Snow
Country: Daerah Salju
(Judul asli: 雪国
lit. Yukiguni)
Pengarang : Kawabata
Yasunari
Penerjemah : A. S. Laksana
Editor : Gita Romadhona
Penerbit : GagasMedia
Tahun terbit : 2010
(cetakan kedua)
Ukuran : vi + 190 hal, 13
x 19 cm
Sinopsis:
Lagu pertama itu
menyentuh sesuatu yang kosong di dasar perutnya, dan dalam kekosongan
itulah suara shamisen bergema. Shimamura terkejut—atau, lebih
tepat, ia terjengkang oleh sebuah pukulan telak. Terbenam dalam
perasaan khidmat, dibasuh oleh gelombang penyesalan, tanpa daya, ia
tak memiliki kekuatan lagi untuk melaklukan apa pun, kecuali
menghanyutkan dirinya pada arus yang menyeretnya, pada keriangan yang
dihadirkan oeh Komako kepadanya.
Di daerah bersalju yang
selalu dingin itu, Shimamura bertemu Komako, seorang geisha
yang pipinya sewarna angsa yang baru dibului. Tanpa ia sadari,
Shimamura tahu Komako tengah jatuh cinta padanya, begitu pula
sebaliknya. Keduanya berusaha menemukan pembenaran atas cinta mereka,
hingga akhirnya menyerah dan menyadari kalau cinta mereka telah gagal
sejak kali pertama mereka bertemu.
Peringatan!
Possible spoiler ahead!
Bisa
dibilang bahwa ini adalah sastra klasik terjemahan pertama yang saya
baca. Kendala alih bahasa adalah fokus pertama saya ketika membaca
novel ini. Memang sulit membawa keindahan kata-kata dalam satu bahasa
ke dalam bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia, novel ini memang indah,
tapi ada rasa yang kurang di sana. Saya yakin dalam bahasa aslinya,
yakni bahasa Jepang, keindahan bahasanya berkali-kali lipat. Apalagi
kalau mengingat bahwa huruf kanji bisa mengandung lebih dari satu
makna. Ingin rasanya, kalau nanti kemampuan bahasa Jepang saya sudah
lebih mumpuni, membaca novel ini dalam bahasa aslinya.
Saat
membaca Yukiguni, sampai terakhir pun saya masih terombang-ambing
dengan setting waktu
yang dipakai. Saya tahu kalau cerita ini ditulis pada masa sekitar
kemerdekaan Indonesia, yang berarti bukan zaman modern—tapi tiap
ada kata telepon, taksi, dan sejenisnya, mau tidak mau yang saya
bayangkan adalah setting
yang lebih maju daripada seharusnya. Atau saya saja yang salah
memahami kondisi negara Jepang di tahun-tahun itu? Entahlah.
Selain
itu, ada beberapa bagian di mana cerita seakan progresif, padahal
sebenarnya tengah membicarakan masa lalu (flashback).
Mungkin ini dipengaruhi oleh bahasa Jepang yang kurang luas dalam
masalah tense, tidak
seperti dalam bahasa Inggris yang selain memiliki past
tense, masih ada past
continuous dan past
perfect dan selanjutnya.
Menerjemahkan dari bahasa Jepang sepertinya tidak semudah
kelihatannya.
Masalah
teknis lain yang saya temukan dalam novel versi terjemahan ini,
adalah adanya istilah sanpaku
yang kadang dipakai langsung, namun kadang diterjemahkan menjadi
“celana gunung”. Inkonsistensi ini sedikit mengganggu pembaca
(terlebih yang perfeksionis seperti saya).
Tampaknya
sudah cukup panjang saya mengomentari masalah teknis penulisan dan
penerjemahan. Sekarang waktunya sedikit (sok-sokan) menganalisis dari
segi cerita.
Tema
cerita ini klasik. Kisah cinta antara seorang lelaki beristri dengan
geisha, saya kira
adalah tema cerita yang cukup umum, bukan hanya untuk karya-karya
masa itu tapi sampai masa kini. Namun mungkin yang membedakan adalah
gaya penceritaan dan cara mereka berinteraksi. Dalam cerita ini,
afeksi antara Shimamura dan Komako tidak vulgar. Justru disebutkan
bahwa Shimamura sangat menghargai perbincangan mereka, dan justru
tidak bernafsu pada geisha
lain yang tidak secerdas Komako. Kedua orang ini tidak pernah
mengucap cinta, namun rasa nyaman yang hadir tiap kali mereka bertemu
itu rasa-rasanya sudah lebih dari cukup untuk mengetahuinya.
Walaupun
saya sebut tidak vulgar (di mana tidak ada adegan berpelukan,
berciuman, atau tidur bersama—setidaknya tidak pernah disebutkan
secara eksplisit) tapi diceritakan bahwa mereka hampir tiap hari
mandi bersama. Bahkan handuk dan peralatan mandi Komako ada di kamar
Shimamura. Ini sedikit... aneh. Bagi anak muda tahun 2014, ini aneh.
Tapi siapa yang tahu kalau hal ini biasa bagi masyarakat Jepang di
masa itu? Toh referensi saya untuk hal ini cuma dari film Memoirs of
Geisha, di mana geisha-geisha
itu santai saja berendam bersama para lelaki sambil minum-minum.
Namun di
hati terkecil saya, entah mengapa, saya punya perasaan bahwa tokoh
utama wanita di sini bukan Komako. Justru Yoko, yang namanya
disebutkan lebih dulu ketimbang Komako, adalah protagonisnya. Dia
jarang muncul, tapi dari awal hingga akhir cerita dia selalu hadir.
Bahkan bagi saya, peran Yoko menjadi esensi dari cerita Yukiguni.
Lihat saja bagaimana pembicaraan Komako dan Shimamura bisa tiba-tiba
dikaitkan dengan Yoko, bagaimana Komako langsung bereaksi sangat
keras jika sudah membahas Yoko, dan bagaimana pikiran Shimamura bisa
mengarah pada Yoko di titik-titik krusial cerita.
Peran
Yoko yang tetap misterius, siapa dia dan apa hubungannya dengan
Komako, juga apa influence
yang dia miliki terhadap Shimamura dan Komako, menurut saya adalah
fokus utama yang jauh terselubung di dalam cerita ini.
Or I mught just be
delusioning.
Anyway,
menurut saya penggambaran tiap karakter dalam kisah ini sangat
menarik. Tidak ada yang sempurna—konsep mary-sue
dan gary-stu belum ada
rupanya di masa Kawabata Yasunari—dan ketidaksempurnaan itu tidak
mengada-ada (tidak seperti tokoh-tokoh orisinil buat saya, uhuk).
Awalnya
saya mengira Shimamura itu orang makmur. Ah, sebetulnya memang makmur
sih, tapi di belakang, ternyata dia itu tidak bekerja dan hanya
mengandalkan harta warisan orangtuanya saja. Pekerjaannya hanya
menulis, dan entah apakah ia mendapat penghasilan banyak dari
karya-karyanya. Kalau berdasarkan beberapa komik yang berlatar zaman
perang yang pernah saya baca, memang di masa itu status keluarga
sangat kuat. Suatu usaha/perusahaan adalah milik keluarga, maka
biasanya dikelola secara turun-temurun. Terberkatilah mereka yang
lahir di keluarga pengusaha kaya. Tokoh Shimamura juga menggambarkan
dengan baik kebiasaan laki-laki yang suka memanggil geisha
namun tidak pernah diprotes oleh istri sahnya. Sudah menjadi semacam
rahasia umum di masa itu, tampaknya. Sekali lagi, berdasarkan film
Memoirs of Geisha, memang para geisha
dapat bertahan hidup karena mereka menikah dengan seorang lelaki yang
menanggung biaya hidup mereka (yang mereka panggil
danna-sama, lit. Tuan).
Sementara
itu Komako adalah visualisasi dari geisha
pada umumnya. Pandai bermain shamisen.
Menghadiri perjamuan-perjamuan. Dia tidak digambarkan cantik, namun
bersih. Tidak segan-segan Yasunari menuturkan dengan gamblang
bagaimana gadis itu sedikit gemuk saat tidak banyak pekerjaan. Jelas
tidak seperti masa sekarang, di mana putih dan kurus adalah stereotip
untuk kata cantik.
Menurut saya, melalui tokoh Komako kita bisa belajar mencintai
kecerdasan lebih daripada kecantikan. Komako diceritakan sebagai
gadis belia yang mudah mabuk. Menjadi geisha
yang cerdas dan anggun (terlihat saat dia bermain shamisen
untuk Shimamura) namun juga tomboi (terlihat saat dia sembunyi di
lemari saat pelayan datang pagi-pagi ke kamar Shimamura, dan saat dia
menerobos pepohonan untuk menyelinap masuk lewat pintu belakang
penginapan). Saya tidak bisa tidak merasa senang pada tokoh yang satu
ini. Wataknya yang ceria dan omongannya yang cerdik membuat saya
berpikir, 'seharusnya gadis-gadis muda bersikap seperti dia ini!
Ceria, jujur—betapa zaman telah banyak berubah!'
Tokoh
Komako yang setengah mati jatuh cinta pada Shimamura sangat manis.
Lihatlah betapa dia selalu datang ke kamar lelaki itu, meski hanya
sebentar dan diisi dengan racauan tak jelas karena mabuk. Dia bahkan
menyempatkan diri mengirim pesan melalui Yoko, mengabarkan jika ia
sibuk dan mungkin tak bisa mampir, tapi pada kenyataannya toh dia
tetap datang. Sungguh tipikal seorang gadis belia yang tidak ingin
jauh dari orang yang ia cintai. Cara bicaranya yang kadang
berputar-putar juga menunjukkan usianya yang masih muda, belum
matang, belum berani mengungkapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.
Saya mencium gelagat tsundere
tiap kali dia bersama Shimamura.
Sementara
Yoko—lagi-lagi, dia menjadi enigma. Yang pasti gadis satu ini
memang cantik. Sifatnya keibuan. Kalau Komako adalah personifikasi
gadis belia di masa itu, maka Yoko adalah personifikasi wanita
dewasa. Kalau Komako adalah contoh seorang geisha,
maka Yoko adalah contoh perempuan biasa yang bekerja di sebuah
penginapan. Menarik sekali, bagaimana kedua tokoh ini seakan-akan
memang dibuat saling bernegasi.
Dari
kacamata seorang mahasiswa yang belum terbiasa membaca sastra
(terlalu banyak asupan fiksi pop, demi Tuhan), dialog dalam novel ini
sedikit berputar-putar. Saya belum sampai ke tahap di mana saya bisa
membaca between the lines.
Tapi setidaknya saya bisa memahami beberapa dialog untuk tahu mereka
lebih dari apa yang terlihat. Ada beberapa yang lebih lugas dari yang
lain. Dialog yang paling saya ingat adalah ketika Shimamura mengajak
Yoko ke Tokyo. Entah kenapa sisi lain dari seorang Yoko muncul di
sana—sisi Yoko yang sudah muak dengan kehidupan di daerah bersalju
tersebut tanpa Yukio.
Oh,
lihatlah, setengah dari pembahasan saya berkisar di Yoko. Jelas
sekali ada unsur bias
di sini.
Novel
Yukiguni ini memang menyenangkan untuk dibaca. Dalam tiap jengkal
narasi maupun dialognya tersimpan keterangan budaya yang amat kental.
Bahkan tidak bisa saya cantumkan di sini karena, ya, terlalu banyak!
Ada di mana-mana. Yasunari sangat pandai memasukkan unsur-unsur
kebudayaan tersebut dalam karyanya. Justru hal inilah yang, menurut
saya pribadi, paling menjadikannya memorable.
Tapi!
Saya tidak terima dengan ending
cerita ini! Selama saya membaca Yukiguni, jujur saya merasa tidak
menemukan klimaksnya. Hanya datar-datar saja (ada sih sedikit
tanjakan, namun dengan indahnya tensi turun lagi). Nah, di beberapa
halaman terakhir, saat kebakaran terjadi, saya mulai merasakan
tanjakan yang bagus. Bahkan saya sudah bisa menebak kalau Yoko
terlibat dalam kebakaran tersebut (ah, sedikit manfaat dari puluhan
novel yang saya baca, menumbuhkan insting pengendus konflik). Tapi,
sekali lagi tapi,
dengan kejamnya Yasunari mengakhiri ceritanya di situ! Tepat di
bagian ketika Yoko nyaris tewas (sepertinya) dan Komako
histeris—bagian di mana saya merasa akhirnya
bisa menguak masalah apa yang terjadi di antara kedua perempuan
ini—novelnya habis. Tak ada lagi lembar yang bisa disibak.
Rasanya
seperti naik roller
coaster
yang relnya habis di tengah tanjakan curam. Tensi yang terbangun
apik, tiba-tiba melumer tak bisa dicegah. Oh Tuhan! Kisah ini belum
selesai!
Catatan:
Mary-sue/gary-stu:
istilah untuk tokoh dalam cerita yang terlampau sempurna
(cantik/tampan, pandai, kaya, tidak punya kelemahan sedikit pun).
Mary-sue untuk tokoh
perempuan dan gary-stu
untuk tokoh laki-laki.
Shamisen:
alat musik tradisional Jepang yang bentuknya hampir seperti gitar.
Tsundere:
terdiri dari kata tsun
dan dere, memiliki
makna bersifat sok tidak butuh padahal sebetulnya ingin, sok tidak
peduli padahal sebetulnya suka. Istilah ini banyak dipakai oleh
penggemar kartun dan komik Jepang.
No comments:
Post a Comment