknya menerawang jauh. Dia bisa mengingat
jelas masa-masa di mana Toichiro-san masih datang ke kafe
bersama istrinya. Mereka tampak bahagia. Dan saling mencintai sepenuh
hati. Ketika Toichiro-san mulai datang seorang diri, auranya
berubah seratus delapan puluh derajat. Rachel benar, itu menyedihkan.
“Lalu apa yang akan kau lakukan
dengan naskahnya, Ojou-san?”
Rachel mengerjap. “Oh, itu? Aku sudah
mengirimkannya ke Dengeki Novel Prize.”
Hening.
“Kau apa?!” seru Yuya.
“Tapi, bukannya Akemi-san menolak menulis lagi?”
“Memang. Kukirimkan naskah mentah
itu.”
“Bukankah kemarin catatan revisi
darimu banyak?”
“Memang. Tapi tetap kukirim.”
Menyerah kalah, Yuya mengenyakkan tubuh
ke kursi, pipinya dibiarkan menempel di sandaran kursi. Tiba-tiba
saja sekujur tubuhnya terasa lemas. “Ojou-san, kau gila.”
Rachel mendengus untuk menyembunyikan
senyum geli yang mulai terbit di bibirnya. “Aku tahu. Aku juga
tidak yakin kenapa aku melakukannya.”
Tidak ada lagi yang bicara setelah itu.
Rachel kembali meraih sendoknya dan melahap puding cokelat itu—entah
bagaimana terasa lebih manis dan lembut, seperti hatinya yang tak
lagi terasa berat setelah bercerita pada pemuda bercelak itu.
Sementara itu, Yuya kembali mengamati gerak-gerik nona muda yang
sudah berhasil mencuri hatinya.
“Kau tahu, Ojou-san,” ucap
Yuya tiba-tiba, mengundang Rachel untuk menoleh menatap mata
cokelatnya. “Masalah novel memang
sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Tapi masalah Toichiro-san
dan istrinya, dari sini kita biarkan saja. Kalau mereka memang saling
mencintai, mereka akan memperbaiki hubungan mereka sendiri. Apa yang
kau lakukan sudah cukup. Dulu, Toichiro-san
bahkan tidak mau menemui Akemi-san
sama sekali—atau sebaliknya. Jadi kalau tadi dia sudah mau
mengantarmu ke tempat istrinya, itu sudah kemajuan.
“Kau sudah bekerja keras—kau
memberikan yang terbaik. Itu membuatku bangga. Kelak kau akan
mendapatkan yang terbaik pula.” Pemuda itu tersenyum lebar.
Rachel terpana. Baru kali ini ada yang
memujinya setulus itu. Mau tak mau dia teringat perkataan Yuya malam
itu, di apartemennya. Sesederhana itu. Kalau kau memberikan yang
terbaik, kau akan mendapatkan yang terbaik juga.
Dengan senyum tipis, gadis itu mengangguk.
“Terima
kasih...”
-fin-
A/N
#2: I'm glad I did it. A
little tribute for my favorite authoress, Prisca Primasari. Ah, saya
harap saya mendapatkan karakterisasi yang pas. Satu keinginan saya
yang tidak tercapai dari cerita ini adalah adegan Yuya memanggil
Rachel “Rashieru-chan”. Tidak ada tempat yang pas untuk momen
ini. Padahal saya suka sekali cara Yuya mengucapkan
Rashieru-chan—seperti panggilan sayang yang imut. (dan saya menulis
kalimat ini seakan-akan saya bisa mendengar/melihat Yuya
mempraktekkannya... sasuga the power of imagination.)
-omake-
Seakan
menyadari sesuatu yang penting, senyum Rachel langsung lenyap.
Matanya menyipit dalam sebuah delikan yang ganas untuk Yuya. “Hei,
tunggu dulu.”
“Hmm?
Ada apa, Ojou-san?”
“Apa
maksudmu 'membuatku bangga', hah?! Memangnya kau ibuku?!” gadis itu
menyalak galak.
-omake
#2-
Rachel
menyendok potongan terakhir puding cokelat yang tersisa. Suaranya
seperti menerawang, ditujukan lebih kepada diri sendiri saat berkata,
“kira-kira hal terbaik apa yang bisa kudapatkan, ya?”
Sendoknya
yang masih berada di perjalanan menuju mulut terpaksa pindah haluan
ketika tangan besar Yuya memegang pergelangan tangan Rachel, lalu
mengarahkannya ke dirinya sendiri. Dengan gerakan dilebih-lebihkan,
Yuya memasukkan potongan terakhir itu ke dalam mulutnya. “Hmm,
misalnya... Jodoh yang super tampan sepertiku?” ujarnya setelah
menelan puding dengan mata cokelat mengerling nakal.
Bahkan
setelah pergelangan tangannya dibebaskan, Rachel masih membatu dengan
sendok di udara. Entah mana yang lebih membuatnya syok: indirect
kiss dengan Yuya melalui sendok
itu, kata-kata menggoda dari Yuya, atau kenyataan bahwa pemuda itu
sudah merampas puding terakhir kesukaannya.
-omake
fin-
A/N
#3: YES I MANAGED THAT
FLIRTY YUYA WITH INDIRECT KISS WOOHOOOO! MISSION ACCOMPLISHED!
No comments:
Post a Comment