Saturday, April 6, 2013

[Orific] Grand Play (ch 2)

Judul: Grand Play (chapter 2)
Author:
Vianna Orchidia
Rating:
T
Genre:
Romance/Suspense/Angst/General 
Summary:
Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning:
Rated for a little scene ahead, though nothing much because generally the rating for this chapter just went down. Misstypo. Gaya penulisan yang berubah-ubah.
A/N: Ahhh akhirnya chapter ini bisa selesaaai! Baru chapter dua aja udah kepayahan, gimana ntar ya... ukh, jangan dibayangkan, Ann! Anyway, karena ini ditulis dengan rentang waktu antara (time gap) yang cukup lama, jangan heran kalau agak jumpy. Dan sesuai janji, nama mereka diperkenalkan di sini.
-story start-

Tidak perlu menunggu lama, seperti perkiraanku. Esok harinya, aku sudah menerima pesan dari sekretarisku, Lynn.

“Sekretaris direktur Ayle Group barusan menelepon, mengajukan permohonan untuk bertemu dengan Anda,” jelas Lynn. “Anda punya jadwal kosong besok, pukul 10 pagi sampai setelah makan siang. Bagaimana?”

“Terima saja,” ujarku sambil memainkan pulpen di tangan kanan, dan dagu tertopang di tangan kiri.

“...Anda yakin? Dia adalah orang yang sudah merebut harta karun keluarga Chashyme, bukan?”

Aku melemparkan senyum menenangkan pada Lynn sebelum berhenti memutar-mutar pulpenku dan mulai membuka salah satu map yang belum sempat kujamah pagi itu. “Tentu saja aku yakin.”

“Mungkin besok saya bisa menemani Anda di dalam...,” tawar wanita muda itu.

“Tidak perlu. Jangan khawatir, Lynn, aku bisa mengatasinya.”

Ekspresi Lynn jelas menunjukkan ketidakpercayaannya, namun wanita yang hanya lebih tua tiga tahun dariku itu memilih untuk tidak berkomentar. Dia mengangguk patuh dan keluar ruanganku, kembali ke mejanya di luar.

Sepeninggal Lynn, aku kembali mengalihkan perhatian dari berkas-berkas yang seharusnya segera kubaca dan kutangani. Kuketukkan pulpen ke meja sambil tersenyum kecil. “Jadi, besok ya...” Aku menggelengkan kepala. Tidak seharusnya aku merasa senang, tapi aku tidak bisa mencegahnya. Meski menakutkan, perlu kuakui kata-katanya kemarin terasa pahit-manis di sarafku.

Permainan macam apa yang akan dia tawarkan besok?

-line break-

Suara ketukan di pintu menyadarkanku dari lamunan yang baru berjalan sesaat. Aku segera berdiri, mengecek bajuku—rok hitam lurus selutut, dipadu blus lengan pendek biru muda, dengan aksen sabuk kecil di atasnya—lalu berujar, “masuk.”

Pintu ruanganku segera terbuka, dan Lynn melangkah ke dalam. Perempuan itu berhenti di sisi pintu untuk mempersilakan seseorang yang dari tadi berdiri di belakangnya masuk.

Seorang pemuda berambut putih dan sepasang mata rubi memasuki wilayah pandangku. Ah, jantungku langsung berdegup cepat hanya dengan melihat wajahnya. Aku hanya berharap pipiku tidak memerah karena aliran darah yang serasa berderu di kepalaku.

Pemuda itu tersenyum tipis—jenis senyum yang terlihat tulus, namun bagiku jelas menyimpan bahaya—dan mengulurkan tangannya. “Nishiki Ayle,” sebutnya ketika aku membalas jabatan tangannya.

“Annasthacy Chashyme,” balasku. Untuk sedetik yang terasa seperti berabad-abad, dia meremas tanganku lembut. Membuat jabat tangan ini jadi lebih dari sekedar salam antara dua direktur perusahaan yang saling bermusuhan.

Bisa kurasakan tanganku berkeringat saat dia melepaskan genggaman tangannya. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada Lynn sambil membetulkan letak kacamata di batang hidungku. “Terima kasih, Lynn,” kataku cepat sebelum aku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. “Kau boleh pergi. Oh, dan tolong jangan ganggu kami.”

Perempuan yang baru menjadi sekretarisku selama kurang dari setahun itu segera mematuhi perintahku. Tanpa banyak bicara dia segera menyelinap keluar dan menutup pintu dengan suara klik pelan.

Selama beberapa saat, aku dan pemuda itu hanya berdiri berhadap-hadapan, berusaha mengintai ke dalam jiwa masing-masing sebelum menentukan tindakan selanjutnya. Mata merah itu masih saja memabukkan, aku sadar.

Akulah yang pertama kali mengalah dalam permainan pertama kami. Aku berputar menuju meja kopi, sambil bertanya, “kopi, Tuan?”

Bisa kudengar tawa dalam jawabannya yang singkat. “Tentu.”

“Gula dan susu?” tanyaku lagi sementara tanganku menuang kopi ke dalam dua cangkir.

“Tidak usah.” Aku hampir menjatuhkan teko berisi kopi panas itu ketika jawaban darinya datang dalam bentuk bisikan tepat di telingaku. Kapan dia bergerak ke belakang punggungku? Aku sama sekali tidak mendengar suara maupun merasakan gerakannya. Aku menelan ludah dan segera menaruh teko, takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Silahkan duduk di sofa,” ucapku, berusaha terdengar santai. Meskipun begitu aku tahu dia melihat topengku. “Aku bisa membawa kopinya sendiri.”

Pemuda itu terkekeh, desah napasnya menggelitik tengkukku. “Sayang sekali, itu bukan kebiasaanku, Nona.” Dan ia pun bergerak ke sisi tubuhku untuk meraih nampan berisi dua cangkir kopi. Dengan mudahnya dia mengangkatnya, lalu membawanya ke meja. Gerakannya begitu indah dan tertata. Dan punggungnya yang berbalut jas warna hitam itu terlihat sangat kokoh, membuatku sedikit tersipu.

Aku mengikutinya ke sofa dan duduk di sampingnya, sama sekali tidak berusaha membuat jarak antara tubuh kami berdua. Aku cukup yakin kami sudah melewati tahap itu. Tidak perlu lagi basa-basi soal bahasa tubuh. Beda halnya dengan kalimat-kalimat yang saling kami lontarkan—karena permainan kata adalah permainan yang kami berdua kuasai, sekaligus nikmati.

Sekilas aku teringat pada persetujuan kami dua malam lalu. Untuk tidak saling mengenal bila kami bertemu lagi. Tapi melihat bahwa dia sendiri yang mengajukan pertemuan ini, kurasa aku tidak perlu memikirkannya.

Kusilangkan kaki dan berusaha merilekskan tubuh. “Lalu, ada perlu apa kau datang sendiri ke sarang musuh, Tuan?”

Mata merahnya berkilat sesaat ketika dia mengubah posisi tubuh—kini dia duduk dengan tubuh menghadap ke arahku sepenuhnya. Tangannya memegang kedua sisi wajahku dengan jempol menahan gagang kacamata lengket dengan telinga, dan aku dibawanya mendekat ke wajahnya. Bisa kulihat bola matanya bergerak naik-turun, seakan dia sedang menginspeksi tiap sudut wajahku.

“Kau cantik,” desahnya. “Jauh, jauh lebih cantik dari yang kuingat malam itu.”

Wajahku memerah dengan cepat. Pujian yang melambungkan hatiku itu ia ucapkan dengan nada seolah-olah dia tak tahu harus bagaimana lagi selain mengutarakannya. Aku menurunkan pandangan, tidak bisa aku melihat ke dalam matanya lebih lama lagi. “...uh, terima kasih.”

“Tapi kau lebih cocok dengan rambut terurai,” tambahnya, sebelum jemarinya merenggut jepit yang menahan rambutku tetap tergelung di belakang kepala. Begitu jepit itu lepas, rambut panjangku segera berjatuhan, ujungnya mencapai pinggangku.

Pemuda itu mendesah lagi dengan salah satu lengan kini meraih ke belakang punggungku, jari-jari lentiknya menyusuri helaian rambutku. “Nah, begini lebih baik...”

Aku tertegun dengan perlakuannya yang demikian lembut. Di wajahnya tidak terlihat sedikit pun kebohongan, pura-pura, atau apapun. Yang kutemukan di manik rubinya adalah suatu emosi yang membara, berputar-putar. Benarkah sebegitu kuatnya perasaan pemuda itu padaku? Bersamaan dengan munculnya pertanyaan ini, secuil rasa takut mulai tumbuh di dasar hatiku.

“Nishiki?” gumamku.

“Hmm?”

“Kopinya keburu dingin.”

Pemuda itu mengerjap. Menyadari penolakanku, dia segera menarik lengannya dan bergeser menjauh beberapa inci. “Benar,” dia bergumam sambil meraih salah satu cangkir di meja.

Aku menarik napas dan mengembuskannya lewat mulut. Kuambil cangkir kopiku sambil menunduk, sengaja menghindari wajahnya dan menyembunyikan mataku di balik lapisan tipis gagang kacamataku. Kali ini aku bisa berkilah dari aksinya, tapi nanti? Sampai kapan aku bisa menghindar, dan sampai kapan dia bisa menerimanya?

Lalu mengapa dia menerima perlakuanku?

Pikiran-pikiran buruk berseliweran dalam benakku, membuat jejaring kusut yang tak jelas ujung maupun pangkalnya. Inilah kebiasaanku semenjak memegang jabatan direktur menggantikan ayahku; tidak lagi ada warna putih di kacamataku. Hanya hitam dan abu-abu.

Dan merah menyala, ketika aku memandang pemuda itu.

Warna yang ia bawa membingungkanku. Entah harus kuletakkan di mana namanya—di bawah bendera hitam musuh, ataukah di bawah naungan abu-abu seorang sekutu? Atau haruskah kubuat satu kolom lagi, yang khusus berisi warnanya? Namun akan kuberi nama apa kolom baru ini?

Kata tabu berawalan C itu segera kubuang jauh-jauh sebelum melekat di otakku.

Dengan jari aku menyisir rambutku yang sedikit berantakan karena dibebaskan begitu saja dari jepitnya. Aku sadar, amat sangat sadar, akan tatapan matanya yang tak pernah lepas dari diriku. Tatapan yang sama seperti malam itu, di lantai dansa. Layaknya pemburu menanti mangsanya. Dan itu pula yang menguatkan kecurigaanku—karena apapun yang dia katakan, awalnya dia datang padaku sebagai serigala berbulu domba.

Kuakui aku larut dalam emosi bila berurusan dengan pemuda itu. Melemahkanku. Mengaburkan logika.

“Siapa kau sebenarnya?” bisikku, masih menunduk, bertanya pada cangkir yang kugenggam erat di antara kedua tangan.

“...bukan siapa-siapa.”

Aku tertawa pahit. Jawaban yang tidak masuk akal. Kalau dia bukan siapa-siapa, dia tidak akan berada di kantorku, duduk begitu dekat denganku, meminum kopi seduhanku. “Biar kutebak,” aku mengerling padanya dari balik lensa kacamata, memutuskan untuk meneruskan drama ini sedikit lagi, “kau datang kemari untuk menjadi seseorang?”

Senyumnya hampir kuanggap tulus, bila tidak kulihat sinar berbahaya di matanya. “Kira-kira begitu.”

“Lalu? Sudah kautemukan?”

“Sepertinya, ya.”

Benarkah? Mau tak mau aku sedikit terkejut atas tanggapannya. Kukira dia akan berbohong lebih lanjut. “Seseorang yang seperti apa?”

Kini, bibirnya membentuk seringai tanpa ditutup-tutupi. “Gelap. Keji. Penuh kebohongan.”

Napasku tercekat, cangkirku seperti hampir remuk dalam kuatnya jemariku meremasnya. Jadi dia sudah menjawabnya untukku. Aku menelan ludah dengan susah-payah.

Musuh. Sebagian hatiku merintih perih. 'Jadi, hanya musuh.'

Sejak awal, dia memang musuh. Yang terlalu manis untuk jadi racun. Yang terlalu lembut untuk jadi duri. Sekaligus terlalu menipu untuk jadi kepercayaan.

Apa yang kulakukan; terbius dalam pesona pandangan pertama? Ternyata aku memang gadis naif, mudah dibuai ramu-ramu asmara. Apa ini karena aku tidak punya kesempatan untuk bercerita cinta di masa sekolah maupun kuliah dulu, saking seriusnya aku mengejar pendidikan?

Apapun itu, tidak ada yang bisa dijadikan alasan. Aku lemah. Itu saja.

Karena dia sendirilah yang sudah memperjelas posisinya, aku hanya perlu memasang strategi. Taktik untuk memukul mundur musuhku, dan membalas dendam pada musuh ayahku.

Tubuhku gemetar. Ah, sial. Pastilah aku tampah begitu menyedihkan, begitu menjijikkan di matanya. Ya, wanita lemah yang menjijikkan. Untuk apa aku bergetar seperti ini, memang? Takut? Benci? Kecewa?

...entahlah.

Dengan satu tarikan napas panjang aku berusaha menenangkan diri. Menguatkan mental untuk berakting dalam permainan ini. Memasang topeng baja terkuat yang kupunya. Aku adalah direktur perusahaan Chashyme. Aku adalah kepala keluarga. Tidak ada celah untuk kata 'lemah'—tidak boleh teperdaya sepasang rubi itu, demi melindungi perusahaan dan keluarga yang begitu kusayangi.

Pemuda itu hanya musuh, aku berbisik pada hatiku. Datang membawa permainan. Mengajakku berdansa di lantai berduri hanya untuk melihat siapa yang hancur lebih dulu.

Dan aku bertekad akan menang.

Dengan niat bulat aku menegakkan tubuh dan meletakkan kembali cangkir kopi di atas meja, gerakan yang ditiru dengan sempurna oleh pemuda itu. Sekilas aku menyadari bahwa kedua cangkir itu masih penuh, kopi yang pada akhirnya hanyalah basa-basi semata.

“Jadi, Tuan,” aku memulai dengan suara terdingin yang bisa kupakai di depan pusaran api dalam matanya, “setelah menemukannya, apa yang akan kau lakukan?”

Seakan membeku berkat kata-kataku, kedua matanya berhenti membara; kini tinggal serpihan rubi tajam yang ada di dalam sana. Dan itu bukan ilusi, apalagi permainan cahaya yang dihasilkan lensa tipis kacamataku. Perubahan itu nyata.

“Aku hanya menyeimbangkan keadaan,” sahut pemuda itu seraya berdiri. Dengan gerakan otomatis dia membenahi kerah jas juga celananya. “Malam itu kau datang padaku dengan sukarela. Sekarang aku masuk dalam kandang lawan secara cuma-cuma.”

Ah. Kurasa aku mengerti.

“Dan karena waktu itu aku membiarkanmu pergi sebelum kau menusukku dengan belatimu itu, kali ini kau juga akan melepasku sebelum aku menyarangkan peluru di tubuhmu.”

Alisku terangkat. Aku terkejut atas dua hal; pertama, dia tahu kalau ada belati tersimpan di dalam gaunku malam itu. Belati itu sebagai bagian dari rencana yang telah disusun matang-matang. Kedua, dia berhasil menyelundupkan pistol ke dalam ruanganku? Tampaknya aku harus memperbarui sistem keamanan gedung ini.

Aku menyilangkan tangan di depan dada dan mulai mengamatinya dengan mata setajam silet. Dari caranya berdiri—dagu terangkat serta lekuk bibir penuh percaya diri bahkan ketika dia sendirian di tempat lawan—aku menyimpulkan satu hal. Superior. Dan hal ini tersembunyi begitu indah di balik posturnya yang langsing, sampai-sampai aku sendiri tertipu. Dia berdiri di sana, seakan menantangku untuk menyanggah pernyatannya barusan dan dia akan menembakku, tanpa segan.

Kalau benar dia membawa pistol, satu tembakan dari jarak point blank sudah cukup untuk membunuhku tanpa sempat aku menghindar.

Tanpa sadar bibirku terangkat naik dalam ironi. Menyeimbangkan keadaan apanya? Dia hanya ingin memojokkanku, menunjukkan kedudukannya di permainan ini. Aku sama sekali tidak punya pilihan.

“Baik,” putusku, perlahan melepas lipatan tanganku. Aku menahan pandanganku di kedua manik merahnya. “Kau boleh pergi. Tapi ingat; begitu kau keluar dari gedung ini, sekali lagi kita menjadi musuh. Bersaing dari nol lagi.”

Respon pemuda itu hampir instan. Ia menjawab, “kebetulan sekali.” Sebelum aku bisa menganalisa kelegaan di suaranya, atau bahkan menangkap apa yang dikatakannya, dia sudah menarikku berdiri dengan satu sentakan keras pada salah satu pergelangan tanganku. Dan sebelum aku bisa menyeimbangkan tubuh, dia sudah melingkarkan lengannya dan memelukku erat.

Serasa udara terhempas keluar sepenuhnya dari paru-paruku. Aku terbelalak, pipiku memerah dengan cepat. Namun anehnya aku tidak bisa—atau tidak mau—melepaskan diri. Dengan jantung berdebar kubiarkan dia menyandarkan kening di pundakku, membuat leherku tergelitik helai-helai rambut putihnya. Lengannya kokoh, sama sekali tidak bergerak. Gestur yang membuatku sadar betapa lelaki, termasuk dia, bisa jadi posesif.

Ketika akhirnya pemuda itu mengangkat kepalanya sekitar sepuluh detik kemudian, dia menatap tepat di manik mataku, intensitasnya tak berkurang sedikit pun meski dihalangi selapis lensa kacamata, lalu bergumam, “senang bisa bertemu denganmu, Ann.”

Eh...? “Nishi—?”

Kalimatku terpotong karena bibirnya keburu mengunci bibirku. Aku terpaku di tempat dengan mata terbuka—tidak menolak maupun membalas, hanya diam. Terkejut. Bisa kurasakan bibirnya melengkung membentuk senyum, tapi aku tidak pernah tahu jenis senyum yang seperti apa.

Tanpa kusadari ciuman itu sudah berakhir. Tiba-tiba saja dia sudah menarik wajahnya, menahan jarak agar kedua kening kami hampir beradu. Kedua tangannya hanya menyentuh ringan pinggangku. Dengan napasnya yang perlahan menerpa bibirku, mau tak mau aku menurunkan kelopak mata karena malu.

“...maafkan aku,” desahnya.

Keningku berkerut. “Apa—”

Brak! Aku mengerang dalam hati karena lagi-lagi harus menelan sisa kalimatku saat pintu ruanganku dibuka dengan kasar. Secara refleks aku dan pemuda itu sama-sama menoleh ke arah sumber suara—dan tubuhku membatu.

Di sana, di depan Lynn yang tampak sangat kebingungan, adalah seorang wanita dengan kerut-kerut samar di wajahnya. Rambutnya sehitam arang dan irisnya berwarna perak. Warna yang sama dengan mata yang kulihat tiap hari, di dalam cermin. Warna mataku. Ciri khas keluarga Chashyme.

Mama...”

Wanita yang kupanggil Mama itu terang-terangan meledak melihat aku tengah berada dalam pelukan seorang lelaki asing. Tidak, bukan asing tapi musuh. Untungnya pemuda itu masih punya akal sehat untuk langsung menarik tangannya dari pinggangku dan mundur beberapa langkah, keluar dari jalur badai.

ANNASTHACY!” raung Mama, membuatku dan Lynn dan bahkan pemuda itu bergidik. Belum pernah aku tahu Mama berteriak semurka itu. “Apa-apaan ini?! Apa kau sudah gila?”

Mama, tenanglah dulu—”

Kau yang diam!” Aku tercekat dan hanya bisa menunduk. “Dan kau!” Mama ganti membentak pemuda itu dengan telunjuk terangkat tinggi, lurus dengan garis matanya, “pemuda rendah. Kau sudah membunuh suamiku. Sekarang? Kau juga merayu putriku.”

Pemuda itu diam saja dikatai seperti itu. Kedua mata merahnya tidak goyah di depan tudingan kasar nan beracun Mama. Sebenarnya, malah aku yang merasa sesak menghadapi ledakan emosi dari Mama, sosok yang kukenal sangat lembut itu. Untuk sesaat keheningan melingkupi kami.

Keluar,” akhirnya Mama mendesis penuh kemarahan. “Jangan pernah injakkan lagi kakimu di sini!”

Dan dia mematuhi perintah wanita yang tengah histeris itu. Bibirnya terkatup rapat, dan tatapannya sejenak berhenti di mataku, sebelum ia melangkah pergi dari ruanganku. Pemuda berambut putih itu keluar dengan bahu tegap dan dagu diangkat. Masih superior.

Setelah punggung pemuda itu lenyap sepenuhnya, Mama melotot padaku. Oh tidak, badai terburuk akan segera menerpa. Sebelum Mama mulai berceramah aku memberi kode pada Lynn agar dia segera meninggalkan ruangan—yang segera diikuti tanpa tanya.

Aku menyiapkan diri untuk mendengar teriakan dari Mama ketika beliau membuka mulut, tapi ternyata masih desisan yang bisa beliau lakukan saat ini. “Annasthacy...”

Aku tahu, Mama,” aku segera memotong, dengan kedua tangan terangkat mengindikasikan pengakuan kalah. “Maafkan aku.”

Maaf, Annasthacy?” suara Mama mulai naik setengah oktaf. “Apakah kalau kau minta maaf, kalau dia minta maaf, ayahmu bisa hidup lagi?”

Tentang ini lagi. Kepergian Papa tentu meninggalkan luka teramat dalam bagi Mama, sampai membuatnya jadi seorang pendendam. Mama bahkan sudah bersumpah di depan tubuh kaku Papa untuk tidak memaafkan pemuda itu sebelum berhasil membalas dendam. Aku menelan ludah—seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungku kuat-kuat.

Jelaskan, Annasthacy. Jelaskan.”

Aku... memang gagal membunuhnya waktu itu,” aku menjawab, suaraku mirip decitan karena tenggorokanku tiba-tiba kering kerontang. “Kupikir, tidak cukup jika hanya merenggut nyawanya. Aku ingin merebut perusahaannya, seperti dia berusaha merebut kekayaan kita.”

Lalu apa hubungannya?”

Satu tarikan napas untuk menghilangkan getar dalam suaraku. “Kupikir itu bisa kulakukan dengan merayunya... membuatnya bertekuk lutut di hadapanku.”

Tidak ada jawaban dari Mama, jadi aku mengangkat kepala takut-takut. Ekspresi wanita paruh baya itu tidak lebih baik dari saat beliau muncul pertama kali di ambang pintu ruanganku. Amarah membuat iris peraknya berkilat-kilat. “Putri keluarga Chashyme merayu anak Ayle itu?” Mama mengangkat tangannya, dan tanpa ampun mendaratkan tamparan keras di pipiku.

Kau mau merendahkan martabat kita sampai sejauh apa, Annasthacy?! Kau sudah gila!”

Sakit. Pipiku serasa membara. Dengan semua kekuatan yang kupunya, aku berbisik, “maafkan aku, Mama.”

Kau sudah gila, Annasthacy, kau gila. Apa kau lupa perjuangan ayahmu membangun keluarga kita?”

Maafkan aku, Mama...”

Mama juga tidak pernah mengajarkanmu cara merayu! Kita lakukan semua terang-terangan, dengan penuh harga diri—karena itu kita berbeda dari keluarga Ayle!”

...maaf, Mama. Tapi...,” aku mengeraskan sorot mataku, dan kutatap Mama lurus-lurus. “Tapi aku pasti akan menang, Mama. Aku janji. Aku bersumpah akan menang.”

.kebohongan itu menyakitkan.
.permainan seharusnya menyenangkan.

-to be continued-

No comments:

Post a Comment