Suara hujan. Tik-tik-tik, makin deras,
lalu angin, tik-tik-tik, kaca jendela basah kuyup. Aku basah kuyup.
Berlindung di bawah atap ala kadarnya di depan sembarang toko, aku
masih menjadi sasaran empuk tetesan air hujan yang terbawa angin
kencang. Dingin. Aku mulai menggigil. Kepalaku pening.
'Seharusnya tadi aku pulang lebih
cepat,' sesalku. Bodoh karena sudah menunggu sampai awan mendung
berkumpul sedemikian pekat, tolol karena mengabaikan cakaran angin
dingin yang membawa bau hujan dari jauh. 'Seharusnya aku pulang
lebih cepat,' ulangku dalam hati. Bukan malah bersikeras menanti
munculnya seorang lelaki yang tidak memberi kabar. Dan lebih bodohnya
lagi, dalam kondisi begini, aku malah mengecek ponsel dengan harapan
melihat notifikasi pesan masuk dari yang kutunggu.
Nihil. Mataku bergeser sedikit ke arah
empat digit angka di sisi atas kanan layar. Satu jam lewat dari waktu
janjian. Aku ingin tersenyum tapi bibirku malah bergetar karena
dingin. Aku mengusap mata karena seperti ada air mata di sana, tapi
hanya dinginnya hujan yang kurasa. Satu jam dan aku masih mencoba
percaya pada lelaki itu. Aah, bodoh, bodoh.
'Hiiragi Maki, kau benar-benar
goblok,' aku memarahi diri sendiri. Hanya saja, mengatakan hal
itu rasanya sudah terlalu klise—aku tidak tertarik meneruskan. Mari
alihkan perhatian saja.
Sambil menarik anak rambut yang jatuh
ke depan mata, aku mulai menghitung-hitung. Probabilitas terbesar aku
baru akan sampai di rumah sekitar pukul enam, atau tujuh kalau aku
tidak beruntung. Nanti aku mau berendam air hangat yang lama.
Sepertinya aku masih punya lilin aromaterapi yang sangat kusukai itu,
jadi aku akan menyalakannya juga. Setelah puas, aku bisa langsung ke
tempat tidur karena semua pekerjaan untuk besok sudah kusiapkan
sebelumnya. Sekali-sekali tidur sebelum jam sembilan boleh lah,
apalagi rasanya aku lelah sekali. Mungkin satu bab novel misteri itu
sebelum benar-benar terlelap. Yap, rencana bagus.
Oh, aku juga harus menelepon Shou-kun
besok pagi.
Perlahan aku berjongkok lalu memeluk
lutut. Tidak punya energi untuk sekedar menangis.
.:.:.
“Shou-kun. Ini Maki. Kemarin kamu
tidak datang... Jadi kapan aku bisa menemuimu? Kamu tahu, untuk
membentakmu habis-habisan? Karena aku marah. Marah sungguhan.”
Pip. Pagi ini, ponsel Shou-kun
masih tidak bisa dihubungi. Akhirnya aku meninggalkan pesan saja,
karena aku tahu ada kemungkinan Shou-kun hanya menghindar dan
sengaja tidak mengangkat teleponku. Pesan yang bodoh, pula.
Seharusnya kan aku langsung memarahinya, terang-terangan mengatakan
kalau aku sakit hati setelah dia melanggar janjinya. Maki yang
biasanya pasti bisa menyampaikan rasa kesalnya dalam beberapa kalimat
pedas, dan Shou-kun akan meminta maaf lalu mentraktir
sushi—bam, kondisi kembali seperti sedia kala.
Masalahnya, aku lelah. Terlalu lelah
untuk berbicara dengan berapi-api. Terlalu penat untuk mulai
berbicara dengan Shou-kun tentang dinginnya pertemanan kami
belakangan ini. Menyalahkan diri sendiri rasanya beribu kali lipat
lebih mudah. Aku tinggal melemparkan kata-kata tanpa suara pada orang
di dalam cermin itu. Toh dia menerima dengan sepenuh hati. Bahkan
tidak berusaha mendengarkan logika. Lihat, lebih mudah, tidak perlu
tenaga. Aku sudah kehabisan tenaga.
Orang di dalam cermin itu menatap
kosong. Padahal semalam tidurku nyenyak. Begitu bangun, aku sadar
energiku sama sekali tidak kembali.
Maka sekali lagi aku menyalahkan diri
sendiri.
A/N: I'm sorry again, Maki. You have to
bear the burdens again.
No comments:
Post a Comment