Wednesday, January 15, 2014

[Orific] Grand Play (ch 3)

Judul: Grand Play (chapter 3)
Author:
Vianna Orchidia
Rating:
T
Genre:
Romance/Suspense/Angst/General 
Summary:
Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning:
Nishiki's POV, un-proofread, un-beta-ed, yet another writing style, and truth to be told I don't even know what I'm doing anymore. But nothing too suggestive... maybe.


Malam itu, di sisi koin yang lain...

Pesta ini tidak ada gunanya, sungguh. Ruangan yang terlampau megah, dekorasi yang keterlaluan lengkapnya, dan kumpulan orang-orang dalam balutan busana yang mewah melebihi batas kebutuhan. Omong kosong. Di balik dengungan suara para hadirin pesta, yang bisa kutangkap hanya tipu daya dan persaingan. Pesta ini tak ubahnya dengan medan perang, suatu battle royale—satu lawan semua. Tidak ada teman. Hanya sekutu-sekutu yang kebetulan bervisi sama dan saling mendapatkan keuntungan.

Aku memainkan cairan berwarna emas di gelas tinggi di tangan kanan, sementara tangan kiri dimasukkan begitu saja ke dalam saku celana. Diam-diam kuawasi seluruh pemain dalam panggung drama bertemakan kemewahan ini. Mencari-cari lawan main yang pantas. Ketika tidak menemukan siapapun, aku menelan seluruh sisa minumanku lalu meletakkannya dengan sedikit kasar ke atas meja.

Kekesalan mulai memuncak sampai ke ubun-ubun. Malam masih baru turun dan aku sudah gatal ingin menghilang dari drama ini. Semenjak kematian ayahku, kewajiban untuk memimpin perusahaan jatuh ke tangan dan pundakku—bersandiwara di pesta-pesta semacam ini hanya salah satu dari berjuta job description dari seorang direktur. Aku tidak masalah kalau harus berurusan dengan kertas dan diagram dan kurs, tapi kalau ini—

Gadis itu belum datang?” Seorang pemuda berambut kuning (aku tidak yakin itu hasil campur tangan salon atau asli) tiba-tiba saja ikut menyandarkan tubuh ke dinding sepertiku. Wajahnya terlihat bosan, tapi aku bisa melihat kilau di mata birunya berkata lain.

“Mike. Ke mana saja kau?”

Berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan, apa lagi?” pemuda itu mengibaskan tangan seakan aku baru saja menanyakan hal terbodoh sepanjang masa. “Aku punya setidaknya dua janji meeting besok,” tambahnya dengan seringai lebar.

Aku menghela napas. Mike memang lebih semangat menjalankan tugas sebagai direktur perusahaannya daripada aku. “Oh. Selamat.”

“Kau tidak mencari rekan perusahaan baru? Kau tahu, selagi menunggu gadis itu datang.”

“Tidak perlu. Toh ada perusahaanmu—itu sudah cukup.” Tak perlu kusebutkan kalau tujuanku datang kemari satu-satunya adalah untuk menemui gadis itu.

“Ah, betul juga,” seringai Mike menjadi lebih buas, “apalagi setelah kau merebut perusahaan gadis itu, berarti tiga perusahaan manufaktur terbesar di negara ini ada di tanganmu. Huh, tidak kusangka keputusanku untuk bermitra denganmu bisa berbuah semanis ini.”

Tapi aku merasa pahit. Pertama, tidak selamanya Mike akan merasa puas bahwa perusahaannya berada di pihak kedua dalam perjanjian kemitraan kami. Dan kedua, tentang gadis itu. (Tentang rencana malam ini, perusahaannya, masa lalu—tentang dosa dan rasa bersalah).

Lamunanku buyar ketika terdengar kebisingan yang tiba-tiba meruak. Banyak orang berkerumun di sekitar pintu masuk. Dari balik barisan kepala-kepala manusia aku melihat seorang perempuan muda berambut hitam memasuki ruangan tanpa memedulikan siapapun.

(Dia? Dia.)

Sementara kerumunan itu bergerak mengikuti perempuan tersebut seperti anak ayam mengikuti induknya, aku mendengar Mike bersiul. “Tuan Putri itu benar-benar sesuatu. Kau lihat bagaimana orang-orang itu berusaha menjilat sepatunya dan dia menendang mereka begitu saja?” tanyanya dengan antusias. Aku tidak tahu dari mana Mike mendapat metafora seperti itu tapi aku setuju dengannya.

Tanpa suara pandanganku mengikuti sosok gadis bersurai hitam legam itu. Gaun pestanya berwarna biru, dengan model yang sederhana dan rok yang berhenti tepat di lutut. Ia mengenakan sepatu perak dengan hak setidaknya lima senti. Rambutnya ditarik ke belakang dan disanggul dengan sebuah jepit biru—tidak terlalu jelas dari kejauhan begini, tapi kurasa bentuknya kupu-kupu—menyisakan helaian-helaian yang menutupi tengkuk dan membingkai pipinya. (Aku yakin rambut aslinya jauh lebih panjang. Sepinggang, ya, pasti sepinggang.)

Aku terus mengamatinya sementara ia berjalan dengan anggun, sesekali menganggukkan kepala pada orang-orang yang dia kenal. Ia jelas mengabaikan wanita-wanita penjilat dan pria-pria penipu, sebagaimana aku dengan sukses mengabaikan Mike yang sejak tadi berusaha mengajakku bicara.

Di satu titik, gadis itu berhenti. Perlahan-lahan ia menoleh, matanya mencari-cari. Ah, ia pasti merasa dipelototi, dan berusaha mencari pelakunya. Tanpa ragu aku menegakkan tubuh, iris merah kutancapkan tepat pada sepasang iris perak di balik kacamata itu. Sesuai harapanku, ia mengerti. Ia menemukanku.

(Menemukanku, seperti sembilan belas tahun yang lalu. Tuhan, betapa aku merindukan masa-masa itu.)

Sesuatu dalam tatapannya menimbulkan suara bergemerincing di telingaku. Ketika gadis itu membuang muka, aku tersadar—dialah lawan main yang kutunggu-tunggu. Ya, aku akan membuat permainan ini semakin panjang dan semakin menarik. Segera aku beranjak untuk menyisiri ruangan dengan arah yang berbeda dari langkahnya. Seperti dua sisi jarum kompas, berputar searah jarum jam. Seperti dua titik spiral yang sengaja berputar-putar sebelum menemukan pusatnya.

Gadis itu bergerak dengan tempo yang cermat. Ia tampak seperti balerina yang menari sesuai koreografi—tap, tap, tap, berhenti dan tersenyum kecil pada tamu yang lain, tap, tap, tap—ia tahu bagaimana cara berbaur sekaligus mengenyahkan presensi orang lain. Tiap sekian langkah, matanya kembali menemukanku dari balik kerumunan manusia. Caranya menatapku malu-malu khas gadis belia, namun menantang sesuai dengan perannya sebagai seorang direktur. Gadis yang menarik. (Aku sudah tahu dia menarik.)

Entah berapa lama waktu yang kami habiskan hanya untuk bermain kejar-kejaran. Yang aku tahu hanyalah ketika kami akhirnya bertemu tepat di tengah ruangan, tepat di bawah kandelir raksasa. Dunia seakan berkompilasi untuk menyemarakkan permainan ini—musik tepat berakhir saat kami berdiri berhadap-hadapan.

Aku tidak bisa tidak tersenyum melihat wajahnya sedekat ini. Aku juga tidak bisa menahan mataku untuk tidak meneliti tiap detail dari tubuhnya. Bagaimana rambut yang berada di sisi wajahnya jatuh dengan elegan di bahu, kacamatanya berlensa tipis dengan bingkai kebiruan, dan bibirnya diwarna serupa mawar yang mekar di subuh. Gaunnya menutupi sekaligus memamerkan kulitnya yang putih porselain, membuatku serasa gila karena begitu ingin menyentuhnya.

Secara keseluruhan, gadis ini memikat. (Sedikit terlalu memikat, sebetulnya. Sembilan belas tahun yang lalu ia memang manis, tapi sekarang ia juga menggoda. Aku tidak tahan membayangkan berapa banyak pria yang sudah melihatnya dengan tatapan buas seperti aku saat ini. Darahku mendidih.)

Nada-nada kembali berkumandang, dan aku sadar aku harus bergerak. (Ingat rencana itu, bodoh.) Kuulurkan tangan kiri padanya. Gadis itu masih terpaku, seakan tidak percaya aku memintanya untuk berdansa denganku. Reaksinya membawa senyum geli pada bibirku, dan aku mengangkat alis. Hampir seketika ia menarik napas—kaget?—dan semburat merah muncul menghiasi pipinya ketika ia menjawab uluran tanganku. Aku tidak menyangka ia bisa terlihat lebih manis daripada sebelumnya dengan warna merah lembut itu.

Aku berusaha untuk tidak berpikir macam-macam saat aku menariknya dalam posisi dansa—satu tanganku di pinggangnya dan satu lagi bertaut rapat dengan tangannya. Sulit, jelas sulit sekali. Kusadari tangannya halus dan kecil, seperti badannya yang kurus. (Apa dia memang sekurus ini? Apa dia kurang makan? Sakit?)

Sedikit demi sedikit aku menarik tubuhnya mendekat, hingga sepanjang lenganku tepat merengkuhnya. Dengan posisi ini, wajahku menempel di sisi kepalanya, di mana aku bisa mengendus wangi mawar yang lembut dari rambutnya, dan hidungnya menempel dengan bahuku. Aku sempat khawatir ia akan menolak, tapi ketakutanku tidak terbukti karena gadis itu tampak baik-baik saja. Sungguh perempuan yang pemberani. Tubuhnya begini kecil, tapi nyalinya tak tertandingi siapapun. (Seorang direktur, dia sekarang bukan gadis kecil itu lagi.)

Namun sebagai seorang direktur, ia butuh lebih dari keberanian semata. Kecerdikan dalam mengatasi setiap masalah adalah tuntutan lain. Karena persaingan bisnis adalah dunia yang kejam, kuharap ia tahu itu. (Kejam, terlalu kejam. Rasa sayang dan rasa bersalah berbenturan. Ini bagian dari rencana tapi juga bukan.)

“Hei,” bisikku, menikmati bagaimana napasnya tertahan sekian milidetik, “beritahu aku kenapa kau datang kemari.”

Gadis itu setengah mendengus setengah tertawa, napasnya menyentuh leherku sesaat. “Menurutmu?”

Ah, jawaban pintar. Ia berusaha mengukur di mana aku berdiri, di mana dia berdiri, dalam papan catur ini. Kurasa melanjutkan permainan ini tidak akan menjadi masalah—aku akan sangat menikmatinya. “Alasan yang sama denganku.” Tentu saja. Kau masuk ke dalam ruangan ini dengan wajah tidak tertarik, namun begitu menemukanku, kilau matamu langsung berubah. Mudah menebak apa yang kau inginkan di gedung milik keluargaku ini.

“Dan itu adalah?” gadis itu memaksaku menjawab pertanyaanku sendiri.

Kuputuskan untuk memberi jawaban setengah jujur. (Aku tidak bisa berbohong. Tidak pada gadis yang satu ini.) “Mencari teman untuk menghabiskan malam ini.” Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya, maka aku merenggangkan pelukanku sedikit agar bisa membaca matanya. “Apa aku benar?” Apa kau benar datang untukku?

Ia melemparkan senyum tipis sebelum menyandarkan kepalanya di bahuku lagi. “Entahlah... Kurasa, lebih dari itu.”

Sial. Aku tahu kata-katanya menyiratkan bahaya, tapi tetap saja aku merasa jantungku berdebar. “Hmm...” gumamku untuk menyamarkan ritme jantung yang mulai meninggi. Gadis ini tahu bagaimana membuat seorang lelaki bertekuk lutut. “Lebih? Kau membuatku penasaran, Nona.”

“Oh ya?”

Demi Tuhan, YA. “Mm-hmm...” Aku berusaha mengontrol emosi dan membiarkan logika berbicara. Gadis ini ingin menarikku dalam perangkapnya. Sebelum itu terjadi, aku harus menjeratnya lebih dulu. Ini teritoriku, logika beralasan, aku punya keuntungan. Nampaknya sudah waktunya aku memasuki rencana tahap berikutnya. “Tampaknya, Nona,” aku hampir mengigit lidahku ketika namanya hampir bergulir keluar—nama yang kuingat dan kuulang-ulang dan kedengungkan selama sembilan belas tahun; aku sangat ingin mencoba menyebut nama itu di depan pemiliknya. Kenyataan itu kututupi dengan cara menarik mundur lenganku, melepaskannya dari pelukan. (Belum apa-apa aku sudah ingin memeluknya lagi.) “Kita harus mencari tempat untuk bicara.”

Rona merah kembali menghiasi pipinya. Sama sekali tidak tampak dibuat-buat. Aku pun menyimpulkan dengan ragu bahwa seorang lelaki mengundangnya ke suatu tempat untuk 'bicara' adalah suatu hal yang baru baginya. Dengan anggukan kecil yang malu-malu darinya, aku baru menyadari betapa lugu dan polos gadis ini.

Napasku memendek. Malam ini akan jadi malam yang panjang dan tak terlupakan.

(Halo, rasa bersalah. Kau datang lagi membawa temanmu?)

-chapter end-

A/N: akhirnya nerusin ini jugaaaa! Ih sumpah rasanya pengen nulis kejadian-kejadian di chapter 1 dari POV-nya Nishiki sampai akhir. Tapi dari adegan mereka masuk kamar, gelagat keduanya sudah sama-sama terlihat jadi... penjelasan dari sisi Nishiki sampai sini saja deh. (Besides it's like ten p.m and I'm geting sleepy.)
Semoga di chapter ini karakter aslinya si Nishiki bisa tersampaikan. Dan ya, sembilan belas tahun... damn persistent bishie. I guess that's what happens kalau dari kecil kamu sudah kece dan dikejar cewek-cewek dan cuma ketemu satu yang polos begitu wahahaha.
By the way, Ann is 24 and Nishiki is 26. Maaf kalau ini mungkin berubah dari chapter-chapter sebelumnya, karena jujur aja saya paling payah memperhitungkan soal umur haha. (wait, Fue? Mereka berdua bedanya setahun atau dua? Aduh anggap aja dua ya! Hehe)
Someday, one full chapter will be dedicated for their childhood. Someday. Don't ask me when.
Jaa, ciao!

No comments:

Post a Comment