Judul: Grand Play (chapter 2)
Author: Vianna Orchidia
Rating: T
Genre: Romance/Suspense/Angst/General
Summary: Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning: Rated for a little scene ahead, though nothing much because generally the rating for this chapter just went down. Misstypo. Gaya penulisan yang berubah-ubah.
A/N: Ahhh akhirnya chapter ini bisa selesaaai! Baru chapter dua aja udah kepayahan, gimana ntar ya... ukh, jangan dibayangkan, Ann! Anyway, karena ini ditulis dengan rentang waktu antara (time gap) yang cukup lama, jangan heran kalau agak jumpy. Dan sesuai janji, nama mereka diperkenalkan di sini.
Author: Vianna Orchidia
Rating: T
Genre: Romance/Suspense/Angst/General
Summary: Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning: Rated for a little scene ahead, though nothing much because generally the rating for this chapter just went down. Misstypo. Gaya penulisan yang berubah-ubah.
A/N: Ahhh akhirnya chapter ini bisa selesaaai! Baru chapter dua aja udah kepayahan, gimana ntar ya... ukh, jangan dibayangkan, Ann! Anyway, karena ini ditulis dengan rentang waktu antara (time gap) yang cukup lama, jangan heran kalau agak jumpy. Dan sesuai janji, nama mereka diperkenalkan di sini.
-story start-
Tidak perlu menunggu lama, seperti
perkiraanku. Esok harinya, aku sudah menerima pesan dari
sekretarisku, Lynn.
“Sekretaris direktur Ayle Group
barusan menelepon, mengajukan permohonan untuk bertemu dengan Anda,”
jelas Lynn. “Anda punya jadwal kosong besok, pukul 10 pagi sampai
setelah makan siang. Bagaimana?”
“Terima saja,” ujarku sambil
memainkan pulpen di tangan kanan, dan dagu tertopang di tangan kiri.
“...Anda yakin? Dia adalah orang yang
sudah merebut harta karun keluarga Chashyme, bukan?”
Aku melemparkan senyum menenangkan pada
Lynn sebelum berhenti memutar-mutar pulpenku dan mulai membuka salah
satu map yang belum sempat kujamah pagi itu. “Tentu saja aku
yakin.”
“Mungkin besok saya bisa menemani
Anda di dalam...,” tawar wanita muda itu.
“Tidak perlu. Jangan khawatir, Lynn,
aku bisa mengatasinya.”
Ekspresi Lynn jelas menunjukkan
ketidakpercayaannya, namun wanita yang hanya lebih tua tiga tahun
dariku itu memilih untuk tidak berkomentar. Dia mengangguk patuh dan
keluar ruanganku, kembali ke mejanya di luar.
Sepeninggal Lynn, aku kembali
mengalihkan perhatian dari berkas-berkas yang seharusnya segera
kubaca dan kutangani. Kuketukkan pulpen ke meja sambil tersenyum
kecil. “Jadi, besok ya...” Aku menggelengkan kepala. Tidak
seharusnya aku merasa senang, tapi aku tidak bisa mencegahnya. Meski
menakutkan, perlu kuakui kata-katanya kemarin terasa pahit-manis di
sarafku.
Permainan macam apa yang akan dia
tawarkan besok?
-line break-
Suara ketukan di pintu menyadarkanku
dari lamunan yang baru berjalan sesaat. Aku segera berdiri, mengecek
bajuku—rok hitam lurus selutut, dipadu blus lengan pendek biru
muda, dengan aksen sabuk kecil di atasnya—lalu berujar, “masuk.”
Pintu ruanganku segera terbuka, dan
Lynn melangkah ke dalam. Perempuan itu berhenti di sisi pintu untuk
mempersilakan seseorang yang dari tadi berdiri di belakangnya masuk.
Seorang pemuda berambut putih dan
sepasang mata rubi memasuki wilayah pandangku. Ah, jantungku langsung
berdegup cepat hanya dengan melihat wajahnya. Aku hanya berharap
pipiku tidak memerah karena aliran darah yang serasa berderu di
kepalaku.
Pemuda itu tersenyum tipis—jenis
senyum yang terlihat tulus, namun bagiku jelas menyimpan bahaya—dan
mengulurkan tangannya. “Nishiki Ayle,” sebutnya ketika aku
membalas jabatan tangannya.
“Annasthacy Chashyme,” balasku.
Untuk sedetik yang terasa seperti berabad-abad, dia meremas tanganku
lembut. Membuat jabat tangan ini jadi lebih dari sekedar salam antara
dua direktur perusahaan yang saling bermusuhan.
Bisa kurasakan tanganku berkeringat
saat dia melepaskan genggaman tangannya. Aku langsung mengalihkan
pandanganku pada Lynn sambil membetulkan letak kacamata di batang
hidungku. “Terima kasih, Lynn,” kataku cepat sebelum aku
kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. “Kau boleh pergi. Oh, dan
tolong jangan ganggu kami.”
Perempuan yang baru menjadi
sekretarisku selama kurang dari setahun itu segera mematuhi
perintahku. Tanpa banyak bicara dia segera menyelinap keluar dan
menutup pintu dengan suara klik
pelan.
Selama beberapa
saat, aku dan pemuda itu hanya berdiri berhadap-hadapan, berusaha
mengintai ke dalam jiwa masing-masing sebelum menentukan tindakan
selanjutnya. Mata merah itu masih saja memabukkan, aku sadar.
Akulah yang pertama
kali mengalah dalam permainan pertama kami. Aku berputar menuju meja
kopi, sambil bertanya, “kopi, Tuan?”
Bisa kudengar tawa
dalam jawabannya yang singkat. “Tentu.”
“Gula dan susu?”
tanyaku lagi sementara tanganku menuang kopi ke dalam dua cangkir.
“Tidak usah.”
Aku hampir menjatuhkan teko berisi kopi panas itu ketika jawaban
darinya datang dalam bentuk bisikan tepat di telingaku. Kapan dia
bergerak ke belakang punggungku? Aku sama sekali tidak mendengar
suara maupun merasakan gerakannya. Aku menelan ludah dan segera
menaruh teko, takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Silahkan duduk
di sofa,” ucapku, berusaha terdengar santai. Meskipun begitu aku
tahu dia melihat topengku. “Aku bisa membawa kopinya sendiri.”
Pemuda itu
terkekeh, desah napasnya menggelitik tengkukku. “Sayang sekali, itu
bukan kebiasaanku, Nona.” Dan ia pun bergerak ke sisi tubuhku untuk
meraih nampan berisi dua cangkir kopi. Dengan mudahnya dia
mengangkatnya, lalu membawanya ke meja. Gerakannya begitu indah dan
tertata. Dan punggungnya yang berbalut jas warna hitam itu terlihat
sangat kokoh, membuatku sedikit tersipu.
Aku mengikutinya ke
sofa dan duduk di sampingnya, sama sekali tidak berusaha membuat
jarak antara tubuh kami berdua. Aku cukup yakin kami sudah melewati
tahap itu. Tidak perlu lagi basa-basi soal bahasa tubuh. Beda halnya
dengan kalimat-kalimat yang saling kami lontarkan—karena permainan
kata adalah permainan yang kami berdua kuasai, sekaligus nikmati.
Sekilas aku
teringat pada persetujuan kami dua malam lalu. Untuk tidak saling
mengenal bila kami bertemu lagi. Tapi melihat bahwa dia sendiri yang
mengajukan pertemuan ini, kurasa aku tidak perlu memikirkannya.
Kusilangkan kaki
dan berusaha merilekskan tubuh. “Lalu, ada perlu apa kau datang
sendiri ke sarang musuh, Tuan?”
Mata merahnya
berkilat sesaat ketika dia mengubah posisi tubuh—kini dia duduk
dengan tubuh menghadap ke arahku sepenuhnya. Tangannya memegang kedua
sisi wajahku dengan jempol menahan gagang kacamata lengket dengan
telinga, dan aku dibawanya mendekat ke wajahnya. Bisa kulihat bola
matanya bergerak naik-turun, seakan dia sedang menginspeksi tiap
sudut wajahku.
“Kau cantik,”
desahnya. “Jauh, jauh lebih cantik dari yang kuingat malam itu.”
Wajahku memerah
dengan cepat. Pujian yang melambungkan hatiku itu ia ucapkan dengan
nada seolah-olah dia tak tahu harus bagaimana lagi selain
mengutarakannya. Aku menurunkan pandangan, tidak bisa aku melihat ke
dalam matanya lebih lama lagi. “...uh, terima kasih.”
“Tapi kau lebih
cocok dengan rambut terurai,” tambahnya, sebelum jemarinya
merenggut jepit yang menahan rambutku tetap tergelung di belakang
kepala. Begitu jepit itu lepas, rambut panjangku segera berjatuhan,
ujungnya mencapai pinggangku.
Pemuda itu mendesah
lagi dengan salah satu lengan kini meraih ke belakang punggungku,
jari-jari lentiknya menyusuri helaian rambutku. “Nah, begini lebih
baik...”
Aku tertegun dengan
perlakuannya yang demikian lembut. Di wajahnya tidak terlihat sedikit
pun kebohongan, pura-pura, atau apapun. Yang kutemukan di manik
rubinya adalah suatu emosi yang membara, berputar-putar. Benarkah
sebegitu kuatnya perasaan pemuda itu padaku? Bersamaan dengan
munculnya pertanyaan ini, secuil rasa takut mulai tumbuh di dasar
hatiku.
“Nishiki?”
gumamku.
“Hmm?”
“Kopinya keburu
dingin.”
Pemuda itu
mengerjap. Menyadari penolakanku, dia segera menarik lengannya dan
bergeser menjauh beberapa inci. “Benar,” dia bergumam sambil
meraih salah satu cangkir di meja.
Aku menarik napas
dan mengembuskannya lewat mulut. Kuambil cangkir kopiku sambil
menunduk, sengaja menghindari wajahnya dan menyembunyikan mataku di
balik lapisan tipis gagang kacamataku. Kali ini aku bisa berkilah
dari aksinya, tapi nanti? Sampai kapan aku bisa menghindar, dan
sampai kapan dia bisa menerimanya?
Lalu mengapa dia
menerima perlakuanku?
Pikiran-pikiran
buruk berseliweran dalam benakku, membuat jejaring kusut yang tak
jelas ujung maupun pangkalnya. Inilah kebiasaanku semenjak memegang
jabatan direktur menggantikan ayahku; tidak lagi ada warna putih di
kacamataku. Hanya hitam dan abu-abu.
Dan merah menyala,
ketika aku memandang pemuda itu.
Warna yang ia bawa
membingungkanku. Entah harus kuletakkan di mana namanya—di bawah
bendera hitam musuh, ataukah di bawah naungan abu-abu seorang sekutu?
Atau haruskah kubuat satu kolom lagi, yang khusus berisi warnanya?
Namun akan kuberi nama apa kolom baru ini?
Kata tabu berawalan
C itu segera kubuang jauh-jauh sebelum melekat di otakku.
Dengan jari aku
menyisir rambutku yang sedikit berantakan karena dibebaskan begitu
saja dari jepitnya. Aku sadar, amat sangat sadar, akan tatapan
matanya yang tak pernah lepas dari diriku. Tatapan yang sama seperti
malam itu, di lantai dansa. Layaknya pemburu menanti mangsanya. Dan
itu pula yang menguatkan kecurigaanku—karena apapun yang dia
katakan, awalnya dia datang padaku sebagai serigala berbulu domba.
Kuakui aku larut
dalam emosi bila berurusan dengan pemuda itu. Melemahkanku.
Mengaburkan logika.
“Siapa kau
sebenarnya?” bisikku, masih menunduk, bertanya pada cangkir yang
kugenggam erat di antara kedua tangan.
“...bukan
siapa-siapa.”
Aku tertawa pahit.
Jawaban yang tidak masuk akal. Kalau dia bukan siapa-siapa, dia tidak
akan berada di kantorku, duduk begitu dekat denganku, meminum kopi
seduhanku. “Biar kutebak,” aku mengerling padanya dari balik
lensa kacamata, memutuskan untuk meneruskan drama ini sedikit lagi,
“kau datang kemari untuk menjadi seseorang?”
Senyumnya hampir
kuanggap tulus, bila tidak kulihat sinar berbahaya di matanya.
“Kira-kira begitu.”
“Lalu? Sudah
kautemukan?”
“Sepertinya, ya.”
Benarkah? Mau tak
mau aku sedikit terkejut atas tanggapannya. Kukira dia akan berbohong
lebih lanjut. “Seseorang yang seperti apa?”
Kini, bibirnya
membentuk seringai tanpa ditutup-tutupi. “Gelap. Keji. Penuh
kebohongan.”
Napasku tercekat,
cangkirku seperti hampir remuk dalam kuatnya jemariku meremasnya.
Jadi dia sudah menjawabnya untukku. Aku menelan ludah dengan
susah-payah.
Musuh. Sebagian
hatiku merintih perih. 'Jadi, hanya musuh.'
Sejak awal, dia
memang musuh. Yang terlalu manis untuk jadi racun. Yang terlalu
lembut untuk jadi duri. Sekaligus terlalu menipu untuk jadi
kepercayaan.
Apa yang kulakukan;
terbius dalam pesona pandangan pertama? Ternyata aku memang gadis
naif, mudah dibuai ramu-ramu asmara. Apa ini karena aku tidak punya
kesempatan untuk bercerita cinta di masa sekolah maupun kuliah dulu,
saking seriusnya aku mengejar pendidikan?
Apapun itu, tidak
ada yang bisa dijadikan alasan. Aku lemah. Itu saja.
Karena dia
sendirilah yang sudah memperjelas posisinya, aku hanya perlu memasang
strategi. Taktik untuk memukul mundur musuhku, dan membalas
dendam pada musuh ayahku.
Tubuhku gemetar.
Ah, sial. Pastilah aku tampah begitu menyedihkan, begitu menjijikkan
di matanya. Ya, wanita lemah yang menjijikkan. Untuk apa aku bergetar
seperti ini, memang? Takut? Benci? Kecewa?
...entahlah.
Dengan satu tarikan
napas panjang aku berusaha menenangkan diri. Menguatkan mental untuk
berakting dalam permainan ini. Memasang topeng baja terkuat yang
kupunya. Aku adalah direktur perusahaan Chashyme. Aku adalah kepala
keluarga. Tidak ada celah untuk kata 'lemah'—tidak boleh teperdaya
sepasang rubi itu, demi melindungi perusahaan dan keluarga yang
begitu kusayangi.
Pemuda itu hanya
musuh, aku berbisik pada hatiku. Datang membawa permainan. Mengajakku
berdansa di lantai berduri hanya untuk melihat siapa yang hancur
lebih dulu.
Dan aku bertekad
akan menang.
Dengan niat bulat
aku menegakkan tubuh dan meletakkan kembali cangkir kopi di atas
meja, gerakan yang ditiru dengan sempurna oleh pemuda itu. Sekilas
aku menyadari bahwa kedua cangkir itu masih penuh, kopi yang pada
akhirnya hanyalah basa-basi semata.
“Jadi, Tuan,”
aku memulai dengan suara terdingin yang bisa kupakai di depan pusaran
api dalam matanya, “setelah menemukannya, apa yang akan kau
lakukan?”
Seakan membeku
berkat kata-kataku, kedua matanya berhenti membara; kini tinggal
serpihan rubi tajam yang ada di dalam sana. Dan itu bukan ilusi,
apalagi permainan cahaya yang dihasilkan lensa tipis kacamataku.
Perubahan itu nyata.
“Aku hanya
menyeimbangkan keadaan,” sahut pemuda itu seraya berdiri. Dengan
gerakan otomatis dia membenahi kerah jas juga celananya. “Malam itu
kau datang padaku dengan sukarela. Sekarang aku masuk dalam kandang
lawan secara cuma-cuma.”
Ah. Kurasa aku
mengerti.
“Dan karena waktu
itu aku membiarkanmu pergi sebelum kau menusukku dengan belatimu itu,
kali ini kau juga akan melepasku sebelum aku menyarangkan
peluru di tubuhmu.”
Alisku terangkat.
Aku terkejut atas dua hal; pertama, dia tahu kalau ada belati
tersimpan di dalam gaunku malam itu. Belati itu sebagai bagian dari
rencana yang telah disusun matang-matang. Kedua, dia berhasil
menyelundupkan pistol ke dalam ruanganku? Tampaknya aku harus
memperbarui sistem keamanan gedung ini.
Aku menyilangkan
tangan di depan dada dan mulai mengamatinya dengan mata setajam
silet. Dari caranya berdiri—dagu terangkat serta lekuk bibir penuh
percaya diri bahkan ketika dia sendirian di tempat lawan—aku
menyimpulkan satu hal. Superior. Dan hal ini tersembunyi begitu indah
di balik posturnya yang langsing, sampai-sampai aku sendiri tertipu.
Dia berdiri di sana, seakan menantangku untuk menyanggah pernyatannya
barusan dan dia akan menembakku, tanpa segan.
Kalau benar dia
membawa pistol, satu tembakan dari jarak point blank sudah
cukup untuk membunuhku tanpa sempat aku menghindar.
Tanpa sadar bibirku
terangkat naik dalam ironi. Menyeimbangkan keadaan apanya? Dia hanya
ingin memojokkanku, menunjukkan kedudukannya di permainan ini. Aku
sama sekali tidak punya pilihan.
“Baik,”
putusku, perlahan melepas lipatan tanganku. Aku menahan pandanganku
di kedua manik merahnya. “Kau boleh pergi. Tapi ingat; begitu kau
keluar dari gedung ini, sekali lagi kita menjadi musuh. Bersaing dari
nol lagi.”
Respon pemuda itu
hampir instan. Ia menjawab, “kebetulan sekali.” Sebelum aku bisa
menganalisa kelegaan di suaranya, atau bahkan menangkap apa yang
dikatakannya, dia sudah menarikku berdiri dengan satu sentakan keras
pada salah satu pergelangan tanganku. Dan sebelum aku bisa
menyeimbangkan tubuh, dia sudah melingkarkan lengannya dan memelukku
erat.
Serasa udara
terhempas keluar sepenuhnya dari paru-paruku. Aku terbelalak, pipiku
memerah dengan cepat. Namun anehnya aku tidak bisa—atau tidak
mau—melepaskan diri. Dengan jantung berdebar kubiarkan dia
menyandarkan kening di pundakku, membuat leherku tergelitik
helai-helai rambut putihnya. Lengannya kokoh, sama sekali tidak
bergerak. Gestur yang membuatku sadar betapa lelaki, termasuk dia,
bisa jadi posesif.
Ketika akhirnya
pemuda itu mengangkat kepalanya sekitar sepuluh detik kemudian, dia
menatap tepat di manik mataku, intensitasnya tak berkurang sedikit
pun meski dihalangi selapis lensa kacamata, lalu bergumam, “senang
bisa bertemu denganmu, Ann.”
Eh...? “Nishi—?”
Kalimatku terpotong
karena bibirnya keburu mengunci bibirku. Aku terpaku di tempat dengan
mata terbuka—tidak menolak maupun membalas, hanya diam. Terkejut.
Bisa kurasakan bibirnya melengkung membentuk senyum, tapi aku tidak
pernah tahu jenis senyum yang seperti apa.
Tanpa kusadari
ciuman itu sudah berakhir. Tiba-tiba saja dia sudah menarik wajahnya,
menahan jarak agar kedua kening kami hampir beradu. Kedua tangannya
hanya menyentuh ringan pinggangku. Dengan napasnya yang perlahan
menerpa bibirku, mau tak mau aku menurunkan kelopak mata karena malu.
“...maafkan aku,”
desahnya.
Keningku berkerut.
“Apa—”
Brak!
Aku mengerang dalam hati karena lagi-lagi harus menelan sisa
kalimatku saat pintu ruanganku dibuka dengan kasar. Secara refleks
aku dan pemuda itu sama-sama menoleh ke arah sumber suara—dan
tubuhku membatu.
Di
sana, di depan Lynn yang tampak sangat kebingungan, adalah seorang
wanita dengan kerut-kerut samar di wajahnya. Rambutnya sehitam arang
dan irisnya berwarna perak. Warna yang sama dengan mata yang kulihat
tiap hari, di dalam cermin. Warna mataku. Ciri khas keluarga
Chashyme.
“Mama...”
Wanita
yang kupanggil Mama itu terang-terangan meledak melihat aku tengah
berada dalam pelukan seorang lelaki asing. Tidak, bukan asing
tapi musuh. Untungnya
pemuda itu masih punya akal sehat untuk langsung menarik tangannya
dari pinggangku dan mundur beberapa langkah, keluar dari jalur badai.
“ANNASTHACY!”
raung Mama, membuatku dan Lynn dan bahkan pemuda itu bergidik. Belum
pernah aku tahu Mama berteriak semurka itu. “Apa-apaan ini?! Apa
kau sudah gila?”
“Mama,
tenanglah dulu—”
“Kau
yang diam!” Aku tercekat dan hanya bisa menunduk. “Dan kau!”
Mama ganti membentak pemuda itu dengan telunjuk terangkat tinggi,
lurus dengan garis matanya, “pemuda rendah. Kau sudah membunuh
suamiku. Sekarang? Kau juga merayu putriku.”
Pemuda
itu diam saja dikatai seperti itu. Kedua mata merahnya tidak goyah di
depan tudingan kasar nan beracun Mama. Sebenarnya, malah aku yang
merasa sesak menghadapi ledakan emosi dari Mama, sosok yang kukenal
sangat lembut itu. Untuk sesaat keheningan melingkupi kami.
“Keluar,”
akhirnya Mama mendesis penuh kemarahan. “Jangan pernah injakkan
lagi kakimu di sini!”
Dan
dia mematuhi perintah wanita yang tengah histeris itu. Bibirnya
terkatup rapat, dan tatapannya sejenak berhenti di mataku, sebelum ia
melangkah pergi dari ruanganku. Pemuda berambut putih itu keluar
dengan bahu tegap dan dagu diangkat. Masih superior.
Setelah
punggung pemuda itu lenyap sepenuhnya, Mama melotot padaku. Oh tidak,
badai terburuk akan segera menerpa. Sebelum Mama mulai berceramah aku
memberi kode pada Lynn agar dia segera meninggalkan ruangan—yang
segera diikuti tanpa tanya.
Aku
menyiapkan diri untuk mendengar teriakan dari Mama ketika beliau
membuka mulut, tapi ternyata masih desisan yang bisa beliau lakukan
saat ini. “Annasthacy...”
“Aku
tahu, Mama,” aku segera memotong, dengan kedua tangan terangkat
mengindikasikan pengakuan kalah. “Maafkan aku.”
“Maaf,
Annasthacy?” suara Mama mulai naik setengah oktaf. “Apakah kalau
kau minta maaf, kalau dia minta
maaf, ayahmu bisa hidup lagi?”
Tentang
ini lagi. Kepergian Papa tentu meninggalkan luka teramat dalam bagi
Mama, sampai membuatnya jadi seorang pendendam. Mama bahkan sudah
bersumpah di depan tubuh kaku Papa untuk tidak memaafkan pemuda itu
sebelum berhasil membalas dendam. Aku menelan ludah—seperti ada
tangan tak kasat mata yang meremas jantungku kuat-kuat.
“Jelaskan,
Annasthacy. Jelaskan.”
“Aku...
memang gagal membunuhnya waktu itu,” aku menjawab, suaraku mirip
decitan karena tenggorokanku tiba-tiba kering kerontang. “Kupikir,
tidak cukup jika hanya merenggut nyawanya. Aku ingin merebut
perusahaannya, seperti dia berusaha merebut kekayaan kita.”
“Lalu
apa hubungannya?”
Satu
tarikan napas untuk menghilangkan getar dalam suaraku. “Kupikir itu
bisa kulakukan dengan merayunya... membuatnya bertekuk lutut di
hadapanku.”
Tidak
ada jawaban dari Mama, jadi aku mengangkat kepala takut-takut.
Ekspresi wanita paruh baya itu tidak lebih baik dari saat beliau
muncul pertama kali di ambang pintu ruanganku. Amarah membuat iris
peraknya berkilat-kilat. “Putri keluarga Chashyme merayu
anak Ayle itu?” Mama mengangkat tangannya, dan tanpa ampun
mendaratkan tamparan keras di pipiku.
“Kau
mau merendahkan martabat kita sampai sejauh apa, Annasthacy?! Kau
sudah gila!”
Sakit.
Pipiku serasa membara. Dengan semua kekuatan yang kupunya, aku
berbisik, “maafkan aku, Mama.”
“Kau
sudah gila, Annasthacy, kau gila. Apa kau lupa perjuangan ayahmu
membangun keluarga kita?”
“Maafkan
aku, Mama...”
“Mama
juga tidak pernah mengajarkanmu cara merayu! Kita lakukan semua
terang-terangan, dengan penuh harga diri—karena itu kita berbeda
dari keluarga Ayle!”
“...maaf,
Mama. Tapi...,” aku mengeraskan sorot mataku, dan kutatap Mama
lurus-lurus. “Tapi aku pasti akan menang, Mama. Aku janji. Aku
bersumpah akan menang.”
.kebohongan
itu menyakitkan.
.permainan seharusnya menyenangkan.
-to
be continued-
No comments:
Post a Comment