If I showed you my flaws
If I couldn't be strong
Tell me honestly: would you still love me the same?
[Locked away - R. City ft. Adam Levine]
Ini kesalahan. Tidak seharusnya aku
melewati ruang kelas itu beberapa menit yang lalu. Tidak seharusnya
aku memasang telinga baik-baik hanya karena guru favoritku itu yang
sedang berdiri di depan murid-murid. Tidak seharusnya aku
menginterpretasikan kata-kata beliau dalam artian seperti ini. Salah,
semuanya salah. Kenapa aku melakukannya?
Sembari menatap kosong tembok kotor
yang membatasi halaman belakang sekolah, aku mengulang-ulang
perkataan Pak Surya yang kutangkap dari balik dinding ruang kelas
yang kulewati saat akan menuju kamar kecil. Seperti biasa, ketika
melewati ruang-ruang kelas aku selalu mengawasi siapa guru yang
sedang mengajar dan bagaimana situasi di dalam kelas tersebut. Kadang
aku membaca tulisan yang berhamburan di papan tulis. Kadang pula aku
memperlambat langkah dan ikut mendengarkan ceramah bapak-ibu guru.
Dan, hal itu pulalah yang kulakukan saat melewati ruang kelas
12-Bahasa-1, di mana kulihat guru bahasa Indonesia favoritku sedang
bersuara.
Pak Surya adalah lelaki berperawakan
kurus tinggi, dengan rambut menipis yang dibiarkan tumbuh sedikit
panjang sampai leher. Gara-gara rambut panjangnya ini, beliau
menguarkan aura yang 'nyastra banget'. Ditambah lagi, beliau selalu
punya kisah yang seru dan menstimulasi otak di tiap jam pelajarannya.
Aku sangat menyukai guru bahasa Indonesia satu ini.
Oleh dasar ketertarikan itulah, tanpa
pikir panjang aku berusaha mendengarkan kisah apa yang tengah
dibagikan beliau untuk murid-murid kali ini. Beberapa kalimat pertama
tidak kupahami sama sekali, karena aku tidak menemukan konteksnya,
tapi satu kalimat berhasil membuatku terpaku.
“Kalau begini terus, lebih baik saya
keluar saja dari sekolah ini.”
Sedikit panik, aku mendekatkan telinga
ke dinding. (Tentu saja sambil tetap menyembunyikan diri. Tidak lucu
kalau aku ketahuan menguping suasana kelas lain di saat aku
seharusnya sedang menghitung sin dan cos.) Aku memang pernah
mendengar desas-desus bahwa Pak Surya mulai memikirkan untuk mundur
dari jabatannya saat ini, tapi dengan alasan apa, aku dan
teman-temanku tidak pernah tahu. Ini tentunya jadi kesempatan emas
untuk mendapatkan informasi.
“Dari sekian tahun yang lalu, dengan
pemimpin sekolah yang berbeda-beda, sekolah ini tetap saja tidak
mengalami kemajuan. Kesejahteraan gurunya masih dipertanyakan.
Kurikulum berantakan. Murid-murid tidak diperhatikan secara memadai.
Padahal saya sudah berusaha untuk membantu, memberikan aspirasi—tapi
kalau tidak ada niatan berubah, mau bagaimana lagi? Lebih baik saya
pergi.”
Oh Tuhan. Pak Surya merasa tidak puas
dengan sekolah ini? Tidak berubah, maksudnya apa? Rasanya sekolahku
baik-baik saja... Memang ada saat-saat di mana aku merasa tidak
nyaman dengan berbagai kebijakan sekolah, tapi apakah seburuk itu di
mata Pak Surya? Aku menarik napas dalam-dalam.
“Lihat saja, sudah berapa tahun
sekolah ini absen dalam berbagai perlombaan. Lomba pidato tempo hari
saja tidak menang, padahal dua tahun kemarin kita juara nasional. Di
mana semangat memperbaiki diri dari sekolah ini?”
Hatiku mencelos. Lidahku kelu. Napasku
tersendat.
Peserta lomba pidato yang gagal
mempertahankan kemenangan beruntun sekolah kami, itu aku.
Segera aku memacu langkahku. Menjauh.
Tidak ingin mendengarkan lebih lanjut. Secara otomatis tubuhku sampai
di halaman belakang sekolah, yang sepi senyap karena ini masih jam
pelajaran. Dengan napas terengah, yang lebih dikarenakan syok
daripada lelah setelah berlari, aku menyandarkan punggung di salah
satu sudut. Setelah berdiam diri beberapa saat pun, napasku masih
putus-putus. Dadaku masih sakit. Ucapan Pak Surya masih terngiang.
“Karena aku kalah,” sadarku.
“Karena aku gagal.”
Pak Surya yang kukagumi, beliau ingin
pergi, karena aku tidak berguna. Aku sudah mengecewakan
guru-guruku, teman-temanku, bahkan kakak-kakak kelasku yang tahun
lalu maupun dua tahun lalu memenangkan lomba pidato tersebut. Aku
tidak serius dalam berlatih. Aku tidak bersungguh-sungguh saat
mempersiapkan diri. Aku tidak memberikan yang terbaik ketika tampil.
Karena aku kalah, Pak Surya akan
meninggalkan kami.
Aah, kalau saja waktu bisa berputar
kembali. Aku ingin memutar balik waktu. Aku ingin mengulang lagi
penampilanku di lomba pidato. Mungkin dengan demikian aku bisa
melakukan yang lebih baik. Atau mungkin hasilnya akan sama saja. Isi
pidatoku tidak sebagus itu. Kenapa aku memilih tema abstrak untuk
pidatoku sih?
Aah, kalau saja waktu bisa berputar
kembali. Aku ingin memutar balik waktu. Aku ingin mengulang lagi
waktu pembuatan naskah pidato. Mungkin dengan demikian aku bisa
membuat yang lebih bagus. Atau mungkin hasilnya akan sama saja.
Kemampuanku tidak sebaik itu. Kenapa aku mendaftarkan diri untuk
lomba ini sih?
Aah, kalau saja waktu bisa berputar
kembali. Aku ingin memutar balik waktu. Aku ingin mengulang lagi saat
pendaftaran peserta lomba pidato dibuka. Dengan demikian aku tidak
usah mendaftar. Dengan demikian siswa lain yang akan berkompetisi.
Dengan demikian siswa lain yang akan tampil dalam lomba, memberikan
yang terbaik, dan membanggakan sekolah.
Dengan demikian tidak ada yang perlu
pergi dari sekolah ini.
Hanya saja, aku tidak bisa memutar
balik waktu. Menyadari hal ini, aku menggigit bibir kuat-kuat.
Membiarkan rasa sakitnya berputar di otak. Agar aku bisa mengabaikan
panasnya mataku, basahnya pipiku, gemetarnya tubuhku. Rasa sakit
bagus. Kalau tidak bisa memutar balik waktu, setidaknya aku bisa menerima
sakit. Bukankah aku patut dihukum karena sudah mempermalukan
almamater? Benar. Bagaimana kalau sekalian menghilang saja? Ada di
sini pun aku tidak berguna untuk siapapun.
Biar aku yang pergi.
Aku tidak kuat menahan sakit ini.
Laughing, laughing, until my cheeks start to hurt
So that I don't betray the dreams we saw that day
Singing, singing, until my chest feels tight
So that I don't betray the expectations again
[Forty-seven - Mikito-P]
No comments:
Post a Comment