Judul: Solitude
Author: Vianna Orchidia
Rating: K+
Genre: Hurt/Comfort/Family
Summary: Sequel of Vigorous. Perempuan itu masih di kamar itu. Sendiri. Tidak mau memikirkan, tapi tidak memikirkan apa-apa itu menakutkan.
Warning: misstypo, fast-paced toward the end
Author: Vianna Orchidia
Rating: K+
Genre: Hurt/Comfort/Family
Summary: Sequel of Vigorous. Perempuan itu masih di kamar itu. Sendiri. Tidak mau memikirkan, tapi tidak memikirkan apa-apa itu menakutkan.
Warning: misstypo, fast-paced toward the end
A/N: another flashfic I wrote right after finishing Vigorous. Masih adaptasi dari kisah nyata. Tapi berhenti di tengah jalan. Sampai akhirnya, hari ini, saya putuskan untuk melanjutkannya sedikit (that being said, sebetulnya cuma memberi ending sih hehe).
-story start-
Malam ini, sama saja seperti kemarin.
Masih dengan langit yang hitam kosong, udara yang sedikit menusuk
tulang, serta hewan-hewan malam berkeliaran di luar, di balik
bayang-bayang daun. Dan masih saja, perempuan muda itu sendirian di
kamarnya. Memeluk lutut sambil menatap kosong buku yang terbuka
begitu saja di hadapannya—perempuan itu bahkan tidak ingat sejak
kapan dia bertahan dalam posisi itu. Terlalu mudah untuk kehilangan
jejak akan waktu.
Kali ini, perempuan itu tidak
mengasihani diri karena bersedih, tapi lebih merasa kesepian. Harinya
di sekolah tadi siang cukup menyenangkan—ramai, gelak tawa, teman.
Sanggup untuk mengunci rasa kosong itu di sudut hati terdalam. Namun
siang beda dengan malam. Semenjak kakinya melangkah keluar dari
gerbang sekolah, hantu bernama sendiri telah setia
mengutuknya. Rasa itu semakin menguat setelah matahari terbenam,
seolah sang surya adalah tenaga spiritual yang mengurangi dampak dari
kutukan itu.
Awalnya perempuan itu mengambil salah
satu novel kesukaannya, berharap karakter demi karakter mampu jadi
teman khayalnya, dan gotong-royong mencari obat untuk kutukan itu.
Tapi entah mengapa, malam ini dia tidak bisa fokus—otaknya tidak
mencerna kata dan matanya hanya menatap deretan huruf tanpa arti.
Telinganya terasa berdengung, menangkap suara-suara kesendirian. Dan
kulitnya, ia baru sadar, mulai merinding di bawah tekanan sepi.
Dia mendecakkan lidah. Setelah beberapa
kali mencoba untuk membaca lagi—dan gagal, gagal, gagal—akhirnya
dia meraih remote control TV, dan menekan tombol merah. Tidak
sampai sepuluh detik, suara tawa pun berkumandang di kamar itu, tawa
yang hanya bisa dia amati tanpa menyentuh sanubari sama sekali. Dia
menonton orang-orang di dalam kubus elektrik itu bergerak, berbicara,
tapi tak sekalipun mereka mengundangnya serta. Mereka asyik sendiri,
tidak peduli jika penonton juga ikut tertawa atau hanya menatap,
menatap seperti orang tidak waras.
Tunggu, yang tidak waras itu mereka,
kan? Mereka yang tertawa-tawa tidak jelas, kan?
Penyangkalan.
Kerlap-kerlip warna berganti-ganti yang
bersumber dari TV rasanya malah membuat matanya sakit. Tapi, tapi
setidaknya suaranya akan mengusir dengung penuh lara yang sejak tadi
bergetar di telinganya, jadi dia tidak segera mematikannya. Tapi dia
juga tidak melanjutkan menonton, melainkan malah membaringkan diri di
kasur. Jemarinya meremas pinggiran bantal, menenggelamkan kepalanya
ke dalam wangi yang sangat dia kenal—mencari nyaman, mencari
sesuatu yang bisa berkata bahwa dia tidak terasing di sini.
Sesaat, pikiran tentang ayah dan ibunya
mulai menyeruak, tapi dengan sigap ditepisnya. Ibunya belum menelepon
lagi, jadi kemungkinan besar kondisi ayahnya masih tetap.
Jangan terlalu dipikirkan, ujar
ibunya tadi pagi, kalimat terakhir sebelum komunikasi diputus. Dan
itulah yang akan dia lakukan. Jika tidak bisa menghibur ibunya,
setidaknya dia akan patuh agar tidak menambah beban pikiran beliau,
ya kan?
Tapi kini dia
sendiri.
Sendiri.
Semakin dirasakan, dia semakin ngeri.
Apa kamar ini selalu begitu luas dan sepi? Bahkan bebunyian dari
televisi tidak mampu menghalau aura kelam yang menyelimuti ruangan
ini. Seperti ada sesuatu yang bercokol dalam hatinya, membuatnya
gelisah. Masih terlalu sore untuk tidur, dia sadar—namun mimpi
selalu jadi kawan terbaik saat kesendirian melanda.
Ting-tong!
Perempuan muda itu terlonjak kaget dari tempat tidurnya.
Tergopoh-gopoh ia menuju pintu, bertanya-tanya siapa yang datang.
Rasanya dia tidak membuat janji dengan siapapun, jadi siapa...?
Mulutnya membentuk huruf O ketika mendapati dua wajah gembira di
balik pintu kamarnya. Yang satu laki-laki tinggi dengan kacamata
berbingkai tipis bertengger di hidungnya, sementara satunya lagi
perempuan yang kira-kira sebaya dengannya, rambutnya hitam ikal. Yang
terakhir ini langsung menarik tubuh perempuan muda itu untuk mencium
pipinya, tertawa-tawa geli.
“Loh, Reza? Dita?” perempuan muda itu bertanya heran setelah
lolos dari pelukan maut perempuan satunya lagi. Ia membuka pintu
kamarnya lebar-lebar, tanpa kata mengajak kedua tamunya masuk. “Kok
tiba-tiba ke sini?”
Dita serta Reza melepas sepatu di dekat pintu, dan menyerahkan tas
plastik hitam yang mereka bawa kepada perempuan itu. “Tadi Tante
telepon ibu kami,” jelas Dita yang langsung duduk di sisi tempat
tidur, sudah terlalu familiar dengan isi kamar itu sehingga tidak
lagi tertarik untuk menginspeksi. “Jadi Ibu nyuruh kami ke sini,
sekalian nganter makanan tuh.”
“Itu? Masakan Bude?”
“Iya. Kesukaanmu lho!”
Reza yang memilih untuk duduk di atas karpet mengalihkan pembicaraan.
“Tadi lagi ngapain, Ndien? Kita nggak ganggu kan?”
Sepupunya tersenyum kecil. “Ya nggak lah. Tadi aku cuma
bengong-bengong gitu kok. Biasa, malam Minggu nggak ada kerjaan.”
Mereka tertawa bersamaan—walaupun Reza, pemuda pendiam itu, cuma
senyum-senyum saja. “Makanya cari pacar sana!” goda Dita.
“Kamu sendiri nggak punya pacar, makanya mau aja diajak ke sini,”
celetuk Reza ringan, seolah tidak sadar kalau adiknya langsung
merengut gegara 'rahasia' terbongkar. Bertekad untuk balas dendam,
Dita ganti meledeknya. “Mbak Anis mana, kok nggak diajak ke sini?
Lagi bertengkar ya?” tanyanya, simpatik, namun ada jahil di
baliknya. Hanya orang naif yang tidak paham maksud asli gadis itu,
dan si perempuan muda bukan termasuk dalam kategori itu.
Tawa kembali menghiasi bibir perempuan muda itu. Aura sepi lagi suram
meninggalkan kedua mata obsidiannya. Syukurlah, batinnya sembari
memperhatikan adu mulut kakak-adik yang seru tersebut.
“Ndien, makan dulu yuk!” Dita menepuk bahu perempuan itu pelan
sebelum menggandeng tangannya. Sementara itu, Reza sudah sibuk
menyiapkan piring, gelas dan sendok di meja makan. Saat melihat
mereka, perempuan itu menyadari sesuatu. Baik Dita maupun Reza
sama-sama bersikap normal, tidak sekalipun menyinggung perihal
ayahnya yang masih dirawat di rumah sakit. Tidak pula memberinya
tatapan mengasihani. Seakan-akan mereka memang datang hanya untuk
menghabiskan malam Minggu. Usaha kecil yang sebenarnya sangat
diperlukan oleh perempuan itu saat ini.
Entah siapa yang memberi tahu mereka betapa perempuan itu sedang
didera kesendirian. Mungkin malaikat. Tuhan menyuruh malaikat-Nya
untuk mengirim kedua sepupu kesayangannya kemari.
Jika benar begitu—perempuan itu memejamkan mata sejenak untuk
membisikkan 'terima kasih' yang paling tulus.
-fin-
No comments:
Post a Comment