Saturday, December 28, 2013

[Orific] Manusia Bodoh

Judul: Manusia Bodoh
Author:
Vianna Orchidia
Rating:
K+ / PG-13
Genre:
Romance/Angst/Drama
Summary:
Aku menyayangi pemuda itu. Namun tak pernah bisa kuraih dalam genggaman.
Warning: fast pace, unclear setting, unclear pace. Misstypo. Unbeta-ed, un-proofread.
A/N: Another piece written based on a dream. Hanya saja, kali ini hanya general idea yang saya pakai. Kalau sampai detail plot dari mimpi juga dipakai, it'd be too absurd---- anyway it's written in about 6 hours, in the midst of clouded feelings, so expect something weird. And somehow I miss Shouichi from katekyo Hitman Reborn. Enjoy.

-story start-


“Shou-kun!”

Pemuda bersurai hitam dengan highlight merah di bagian depan dekat telinga itu menoleh. Bibirnya membentuk senyum. Dia menghentikan langkahnya, membiarkanku memperkecil jarak dengan langkah-langkah cepat. Begitu aku sudah berada dalam jangkauan tangannya, dia langsung mengambil tumpukan buku yang kupegang tanpa mengatakan apapun. Aku yang sudah terbiasa dengan hal itu hanya melemparkan senyum terima kasih.

Sudah mau pulang?” tanyaku sementara kami berdua mulai berjalan dengan kecepatan sama—dia terpaksa memperkecil jarak per langkah dengan kakinya yang jauh lebih panjang, dan aku yang berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya. “Kata Nacchan, hari ini ada bazar di alun-alun kota lho! Nggak mau ke sana?”

Bazar? Bazar apa?”

Hmm, kalau nggak salah aku melihat poster tentang aksi peduli penderita kanker anak-anak di mading kampus, jadi menurutku bazar itu salah satu bagian dari acara itu,” ucapku dengan satu jari telunjuk menempel di bibir. “Bagaimana?”

Shouichi terlihat menimbang-nimbang. Melihat matanya yang bergerak-gerak dan bibirnya yang sedikit dimajukan, aku tahu dia pasti akan menolak. Aku sudah hapal sifat dan gerak-geriknya. Saat ini dia bukannya memikirkan ingin pergi atau tidak, tapi sibuk merancang alasan untuk bisa menolak ajakanku. Aku merasa seperti ada jarum-jarum halus yang menancap dalam hatiku.

Ketika pemuda itu tidak juga memberi jawaban, aku menghela napas. Dengan memaksakan senyumku yang biasa, aku menepuk lengannya. “Kalau nggak bisa, nggak apa-apa kok. Toh hari ini sebetulnya aku harus mengerjakan revisi tugasku.” Rasa benci dan kecewa menyelimuti dadaku saat ekspresi wajahnya jadi lebih rileks.

Kuantar pulang?”

Tidak usah,” jawabku, nada bicara sedikit lebih ketus dari sebelumnya. Tawaran setengah hati yang terdengar lebih seperti terpaksa, sekedar basa-basi. Aku tidak butuh tawaran seperti itu. Hanya menunjukkan lebarnya jarak di antara kami sekarang. Seakan-akan dia berusaha mempertahankan posisinya sebagai teman baikku dengan menunjukkan bahwa dia peduli. Ha, seperti aku bisa dikelebui saja. Seharusnya dia paham lebih dari siapapun kalau aku ahli melihat tanda-tanda tersirat. Shou-kun sendiri yang bilang saat kami masih baru kenal dulu, “you're the best when it comes to reading between the lines.”

Saat itulah kusadari kami sudah sampai di depan ruang dosen. Aku berhenti, lalu mengulurkan tangan untuk meminta kembali bukuku. “Sampai sini saja, Shou-kun. Aku masih ada jadwal diskusi dengan sensei.”

Sampai jam berapa? Nanti kamu pulang sendiri?” tanya Shou-kun sambil menyerahkan bukuku. Kali ini ada cemas yang tulus dalam kata-katanya, dan aku hanya bisa mendekap jilid-jilid buku itu di dadaku erat-erat, usaha figuratif untuk menahan kata-katanya dalam tubuhku.

Mungkin sampai malam,” satu lirikan ke arah jam tangan memberitahuku bahwa sekarang sudah hampir pukul empat. Paling cepat, diskusi ini akan memakan waktu tiga jam. Belum lagi revisi tugas yang harus selesai malam ini juga. Belum apa-apa aku sudah menghela napas, tanpa kata mengucapkan selamat tinggal pada tidur nyenyak. Sudah bisa dipastikan malam ini aku tidak akan tidur lebih dari tiga jam.

Sepertinya Shou-kun menyadari hal ini juga, sehingga dia menepuk punggungku pelan. Cara tradisional kami berdua untuk saling memberi semangat. “Hati-hati di jalan pulang nanti. Jangan lupa makan.”

Aku mengangguk.

Kalau begitu aku pulang dulu.” Pemuda itu melambaikan tangan sembari melangkah menjauh. Aku hanya bisa tersenyum masam sekilas, sebelum membuka pintu ruang dosen. Pulang? Pembohong. Bukan rumahmu yang jadi tujuan, tapi gadis itu kan?

Aku tahu.

Dan aku tidak suka itu.

.:.:.

Sebenarnya sejak kapan Shou-kun menjauh? Apakah sejak gadis berambut selai kacang itu datang? Atau justru sebelum itu?

Aku takut. Bagaimana kalau jawabannya yang terakhir?

Aku takut, Shou-kun.

Maafkan aku.

.:.:.

Aku menatap pemuda itu; rambutnya bergerak-gerak terkena angin—beberapa hari terakhir memang anginnya sangat kuat—namun tidak mampu menyembunyikan sorot matanya yang semakin lama makin tidak kukenal lagi. Seperti orang asing. Bukan pemuda yang menghabiskan hampir dua tahun duduk di sebelahku dalam semua mata kuliah yang kami ambil. Dan jelas bukan pemuda yang selalu menemaniku berjam-jam di kantin kampus tanpa melakukan sesuatu yang produktif.

Bukan Shou-kun. Dia hanya seorang Kobayashi Shouichi.

Pemuda ber-highlight merah yang kini resmi menjadi pacar gadis kacang itu.

Tidak, bukan resmi sebetulnya. Itu hanya asumsiku. Setidaknya dia tidak berusaha mengingkari pertanyaan yang kulontarkan lewat tatapan mata. Dia justru membalas pandangan mataku dengan senyum tenang, tidak tergoyahkan.

Dan aku hanya bisa menggumam, “oh.”

Aku tidak bertanya kapan mereka meresmikannya. Atau di mana. Atau bagaimana. Maaf, aku sama sekali tidak perlu tahu. Aku hanya mengedip jahil padanya, lalu menaruh nampan makan siangku tepat di depan mereka berdua.

“Kuharap aku tidak terlalu mengganggu. Semua kursi lain sudah penuh,” ujarku, alasan kasual yang terdengar normal bagi pemuda itu dan gadis itu. Namun bagiku, alasan itu penuh kepentingan tersembunyi—keinginan untuk terus berdekatan dengannya meski dalam status sahabat dan keputusasaan karena sebenarnya aku tidak punya teman makan lain.

Sayang, Shou-kun sebagai orang yang sudah kenal denganku lebih lama, bisa menangkap layar terluar dari alasanku. “Nacchan mana?” tanyanya sementara aku sibuk memisahkan kedua batang sumpit.

“Makan siang di luar.”

“Dengan Kei?”

“Siapa lagi?” jawabku singkat. Kuseruput mi ramen yang masih mengepul itu perlahan. Dari balik sumpit aku memperhatikan si gadis kacang. Sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan kehadiranku. Itu berarti dia tidak menganggapku sebagai saingan, eh?

Kami-sama, tolong, aku ingin tertawa.

“Kenapa mereka nggak mengajakmu?” Aku mengembalikan perhatianku yang sempat teralih pada pemuda itu. Terlihat kerutan tidak senang di wajahnya. Bogem mentah serasa dilayangkan tepat ke dadaku, membuat napasku tercekat sesaat.

Jadi pada akhirnya aku mengganggu. Kami-sama, sekarang aku ingin menangis sejadi-jadinya.

“Karena,” aku sengaja memotong kalimatku dengan menyeruput seluruh sisa ramenku, “setiap hari aku selalu makan siang denganmu.”

Aku berusaha mengatakannya dengan nada sekasual mungkin, namun tetap saja Shou-kun dan gadis kacang itu terlihat tidak nyaman. Sepertinya bukan nada bicara yang jadi masalah—kata-kataku itulah yang tajam menohok. Tapi mau bagaimana lagi, mulutku memang terkadang lebih buas dari harimau manapun. 

Menyadari kegelisahan pasangan kekasih itu, aku cepat-cepat berdiri membawa mangkuk ramen yang sudah kosong. “Maaf, setelah ini aku masih ada kelas. Sudah ya, sampai jumpa!” Aku langsung beranjak tanpa menunggu reaksi mereka berdua.

Sepertinya aku baru saja menginjak ranjau terbesar di antara aku dan Shou-kun.

.:.:.

Pertama kali berkenalan dengan Shou-kun, tidak ada kesan mendalam sebetulnya. Hanya melalui interaksi terus-meneruslah kami jadi lebih dekat. Lama-kelamaan kami cukup dekat untuk saling bergantung satu sama lain. Saat dia sakit, akulah yang diteleponnya. Saat aku terpaksa pulang malam, dialah yang setia mengantarku pulang.

Setahun. Aku terlalu nyaman di sisinya. Hatiku tumbuh untuknya.

Setahun lewat enam bulan. Aku berulang kali mengubah posisi di tempat tidur saat seluruh tugas sudah selesai kukerjakan, berusaha keras memutuskan untuk menyatakan perasaanku atau tidak.

Setahun lewat delapan bulan, gadis itu datang membawa api cinta di sekujur tubuhnya.

Sejak saat itulah hatiku patah. Awalnya jadi dua bagian sama besar. Lalu jadi empat. Lalu delapan. Dan terakhir kali kulihat, hanya serpihan seukuran debu yang tersisa dari hatiku.

.:.:.
“Tidak bisa?” ulangku, kekecewaan jelas terukir di dalamnya. “Kenapa bilangnya tiba-tiba sekali? Memangnya ada urusan mendadak?”

Shou-kun kembali menyunggingkan senyum menyesal. Tidak mungkin dia tidak tahu betapa pentingnya wawancara ini untukku, tapi dengan melihat sekilas saja aku tahu, bukan aku prioritasnya sekarang.

“Maaf, Maki. Rise ada kuis dadakan untuk besok, dan dia memintaku mengajarinya.” Pemuda itu menatapku tepat di manik mata, sementara justru aku yang berusaha menghindari matanya. “Kamu bisa ke tempat wawancara sendiri kan? Sementara Rise benar-benar membutuhkanku.”

Dia tidak tergantikan, aku iya. Rasanya seperti menelan asam klorida satu ember sekaligus. Hatiku terbakar, meleleh, luluh lantak. 

Aku memasuki gedung bertingkat itu dengan hati hampa. Akhirnya aku pergi sendirian, naik bis, setengah mati menahan kata-kata makian dan air mata selama perjalanan. Dia sama sekali tidak paham. Bukan masalah transportasi yang kubutuhkan darinya. Aku butuh dukungan moral. Kehadirannya berarti dukungan moral. Obat penenangku di kala kegugupan melanda seluruh tubuh.

Sepenting itu arti hadirnya. Tidakkah dia sadar? 

Ataukah, justru dia sesak atas belengguku padanya?

Aku terlalu terbuai oleh keberadaannya di sisiku selama ini. Aku terlalu tergantung pada auranya yang hangat selama ini. Bodoh, bodoh, bodoh. 

Sewaktu menunggu giliran wawancara, aku tidak bisa tenang. Keheningan yang menyesakkan ini membuat kuping berdenging. Memecah konsenstrasi. Berada di sini sendirian membuatku merasa out of place. Alien. Fakta bahwa semua peserta wawancara yang lain ditemani setidaknya satu orang hanya memperburuk kondisi. Rasanya aku ingin lari pulang ke kamar apartemenku, mengunci pintu, lalu menangis di bawah selimut.

Shou-kun bodoh. Aku butuh dia sekarang.

“Selanjutnya, Hiiragi Maki.”

Bodoh.

-fin-

No comments:

Post a Comment