JA(t)UH
Pengarang : Azhar Nurun
Ala
Penyunting : Abdullah Ibnu
Ahmad
Penerbit : Azharologia
Tahun Terbit : 2013
“Aku tidak pernah
mengerti konsep cinta yang ada di pikiran para penyair. Buatku,
mereka adalah orang-orang gila. Cinta, tidaklah perlu kita maknai
dengan kalimat-kalimat hiperbola. Ia sederhana. Awalnya ia ada
sebagai rasa, lalu, bila kita berani, ia akan berkembang menjadi
kata. Dan bagi mereka yang matang, ia akan terurai menjadi laku.”
--Warna, halaman 80--
Pertama-tama, perlu
diketahui bahwa buku Ja(t)uh ini merupakan buku self-publishing
oleh seorang Azhar Nurun Ala, yang sebagian besar isinya pernah
dipublikasikan di blog pribadi beliau dan ditulis antara tahun
2011-2013. Merupakan sebuah kumpulan cerpen, puisi, maupun
prosa-prosa ringan dengan tema besar cinta.
Sebagai
penulis yang belum besar namanya, Azhar memiliki gaya bercerita yang
cukup segar. Penggunaan diksi yang gaul saat membentuk dialog.
Pembentukan kalimat yang memuja rima antar kata. Metafora-metafora
yang bergulir dengan mudah di tiap jejaknya. Meskipun begitu, patut
diakui bahwa penulisan seorang Azhar masih belum bisa dibilang
matang. Masih butuh banyak pengalaman menulis. Masih butuh sederet
editing.
Salah
satu bagian yang membuat mata sakit adalah penulisan Azhar yang
seringkali mengabaikan EYD dalam hal tanda baca. Lihat saja cerpen
Biar Ia Terkembang Jadi Kata
yang dipenuhi dengan dialog antara tokoh protagonis “aku” dan
perempuan mantan kakak kelasnya di perguruan tinggi. Dalam tiap
dialog, Azhar selalu 'lupa' membubuhkan tanda titik di akhir kalimat.
Apakah mungkin ini hanya permainan sastra dari beliau? Atau memang
menunjukkan ketidakpedulian beliau pada tanda baca di saat menulis
karya tersebut? Jujur, saya merasa alasannya adalah yang kedua.
Selain
itu, masih dalam cerpen yang sama, Azhar terlihat masih takut-takut
untuk membuat dialog yang luwes. Sedikit-sedikit ada yang dicetak
miring, menunjukkan bahasa tidak baku. Padahal menurut saya hal itu
tidak perlu. Sastra punya tolok ukur sendiri. Tidak seperti
karya-karya ilmiah. Atau sekali lagi, jangan-jangan Azhar sengaja
membuatnya sedemikian rupa? Meskipun pada titik ini, saya kurang
yakin kalau beliau akan 'mendandani' karyanya sedemikian rupa.
Kesalahan-kesalahan teknis semacam itu masih terasa sebagai bukti
nyata seorang penulis yang hijau.
Melepaskan
diri dari maslaah teknis, kali ini saya ingin membahas bagaimana
pilihan kata yang dipakai oleh Azhar dalam buku ini.
Di tiap
judul, tidak pernah ada nama yang keluar. Hanya ada aku dan
kamu. Kadang menyatu jadi kita. Menunjukkan betapa
tulisan-tulisan ini sangat personal. Luapan perasaan sang penulis.
Sekaligus membawa pembaca masuk dalam dunia beliau. Penggunaan aku
dan kamu yang sangat personal di sini menguatkan perasaan
bahwa semua yang tertulis di buku ini adalah murni milik sang penulis
yang tengah jatuh cinta.
Puisi
yang cukup menarik di buku ini salah satunya berjudul Tertawan.
Ada
yang beku: bibir
Ada
yang tertahan: nafas
Ada
yang tak berkedip: kelopak mata
Ada
yang berdegup kencang: jantung
Ada
yang berdesir deras: darah
Ada
yang tertawan: hati
Ada
yang berhenti berputar: bumi
Ada
yang berhembus pelan: angin
Ada
yang hening berbisik: rerumputan
Ada yang jatuh cinta
padamu: aku
Menggunakan
kata-kata yang jujur dan sederhana, Azhar mempersembahkan
gejala-gejala yang konon dialami manusia apabila tengah jatuh cinta
secara lengkap—mulai dari perubahan fungsi kerja organ tubuh sampai
lingkungan sekitar yang seakan mendukung fenomena jatuh cinta ini.
Ditutup dengan pengakuan blak-blakan, puisi ini jelas menancap jauh
di hati pembaca yang tengah kasmaran.
Namun
kesederhanaan ini tidak selalu ada dalam tulisan Azhar. Jauh lebih
banyak yang memakai metafora yang berhubungan dengan alam raya.
Seperti dalam petikan prosa berjudul Remang berikut:
“Kamu
malu. Untuk memejamkan mata pun kamu hampir-hampir tidak sanggup.
Kamu terlalu malu pada gelap. Kamu malu pada matahari, yang setia
mencintai bumi dengan jaraknya. Pada laut, yang setia mengikat janji
dengan pantainya. Pada salju, yang tak pernah lepas berpeluk mesra
dengan dinginnya. Kamu malu.”
Ada yang
bakal bilang kalau ini puitis. Penulisnya pasti penyair tulen yang
punya banyak perbendaharaan perandaian macam ini. Bagi saya,
pertanyaan yang muncul. Kenapa Azhar sering sekali memakai
perumpamaan bumi beserta segala isinya? Latar belakang agama,
pendidikan maupun keluarga mungkin bisa memberi beberapa potongan
puzzle yang saya cari. Alam mungkin memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap cara pikir seorang Azhar.
Secara
keseluruhan, karya-karya dalam buku Ja(t)uh ini dapat dikatakan jujur
terhadap perasaan penulisnya. Di beberapa bagian mungkin menggunakan
perumpamaan atau plot yang fiktif, namun semua itu masih didasari
oleh luapan perasaan sang penulis. Tema besar jatuh cinta
berhasil ditangkap dengan indah oleh Azhar dengan gaya penuturan yang
khas.
“Dalam hidup, yang
berhak jatuh hanya hati.”
Azhar
Nurun Ala
-halaman
141-
No comments:
Post a Comment