Tuesday, February 5, 2013

[Orific] Ice Cream Memory

Vianna Orchidia (c) 2013
ICE CREAM MEMORY

Warning: oneshot, Indonesian narration but English dialogue, misstypo, vocab. A little too good to be true? 

.:.:.

"Momma, I wanna ice cream."

Aku menoleh untuk melihat seorang anak kecil berambut blonde kusam menarik-narik ujung rok seorang wanita muda yang kutebak adalah ibunya. Wanita itu segera menggandeng tangan anaknya, lalu dengan lembut menariknya ke arah penjual es krim yang diinginkannya. Bisikan-bisikan manis penuh cinta pun dilontarkan olehnya. Aku hanya bisa tersenyum melihat adegan itu.

Sebagai seorang Asia di belantara Amerika, aku menemukan hiburan dalam mengamati tingkah polah orang-orang Kaukasia ini. Ada yang berjalan cepat seakan ada anjing membuntuti langkahnya, ada pasangan yang bergandeng tangan sambil sesekali berciuman dengan santai, dan ada pula interaksi orangtua dengan anaknya, seperti yang barusan kulihat. Semuanya menyenangkan.

Sementara itu, aku cukup tahu diri bahwa warna kulit dan rambutku juga jadi hiburan bagi sebagian dari penduduk kota ini. Terutama anak-anak. Kadang kalau berjalan di dekat taman yang penuh anak-anak kecil, aku merasa seperti badut yang dibayar untuk membuat mereka terhibur. Sebagian yang masih sopan hanya akan menatapku lekat-lekat, berusaha meyakinkan diri bahwa aku bukan alien yang baru saja mendarat di lapangan pinggir kota. Sedangkan sebagian lagi, dengan tidak tahu malu akan menunjuk-nunjuk, berteriak, bahkan bertanya terus terang apakah aku punya ingus berwarna hijau (yang membuatku paham bahwa ya, mereka mengira aku ini makhluk luar angkasa). Dasar anak kecil. Kota ini memang kota terpencil yang jarang dimasuki orang asing, jadi anak-anak itu belum paham kalau ada manusia dengan ciri tubuh sedikit berbeda dari mereka.

Aku hanya berharap orangtua mereka mau menyetelkan channel televisi internasional untuk membuka wawasan mereka.

Ah. Melihat anak kecil berambut blonde tadi menjilati es krimnya dengan lahap, aku jadi tergoda juga. Toh sudah lama aku tidak makan es krim. Dengan senyum kecil di bibir aku menghampiri penjual es krim itu.



Menyadari kedatanganku, si penjual di balik gerobaknya itu tersenyum lebar. "G'mornin', missy~" sapanya ramah. Ternyata penjualnya masih muda, paling-paling seumurku. Aku tertarik melihat pemuda berkulit putih tersebut. Rambut tembaganya panjang mencapai pundak, diikat rendah di tengkuk dan bagian atasnya tertutup topi berwarna putih. Tapi selain itu penampilannya rapi. Struktur wajahnya menarik, kalau tidak bisa disebut tampan—tulang pipinya tinggi, dan rahangnya tegas. Dan matanya, hijau mengilat.

"Good morning," aku menjawab salamnya dengan senyum tipis, sedikit heran kenapa pemuda setampan ini memilih bersembunyi di balik topi juga gerobak penjual es krim. Laki-laki muda lain yang aku tahu, biasanya memanfaatkan wajah tampan mereka sebagai alasan untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Tapi mungkin aku sedikit berlebihan.

"What flavor today?"

"Hmm...," gumamku sementara mataku bergerak-gerak mengamati kontainer-kontainer berisi es krim warna-warni. Aku berhenti di dua rasa es krim favoritku. "Double scoop of chocochip and strawberry, please."

"Double scoop of chocochip and strawberry, coming!" Pemuda penjual es krim itu langsung menyambar cone juga sendok khusus es krim, dan dengan cepat menyiapkan pesananku. Dalam sekejap aku sudah menerima satu cone es krim chocochip dan stroberi. Ah, satu lagi hal yang kusadari. Orang ini sangat cekatan dan tahu apa yang dia lakukan.

Tapi pikiranku teralih. Melihat warna lembut dua tumpuk es krim di tangan membuat mataku berkilau senang. "Thank you!"

"Mah pleasure, missy," ia mengedipkan sebelah mata, namun anehnya aku tidak merasa sebal atau semacamnya. Malah, aku merasa geli atas tingkahnya yang santai dan menjurus kekanakan tersebut. Dan saat aku merogoh kantong untuk mengambil uang, ia cepat-cepat melambaikan tangannya. "No, no, missy, it's free," ujarnya segera.

Aku terperanjat. Gratis? "Oh, but I can't--"

"No, missy, just consider this as my treat."

"Uhh, thanks I guess," ujarku setengah bergumam, saking bingungnya aku ketika itu. "But why?"

Pemuda penjual es krim itu menyentuh ujung topinya dengan satu jari. "I feel bad for charging a pretty lady who got so excited over one double-scoop ice cream," katanya dengan nada setengah bercanda, setengah serius. Aku merasa pipiku memerah bukan hanya atas kata 'pretty lady', tapi juga karena kerlingan matanya seakan menuduhku seperti anak kecil yang tidak pernah makan es krim.

Only out of courtesy after a treat, I'm not going to say anything about that,” aku menghela napas.

Gee, thanks,” pemuda itu tertawa lepas sembari melepas topinya. Ia lalu menyandarkan tubuh di pagar pembatas jalan di samping gerobak es krimnya. “Bet you're the type to scold people, eh, missy?

Hampir saja aku harus menelan ludah dengan susah payah, dan itu lebih karena terpesona melihat wajahnya tanpa terhalang apapun, sebetulnya. Dia jauh lebih tampan dari penilaian awalku. Aku langsung menutupi kegugupanku dengan menjilat puncak es krim stroberiku. Hmm, sedapnya makanan manis ini selalu berhasil mengalihkan perhatianku. Aku pun bergabung dengannya, menikmati es krimku pelan-pelan. “And I bet you're the flirtatious type,” cetusku setelah satu jilatan panjang. Sedetik kemudian aku menyesal sudah mengatakannya. Bukan karakterku sama sekali untuk bicara seperti itu.

Syukurlah, pemuda berambut tembaga itu tidak menganggapnya sebagai suatu penghinaan atau semacamnya. Lagi-lagi dia hanya tertawa. “Nah, not at all!

Kemudian hening. Aku sibuk memakan es krimku sekaligus berusaha mengacuhkannya yang terus mengamatiku. Dengan mata hijaunya yang terus membayangi tiap gerakanku, rasanya kecepatan lidahku bergerak meningkat dua kali lipat. Aku bahkan terlalu gugup untuk bisa mengerem diriku sendiri.

Sampai akhirnya aku tidak tahan. “What?” cicitku. Sial. Niatnya bersuara garang, kenapa malah jadi suara tikus begitu? Aku jadi tidak bisa menatapnya langsung. Aku lebih memilih untuk mengamati jalan yang lengang, hanya beberapa sepeda maupun mobil yang lewat. Kota kecil ini memang selalu sepi.

Ah, sorry,” dia menggaruk tengkuknya, salah tingkah. Mungkin dia barusan sadar kalau caranya melihatku sungguh tidak sopan. “Uhh, you're not fom here?” tanyanya dengan sedikit ragu, jari telunjuknya mengarah pada mata dan rambutku yang hitam sepenuhnya. Ciri yang paling membedakanku dari orang-orang di negara ini. Ciri yang meski dulu membuatku sedikit minder, kini bisa kubanggakan.

Aku tersenyum simpul, memberitahunya bahwa aku tidak marah bila dia membahas masalah ini. “Nope.

Well, quite obvious, huh? Stupid me,” kekehnya. Gesturnya menjadi jauh lebih rileks. “So, where're you from?

Indonesia. FYI, it's in South-eastern Asia.

Thought so. You look genuinely Asian.

One hundred percent Asian,” aku mengangkat bahu dengan cengiran di wajah. “What about you?

One thousandth Asian, the rest is American. Been in this town since birth.

Dia punya darah Asia? Apa mungkin karena itu hidungnya tidak semancung orang-orang Amerika pada umumnya? “How did you got that tiny little bit of Asian blood?” tanyaku, penasaran.

Pemuda itu menghitung-hitung dengan kesepuluhan jarinya. “Hmm, lemme see... Pops said that his grandma was half-Chinese. Or his great-grandma? Well, either way, you got the drift.

Aku mengangguk-angguk. Aku bisa membayangkan nenek buyut pemuda ini pastilah seorang yang sangat cantik. Mengamati es krim yang tinggal sedikit di tanganku, aku teringat satu pertanyaan yang sudah melekat di benak sejak pertama kali melihatnya. “Are you always doing this job?” tanyaku padanya.

Rambut tembaga pemuda itu bergoyang ketika dia menggeleng pelan. “Only in summers. Selling ice cream helps cooling you down,” tambahnya sambil mengedipkan mata lagi. “Especially when a missy like you comes by.

I don't know whether to be honored or not, actually.

Kami berdua tertawa setelah jawaban ngawurku tersebut. Saat itulah aku baru menyadari bahwa es krimku hampir habis. Aku cepat-cepat menyelesaikan semuanya, lalu mengelap tangan serta mulut dengan tisu. “Well, but a treat once in a while isn't so bad. Not to mention it was really delicious,” ujarku seraya meluruskan badan.

Yeah, right?” ia juga berdiri tegak di sampingku, mau tak mau membuatku sadar bahwa dia lebih tinggi dariku. Pandangan mataku hanya mencapai bibirnya. Ups, tanpa sengaja aku jadi mengamati lekuk bibirnya. Aku mengerjapkan mata untuk menghentikan diriku sendiri, dan memindahkan fokus perhatianku pada matanya. Dia sudah memakai topinya lagi.

Well, once again, thanks for the treat. I'll be going now,” aku tersenyum. Sebelum melangkah pergi, aku mengecek barangku terlebih dulu. Ketika menunduk untuk merogoh tas selempangku, kulihat tangannya menyodorkan selembar kertas. Tanpa mengambil kertas itu, aku mengangkat wajah dan menatapnya. Ekspresi pemuda itu sulit dipahami.

I'm Ryan Olive. Call me anytime and I'll give you another treat,” jelasnya, tangannya kembali menyodorkan kertas itu. Ryan. Namanya bagus. Dan dia memberiku nomor teleponnya? Tanpa bisa kucegah, pipiku memanas meski aku baru saja menghabiskan satu es krim double scoop.

Ice cream again?” aku menggodanya, walaupun aku tahu itu cukup gagal mengingat wajahku yang memerah, sementara tanganku meraih lembaran kertas yang berisi sederet nomor tersebut.

Well, anything you like, missy.

A tempting invitation, huh,” aku tertawa untuk menutupi rasa gugup. “I'm Rea, by the way. Don't forget to save my number later.

Oh, senyumnya yang begitu lebar—dan, lega?—membuatku harus mengakui debaran kecil jantung ini.

See you soon, Ryan.

Yeah, see you, Rea. Really soon.

-FIN-

A/N: Wahaha akhirnya selesaaaai! Ini draft cerita udah ngendon di blog selama entah berapa lama, ada kali sebulan. Dan baru kemarin bisa saya teruskan. Dan hari ini saya edit sampai akhirnya final. Hahaha. Akhirnya!
Entah apa yang menginspirasi saya untuk membuatnya jadi seperti ini. Hanya berawal dari kata-kata teman sebangku saya yang tiba-tiba bilang ingin makan es krim, bisa berakhir jadi begini. Amazing memang author itu.
Baidewei, gaya penulisan yang menggabungkan bahasa Inggris dengan Indonesia ini meniru salah satu cerpen punya teman sekelas saya, Dinda Fujisawa. Go check her blog, francefujisawa.wordpress.com! Maaf meniru tanpa izin ya say.
Well, comments? :)

No comments:

Post a Comment