Judul: Grand Play (chapter 3)
Author: Vianna Orchidia
Rating: T
Genre: Romance/Suspense/Angst/General
Summary: Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning: Nishiki's POV, un-proofread, un-beta-ed, yet another writing style, and truth to be told I don't even know what I'm doing anymore. But nothing too suggestive... maybe.
Author: Vianna Orchidia
Rating: T
Genre: Romance/Suspense/Angst/General
Summary: Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning: Nishiki's POV, un-proofread, un-beta-ed, yet another writing style, and truth to be told I don't even know what I'm doing anymore. But nothing too suggestive... maybe.
Malam itu, di sisi koin yang lain...
Pesta ini tidak ada gunanya, sungguh.
Ruangan yang terlampau megah, dekorasi yang keterlaluan lengkapnya,
dan kumpulan orang-orang dalam balutan busana yang mewah melebihi
batas kebutuhan. Omong kosong. Di balik dengungan suara para hadirin
pesta, yang bisa kutangkap hanya tipu daya dan persaingan. Pesta ini
tak ubahnya dengan medan perang, suatu battle royale—satu
lawan semua. Tidak ada teman. Hanya sekutu-sekutu yang kebetulan
bervisi sama dan saling mendapatkan keuntungan.
Aku memainkan
cairan berwarna emas di gelas tinggi di tangan kanan, sementara
tangan kiri dimasukkan begitu saja ke dalam saku celana. Diam-diam
kuawasi seluruh pemain dalam panggung drama bertemakan kemewahan ini.
Mencari-cari lawan main yang pantas. Ketika tidak menemukan siapapun,
aku menelan seluruh sisa minumanku lalu meletakkannya dengan sedikit
kasar ke atas meja.
Kekesalan
mulai memuncak sampai ke ubun-ubun. Malam masih baru turun dan aku
sudah gatal ingin menghilang dari drama ini. Semenjak kematian
ayahku, kewajiban untuk memimpin perusahaan jatuh ke tangan dan
pundakku—bersandiwara di pesta-pesta semacam ini hanya salah satu
dari berjuta job description
dari seorang direktur. Aku tidak masalah kalau harus berurusan dengan
kertas dan diagram dan kurs, tapi kalau ini—
“Gadis
itu belum datang?” Seorang pemuda berambut kuning (aku
tidak yakin itu hasil campur tangan salon atau asli)
tiba-tiba saja ikut menyandarkan tubuh ke dinding sepertiku. Wajahnya
terlihat bosan, tapi aku bisa melihat kilau di mata birunya berkata
lain.
“Mike. Ke mana
saja kau?”
“Berusaha
mencari kesempatan dalam kesempitan, apa lagi?” pemuda itu
mengibaskan tangan seakan aku baru saja menanyakan hal terbodoh
sepanjang masa. “Aku punya setidaknya dua janji meeting
besok,” tambahnya dengan seringai lebar.
Aku menghela napas.
Mike memang lebih semangat menjalankan tugas sebagai direktur
perusahaannya daripada aku. “Oh. Selamat.”
“Kau tidak
mencari rekan perusahaan baru? Kau tahu, selagi menunggu gadis itu
datang.”
“Tidak perlu. Toh
ada perusahaanmu—itu sudah cukup.” Tak perlu kusebutkan kalau
tujuanku datang kemari satu-satunya adalah untuk menemui gadis itu.
“Ah, betul juga,”
seringai Mike menjadi lebih buas, “apalagi setelah kau merebut
perusahaan gadis itu, berarti tiga perusahaan manufaktur terbesar di
negara ini ada di tanganmu. Huh, tidak kusangka keputusanku untuk
bermitra denganmu bisa berbuah semanis ini.”
Tapi
aku merasa pahit. Pertama, tidak selamanya Mike akan merasa puas
bahwa perusahaannya berada di pihak kedua dalam perjanjian kemitraan
kami. Dan kedua, tentang gadis itu. (Tentang rencana malam
ini, perusahaannya, masa lalu—tentang dosa dan rasa bersalah).
Lamunanku buyar
ketika terdengar kebisingan yang tiba-tiba meruak. Banyak orang
berkerumun di sekitar pintu masuk. Dari balik barisan kepala-kepala
manusia aku melihat seorang perempuan muda berambut hitam memasuki
ruangan tanpa memedulikan siapapun.
(Dia? Dia.)
Sementara kerumunan
itu bergerak mengikuti perempuan tersebut seperti anak ayam mengikuti
induknya, aku mendengar Mike bersiul. “Tuan Putri itu benar-benar
sesuatu. Kau lihat bagaimana orang-orang itu berusaha menjilat
sepatunya dan dia menendang mereka begitu saja?” tanyanya dengan
antusias. Aku tidak tahu dari mana Mike mendapat metafora seperti itu
tapi aku setuju dengannya.
Tanpa
suara pandanganku mengikuti sosok gadis bersurai hitam legam itu.
Gaun pestanya berwarna biru, dengan model yang sederhana dan rok yang
berhenti tepat di lutut. Ia mengenakan sepatu perak dengan hak
setidaknya lima senti. Rambutnya ditarik ke belakang dan disanggul
dengan sebuah jepit biru—tidak terlalu jelas dari kejauhan begini,
tapi kurasa bentuknya kupu-kupu—menyisakan helaian-helaian yang
menutupi tengkuk dan membingkai pipinya. (Aku yakin rambut
aslinya jauh lebih panjang. Sepinggang, ya, pasti sepinggang.)
Aku terus
mengamatinya sementara ia berjalan dengan anggun, sesekali
menganggukkan kepala pada orang-orang yang dia kenal. Ia jelas
mengabaikan wanita-wanita penjilat dan pria-pria penipu, sebagaimana
aku dengan sukses mengabaikan Mike yang sejak tadi berusaha
mengajakku bicara.
Di satu titik,
gadis itu berhenti. Perlahan-lahan ia menoleh, matanya mencari-cari.
Ah, ia pasti merasa dipelototi, dan berusaha mencari pelakunya. Tanpa
ragu aku menegakkan tubuh, iris merah kutancapkan tepat pada sepasang
iris perak di balik kacamata itu. Sesuai harapanku, ia mengerti. Ia
menemukanku.
(Menemukanku, seperti sembilan belas
tahun yang lalu. Tuhan, betapa aku merindukan masa-masa itu.)
Sesuatu dalam
tatapannya menimbulkan suara bergemerincing di telingaku. Ketika
gadis itu membuang muka, aku tersadar—dialah lawan main yang
kutunggu-tunggu. Ya, aku akan membuat permainan ini semakin panjang
dan semakin menarik. Segera aku beranjak untuk menyisiri ruangan
dengan arah yang berbeda dari langkahnya. Seperti dua sisi jarum
kompas, berputar searah jarum jam. Seperti dua titik spiral yang
sengaja berputar-putar sebelum menemukan pusatnya.
Gadis
itu bergerak dengan tempo yang cermat. Ia tampak seperti balerina
yang menari sesuai koreografi—tap,
tap, tap,
berhenti dan tersenyum kecil pada tamu yang lain, tap,
tap, tap—ia
tahu bagaimana cara berbaur sekaligus mengenyahkan presensi orang
lain. Tiap sekian langkah, matanya kembali menemukanku dari balik
kerumunan manusia. Caranya menatapku malu-malu khas gadis belia,
namun menantang sesuai dengan perannya sebagai seorang direktur.
Gadis yang menarik. (Aku sudah tahu dia menarik.)
Entah berapa lama
waktu yang kami habiskan hanya untuk bermain kejar-kejaran. Yang aku
tahu hanyalah ketika kami akhirnya bertemu tepat di tengah ruangan,
tepat di bawah kandelir raksasa. Dunia seakan berkompilasi untuk
menyemarakkan permainan ini—musik tepat berakhir saat kami berdiri
berhadap-hadapan.
Aku tidak bisa
tidak tersenyum melihat wajahnya sedekat ini. Aku juga tidak bisa
menahan mataku untuk tidak meneliti tiap detail dari tubuhnya.
Bagaimana rambut yang berada di sisi wajahnya jatuh dengan elegan di
bahu, kacamatanya berlensa tipis dengan bingkai kebiruan, dan
bibirnya diwarna serupa mawar yang mekar di subuh. Gaunnya menutupi
sekaligus memamerkan kulitnya yang putih porselain, membuatku serasa
gila karena begitu ingin menyentuhnya.
Secara
keseluruhan, gadis ini memikat. (Sedikit terlalu memikat,
sebetulnya. Sembilan belas tahun yang lalu ia memang manis, tapi
sekarang ia juga menggoda. Aku tidak tahan membayangkan berapa banyak
pria yang sudah melihatnya dengan tatapan buas seperti aku saat ini.
Darahku mendidih.)
Nada-nada
kembali berkumandang, dan aku sadar aku harus bergerak. (Ingat
rencana itu, bodoh.) Kuulurkan
tangan kiri padanya. Gadis itu masih terpaku, seakan tidak percaya
aku memintanya untuk berdansa denganku. Reaksinya membawa senyum geli
pada bibirku, dan aku mengangkat alis. Hampir seketika ia menarik
napas—kaget?—dan semburat merah muncul menghiasi pipinya ketika
ia menjawab uluran tanganku. Aku tidak menyangka ia bisa terlihat
lebih manis daripada sebelumnya dengan warna merah lembut itu.
Aku
berusaha untuk tidak berpikir macam-macam saat aku menariknya dalam
posisi dansa—satu tanganku di pinggangnya dan satu lagi bertaut
rapat dengan tangannya. Sulit, jelas sulit sekali. Kusadari tangannya
halus dan kecil, seperti badannya yang kurus. (Apa dia
memang sekurus ini? Apa dia kurang makan? Sakit?)
Sedikit
demi sedikit aku menarik tubuhnya mendekat, hingga sepanjang lenganku
tepat merengkuhnya. Dengan posisi ini, wajahku menempel di sisi
kepalanya, di mana aku bisa mengendus wangi mawar yang lembut dari
rambutnya, dan hidungnya menempel dengan bahuku. Aku sempat khawatir
ia akan menolak, tapi ketakutanku tidak terbukti karena gadis itu
tampak baik-baik saja. Sungguh perempuan yang pemberani. Tubuhnya
begini kecil, tapi nyalinya tak tertandingi siapapun. (Seorang
direktur, dia sekarang bukan gadis kecil itu lagi.)
Namun
sebagai seorang direktur, ia butuh lebih dari keberanian semata.
Kecerdikan dalam mengatasi setiap masalah adalah tuntutan lain.
Karena persaingan bisnis adalah dunia yang kejam, kuharap ia tahu
itu. (Kejam, terlalu kejam. Rasa sayang dan rasa bersalah
berbenturan. Ini bagian dari rencana tapi juga bukan.)
“Hei,” bisikku,
menikmati bagaimana napasnya tertahan sekian milidetik, “beritahu
aku kenapa kau datang kemari.”
Gadis itu setengah
mendengus setengah tertawa, napasnya menyentuh leherku sesaat.
“Menurutmu?”
Ah, jawaban pintar.
Ia berusaha mengukur di mana aku berdiri, di mana dia berdiri, dalam
papan catur ini. Kurasa melanjutkan permainan ini tidak akan menjadi
masalah—aku akan sangat menikmatinya. “Alasan yang sama
denganku.” Tentu saja. Kau masuk ke dalam ruangan ini dengan wajah
tidak tertarik, namun begitu menemukanku, kilau matamu langsung
berubah. Mudah menebak apa yang kau inginkan di gedung milik
keluargaku ini.
“Dan itu adalah?”
gadis itu memaksaku menjawab pertanyaanku sendiri.
Kuputuskan
untuk memberi jawaban setengah jujur. (Aku tidak bisa
berbohong. Tidak pada gadis yang satu ini.)
“Mencari teman untuk menghabiskan malam ini.” Aku ingin tahu apa
yang dipikirkannya, maka aku merenggangkan pelukanku sedikit agar
bisa membaca matanya. “Apa aku benar?” Apa kau benar
datang untukku?
Ia melemparkan
senyum tipis sebelum menyandarkan kepalanya di bahuku lagi.
“Entahlah... Kurasa, lebih dari itu.”
Sial.
Aku tahu kata-katanya menyiratkan bahaya, tapi tetap saja aku merasa
jantungku berdebar. “Hmm...” gumamku untuk menyamarkan ritme
jantung yang mulai meninggi. Gadis ini tahu bagaimana membuat seorang
lelaki bertekuk lutut. “Lebih? Kau membuatku penasaran, Nona.”
“Oh ya?”
Demi Tuhan, YA.
“Mm-hmm...” Aku berusaha mengontrol emosi dan membiarkan logika
berbicara. Gadis ini ingin menarikku dalam perangkapnya. Sebelum itu
terjadi, aku harus menjeratnya lebih dulu. Ini teritoriku,
logika beralasan, aku punya keuntungan.
Nampaknya sudah waktunya aku memasuki rencana tahap berikutnya.
“Tampaknya, Nona,” aku hampir mengigit lidahku ketika namanya
hampir bergulir keluar—nama yang kuingat dan kuulang-ulang dan
kedengungkan selama sembilan belas tahun; aku sangat ingin mencoba
menyebut nama itu di depan pemiliknya. Kenyataan itu kututupi dengan
cara menarik mundur lenganku, melepaskannya dari pelukan. (Belum
apa-apa aku sudah ingin memeluknya lagi.) “Kita
harus mencari tempat untuk bicara.”
Rona merah kembali
menghiasi pipinya. Sama sekali tidak tampak dibuat-buat. Aku pun
menyimpulkan dengan ragu bahwa seorang lelaki mengundangnya ke suatu
tempat untuk 'bicara' adalah suatu hal yang baru baginya. Dengan
anggukan kecil yang malu-malu darinya, aku baru menyadari betapa lugu
dan polos gadis ini.
Napasku memendek.
Malam ini akan jadi malam yang panjang dan tak terlupakan.
(Halo, rasa bersalah. Kau datang
lagi membawa temanmu?)
-chapter
end-
A/N:
akhirnya nerusin ini jugaaaa! Ih sumpah rasanya pengen nulis
kejadian-kejadian di chapter 1 dari POV-nya Nishiki sampai akhir.
Tapi dari adegan mereka masuk kamar, gelagat keduanya sudah sama-sama
terlihat jadi... penjelasan dari sisi Nishiki sampai sini saja deh.
(Besides it's like
ten p.m and I'm geting sleepy.)
Semoga
di chapter ini karakter aslinya si Nishiki bisa tersampaikan. Dan ya,
sembilan belas tahun... damn
persistent bishie.
I guess that's what happens kalau dari kecil kamu sudah kece dan
dikejar cewek-cewek dan cuma ketemu satu yang polos begitu wahahaha.
By
the way, Ann is 24 and Nishiki is 26.
Maaf kalau ini mungkin berubah dari chapter-chapter sebelumnya,
karena jujur aja saya paling payah memperhitungkan soal umur haha.
(wait,
Fue? Mereka berdua bedanya setahun atau dua? Aduh anggap aja dua ya!
Hehe)
Someday,
one full chapter will be dedicated for their childhood. Someday.
Don't ask me when.
Jaa,
ciao!
No comments:
Post a Comment