Lontara
Rindu
Penulis : S. Gegge
Mappangewa
Editor : Priyantono
Oemar, Alif Supriyono
Penerbit : Republika
Tahun : 2012
Ukuran : viii + 342
halaman; 13,5 cm x 20,5 cm
[Severe Spoiler Alert!]
Sinopsis:
Vito dan Vino, dua
saudara kembar yang terpaksa harus terpisah karena perceraian orang
tuanya. Vito tinggal bersama ibunya, sedangkan Vino dibawa ayahnya.
Rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari ayahnya di Perrinyameng,
Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di daerah pegunungan.
Ayah Vito pergi
ketika Vito masih kecil. Beda keyakinan membuat kakeknya tak bisa
menerima ayahnya, sehingga ibunya dulu harus mengorbankan kehormatan
keluarga, kabur dari rumah demi ayah Vito itu. Vito adalah anak yang
terluka dan ketika memasuki usia SMP ia kerap bertanya mengapa sang ayah
meninggalkannya?
Inilah kisah
pencarian sekaligus kehangatan keluarga siswa SMP itu di masa belianya
di Cenrana, Panca Lautang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, di masa
kemarau panjang mendera. Di tengah upaya diam-diamnya mencari ayah, Vito
dan teman-temannya mendapatkan ajaran moral islami dari Pak Guru Amin
yang sering bercerita tentang kisah-kisah masa lampau yang tercatat di
lontara. Namun di kemudian hari, Pak Amin harus menerima kenyataan pahit
ketika warga menuduhnya telah menyebarkan fanatisme agama.
Berhasilkah Vito
menemukan Vino dan ayahnya? Bagaimana nasib hubungan keduan orang
tuanya? Masihkan ayah Vito menganut kepercayaan leluhurnya?
Kisah Vito dan
kawan-kawan ini banyak menghadirkan tangis dan tawa dari awal hingga
akhir cerita. Sebuah romantika hidup penuh makna dan inspirasi bagi kita
pembacanya.
Sebelum memulai racauan,
saya ingin menyebutkan bahwa novel ini meraih gelar sebagai Novel
Terbaik di Lomba Novel Republika 2012. Juri pada ajang ini terdiri
atas Asma Nadia, Salman Aristo, dan Priyantoro Oemar—ketiganya
telah memiliki nama yang cukup besar di bidang kepenulisan.
Dalam novel ini,
pengambilan setting cerita
saya nilai cukup unik. Desa bernama Pakka Salo yang berada jauh di
pedalaman Sulawesi Selatan, bahkan akses angkutan umum ke kabupaten
terdekat hanya tersedia tiga hari seminggu. Di desa ini, ada sebuah
SMP yang baru dibuka, baru memiliki sembilan orang murid. Di bab 1,
yang menjadi fokus pembahasan adalah seorang wanita berusia tiga
puluhan yang mengajar di SMP tersebut, bernama Bu Maulindah.
Melihat
latar yang seperti itu, saya bisa mengira bahwa novel ini
sebelas-duabelas dengan novel Laskar Pelangi yang sempat menjadi
bacaan sejuta umat (ternyata benar bahwa sastra itu bersifat
secondary modelling system). Bedanya, kalau di Laskar Pelangi
Bu Mus adalah guru idaman, Bu Maulindah di sini justru sebaliknya.
Kerjanya hanya mengkhayal. Bagi saya, karakter ini sangat menarik.
Dia memang selalu mengkhayal bisa kerja jadi sekretaris direktur,
tapi khayalannya itu bukan tanpa dasar. Dia punya ijazah S1. Seorang
wanita, dari tempat terpencil, berhasil lulus jadi sarjana. Bahkan di
dalam novel itu sendiri disebutkan bahwa “Bu Maulindah adalah waga
Pakka Salo satu-satunya yang berhasil mengenakan jubah kebesaran yang
disebut toga wisuda” [hal.123]. Setelah itu, Bu Maulindah malah
berhasil lolos beasiswa S2 ke Jepang. Menakjubkan sekali.
Ada
beberapa makna yang dapat saya simpulkan dari satu karakter ini.
Pertama, dorongan dari penulis untuk tidak takut bermimpi. Lihatlah,
seorang pengkhayal yang berhasil keluar negeri dengan beasiswa. Ini
menunjukkan bahwa seorang pemimpi yang di balik khayalannya itu tetap
berusaha, akan bisa terbang lebih tinggi dari yang memilih untuk
tutup mata tutup telinga. Kedua, berasal dari kampung tidak menutup
kemungkinan untuk berprestasi. Dan terakhir, saya mengendus gerakan
feminisme di sini. Sengaja penulis menciptakan karakter yang begitu
luar biasa dalam mengejar mimpinya berjenis kelamin perempuan, untuk
menyuarakan feminisme. Bahwa wanita tidak berada di bawah derajat
laki-laki. Bahwa wanita lajang sampai umur tiga-puluh bukan suatu
aib. Bahwa pendidikan adalah milik semua orang.
Sayangnya,
Bu Maulindah yang begitu hebat ini (meskipun punya kebiasaan buruk
yaitu mengkhayal tidak tahu tempat dan waktu) ternyata bukan tokoh
utama. Protagonis utama di novel ini adalah Vito, salah satu murid Bu
Maulindah. Di awal cerita ia adalah murid yang bandel, hobi telat,
suka berbohong buat menutupi telatnya itu pula! Tapi dia disukai
teman-temannya karena pandai bercerita.
Dalam
perkembangannya, Vito menjadi anak yang lebih serius. Namun entah ini
penyakit atau apa, saya tidak terlalu tertarik dengan tokoh utama.
Pengembangan karakternya bagus, namun serasa masih ada yang miss
dari bocah ini. Pergantian antara sisi bandel menuju sisi serius saya
rasa terlalu cepat dan kurang memberi pembaca waktu untuk
meresapinya. Mungkin penulis berharap untuk memunculkan kesan bahwa
sisi Vito yang riang dan sedikit urakan hanyalah 'topeng' untuk
menutupi sisi seriusnya yang merindu pada sang ayah, tapi eksekusinya
sendiri kurang ciamik.
Selain
tentang Vito, novel ini sempat memberi fokus pada tokoh-tokoh lain,
seperti kasus Bu Maulindah di atas. Masih ada Irfan si teman sekelas,
Pak Bahtiar sang kepala sekolah, sampai Pak Amin sang guru penjas
yang jadi kesayangan murid-muridnya. Ada juga bab-bab yang berlatar
waktu sekitar 14 tahun sebelum timeline
asli, yakni tahun 1996, dengan tokoh utama Halimah dan Ilham.
Selain
menceritakan perkembangan tokohnya, penulis novel ini dengan cerdik
memasukkan unsur-unsur budaya lokal dalam tiap babnya, dan membuatnya
sebagai latar belakang aksi yang diambil oleh tiap tokoh. Mulai dari
sejarah, kondisi geografis, pandangan religius, dan budaya-budaya
lain. Tidak jarang penjelasan tentang budaya lokal ini menghabiskan
lebih dari dua halaman.
Sebetulnya,
bukan hanya menceritakan tentang budaya setempat, tapi seluruh novel
ini berisi tentang kritik sosial yang sangat halus mengenai hal
tersebut. Misalnya tentang makam yang 'disakralkan' oleh warga, serta
dijadikan tempat meminta 'pertolongan' dengan imbalan menyembelih
sapi atau kambing. Di dalam novel memang hanya dijelaskan seperti apa
bentuknya, seperti apa perlakuan masyarakat terhadap makam
tersebut—namun dengan satu-dua kata saja, terlihat kesan bahwa
penulis sangat mengecam hal tersebut. Inilah bagian yang paling saya
suka dari novel ini: kritik sosial yang diselipkan dalam sastra.
Membuat kita berpikir dua kali.
Dari
segi alur, harus saya akui pembawaannya cukup menarik. Little
things made up the big one. Banyak kejadian yang sepertinya tidak
berhubungan tapi sesungguhnya kausatif. Saya pribadi suka bagian
kebakaran kebun jambu mete milik keluarga Vito. Bagian ini memang
singkat, tapi mengena buat saya karena di sini menunjukkan
kesetiakawanan para pemuda SMP yang hanya bertujuh itu. (Or I just
have a thing for fire and arsons.) Ah, seandainya bagian ini
dibuat sedikit lebih panjang dengan menceritakan bagaimana tepatnya
teman-teman Vito sampai ke dalam kebun itu.
Yang
cukup saya sayangkan adalah bagian terakhir novel ini, di mana
teman-teman Vito harus bertanding futsal semetara Vito dibawa ke
Samarinda. Memang fokus cerita adalah Vito, tapi menurut saya usaha
mereka main futsal patut diberi porsi yang lebih. Di novel,
seakan-akan hanya diceritakan bahwa mereka datang, bertanding, kalah.
Sama sekali tidak ada 'rasanya'. Lalu bagaimana dengan ibu Vito yang
katanya mau ikut ke ibukota? Apakah beliau ikut hanya sampai
Sidenreng, tapi tidak sampai Makassar? Atau sebenarnya ikut ke
Makassar tapi tidak diperlihatkan? Ini plothole terbesar yang
saya temukan di novel ini.
Lalu
lebih ke belakang lagi, di penghabisan cerita, juga kurang sedap.
Cerita berakhir hanya sampai Vito ingin pulang dari Samarinda. Lalu
bagaimana dengan, lagi-lagi, ibunda Vito? Beliau bingung setengah
mati karena anaknya hilang, lalu saat si anak akhirnya mau pulang,
tidak diceritakan bagaimana reuni mereka? I don't think so, sir.
Rasanya seperti cerita ini belum selesai! (Ada apa dengan saya dan
unfinished stories...)
No comments:
Post a Comment