Sunday, February 2, 2014

[Orific] Solitude

Judul: Solitude
Author:
Vianna Orchidia
Rating:
K+
Genre:
Hurt/Comfort/Family
Summary: Sequel of Vigorous. Perempuan itu masih di kamar itu. Sendiri. Tidak mau memikirkan, tapi tidak memikirkan apa-apa itu menakutkan.
Warning:
misstypo, fast-paced toward the end
A/N: another flashfic I wrote right after finishing Vigorous. Masih adaptasi dari kisah nyata. Tapi berhenti di tengah jalan. Sampai akhirnya, hari ini, saya putuskan untuk melanjutkannya sedikit (that being said, sebetulnya cuma memberi ending sih hehe).

-story start-
 
Malam ini, sama saja seperti kemarin. Masih dengan langit yang hitam kosong, udara yang sedikit menusuk tulang, serta hewan-hewan malam berkeliaran di luar, di balik bayang-bayang daun. Dan masih saja, perempuan muda itu sendirian di kamarnya. Memeluk lutut sambil menatap kosong buku yang terbuka begitu saja di hadapannya—perempuan itu bahkan tidak ingat sejak kapan dia bertahan dalam posisi itu. Terlalu mudah untuk kehilangan jejak akan waktu.

Kali ini, perempuan itu tidak mengasihani diri karena bersedih, tapi lebih merasa kesepian. Harinya di sekolah tadi siang cukup menyenangkan—ramai, gelak tawa, teman. Sanggup untuk mengunci rasa kosong itu di sudut hati terdalam. Namun siang beda dengan malam. Semenjak kakinya melangkah keluar dari gerbang sekolah, hantu bernama sendiri telah setia mengutuknya. Rasa itu semakin menguat setelah matahari terbenam, seolah sang surya adalah tenaga spiritual yang mengurangi dampak dari kutukan itu.

Awalnya perempuan itu mengambil salah satu novel kesukaannya, berharap karakter demi karakter mampu jadi teman khayalnya, dan gotong-royong mencari obat untuk kutukan itu. Tapi entah mengapa, malam ini dia tidak bisa fokus—otaknya tidak mencerna kata dan matanya hanya menatap deretan huruf tanpa arti. Telinganya terasa berdengung, menangkap suara-suara kesendirian. Dan kulitnya, ia baru sadar, mulai merinding di bawah tekanan sepi.

Dia mendecakkan lidah. Setelah beberapa kali mencoba untuk membaca lagi—dan gagal, gagal, gagal—akhirnya dia meraih remote control TV, dan menekan tombol merah. Tidak sampai sepuluh detik, suara tawa pun berkumandang di kamar itu, tawa yang hanya bisa dia amati tanpa menyentuh sanubari sama sekali. Dia menonton orang-orang di dalam kubus elektrik itu bergerak, berbicara, tapi tak sekalipun mereka mengundangnya serta. Mereka asyik sendiri, tidak peduli jika penonton juga ikut tertawa atau hanya menatap, menatap seperti orang tidak waras.

Tunggu, yang tidak waras itu mereka, kan? Mereka yang tertawa-tawa tidak jelas, kan?

Penyangkalan.

Kerlap-kerlip warna berganti-ganti yang bersumber dari TV rasanya malah membuat matanya sakit. Tapi, tapi setidaknya suaranya akan mengusir dengung penuh lara yang sejak tadi bergetar di telinganya, jadi dia tidak segera mematikannya. Tapi dia juga tidak melanjutkan menonton, melainkan malah membaringkan diri di kasur. Jemarinya meremas pinggiran bantal, menenggelamkan kepalanya ke dalam wangi yang sangat dia kenal—mencari nyaman, mencari sesuatu yang bisa berkata bahwa dia tidak terasing di sini.

Sesaat, pikiran tentang ayah dan ibunya mulai menyeruak, tapi dengan sigap ditepisnya. Ibunya belum menelepon lagi, jadi kemungkinan besar kondisi ayahnya masih tetap.

Jangan terlalu dipikirkan, ujar ibunya tadi pagi, kalimat terakhir sebelum komunikasi diputus. Dan itulah yang akan dia lakukan. Jika tidak bisa menghibur ibunya, setidaknya dia akan patuh agar tidak menambah beban pikiran beliau, ya kan?

Tapi kini dia sendiri.

Sendiri.

Semakin dirasakan, dia semakin ngeri. Apa kamar ini selalu begitu luas dan sepi? Bahkan bebunyian dari televisi tidak mampu menghalau aura kelam yang menyelimuti ruangan ini. Seperti ada sesuatu yang bercokol dalam hatinya, membuatnya gelisah. Masih terlalu sore untuk tidur, dia sadar—namun mimpi selalu jadi kawan terbaik saat kesendirian melanda.

Ting-tong!

Perempuan muda itu terlonjak kaget dari tempat tidurnya. Tergopoh-gopoh ia menuju pintu, bertanya-tanya siapa yang datang. Rasanya dia tidak membuat janji dengan siapapun, jadi siapa...?

Mulutnya membentuk huruf O ketika mendapati dua wajah gembira di balik pintu kamarnya. Yang satu laki-laki tinggi dengan kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya, sementara satunya lagi perempuan yang kira-kira sebaya dengannya, rambutnya hitam ikal. Yang terakhir ini langsung menarik tubuh perempuan muda itu untuk mencium pipinya, tertawa-tawa geli.

“Loh, Reza? Dita?” perempuan muda itu bertanya heran setelah lolos dari pelukan maut perempuan satunya lagi. Ia membuka pintu kamarnya lebar-lebar, tanpa kata mengajak kedua tamunya masuk. “Kok tiba-tiba ke sini?”

Dita serta Reza melepas sepatu di dekat pintu, dan menyerahkan tas plastik hitam yang mereka bawa kepada perempuan itu. “Tadi Tante telepon ibu kami,” jelas Dita yang langsung duduk di sisi tempat tidur, sudah terlalu familiar dengan isi kamar itu sehingga tidak lagi tertarik untuk menginspeksi. “Jadi Ibu nyuruh kami ke sini, sekalian nganter makanan tuh.”

“Itu? Masakan Bude?”

“Iya. Kesukaanmu lho!”

Reza yang memilih untuk duduk di atas karpet mengalihkan pembicaraan. “Tadi lagi ngapain, Ndien? Kita nggak ganggu kan?”

Sepupunya tersenyum kecil. “Ya nggak lah. Tadi aku cuma bengong-bengong gitu kok. Biasa, malam Minggu nggak ada kerjaan.”

Mereka tertawa bersamaan—walaupun Reza, pemuda pendiam itu, cuma senyum-senyum saja. “Makanya cari pacar sana!” goda Dita.

“Kamu sendiri nggak punya pacar, makanya mau aja diajak ke sini,” celetuk Reza ringan, seolah tidak sadar kalau adiknya langsung merengut gegara 'rahasia' terbongkar. Bertekad untuk balas dendam, Dita ganti meledeknya. “Mbak Anis mana, kok nggak diajak ke sini? Lagi bertengkar ya?” tanyanya, simpatik, namun ada jahil di baliknya. Hanya orang naif yang tidak paham maksud asli gadis itu, dan si perempuan muda bukan termasuk dalam kategori itu.

Tawa kembali menghiasi bibir perempuan muda itu. Aura sepi lagi suram meninggalkan kedua mata obsidiannya. Syukurlah, batinnya sembari memperhatikan adu mulut kakak-adik yang seru tersebut.

“Ndien, makan dulu yuk!” Dita menepuk bahu perempuan itu pelan sebelum menggandeng tangannya. Sementara itu, Reza sudah sibuk menyiapkan piring, gelas dan sendok di meja makan. Saat melihat mereka, perempuan itu menyadari sesuatu. Baik Dita maupun Reza sama-sama bersikap normal, tidak sekalipun menyinggung perihal ayahnya yang masih dirawat di rumah sakit. Tidak pula memberinya tatapan mengasihani. Seakan-akan mereka memang datang hanya untuk menghabiskan malam Minggu. Usaha kecil yang sebenarnya sangat diperlukan oleh perempuan itu saat ini.

Entah siapa yang memberi tahu mereka betapa perempuan itu sedang didera kesendirian. Mungkin malaikat. Tuhan menyuruh malaikat-Nya untuk mengirim kedua sepupu kesayangannya kemari.

Jika benar begitu—perempuan itu memejamkan mata sejenak untuk membisikkan 'terima kasih' yang paling tulus.

-fin-

No comments:

Post a Comment