The
Old Capital
(Judul asli : 古都
lit. Koto)
Pengarang : Kawabata
Yasunari
Penerjemah : J. Martin
Holman
Penerbit : Tuttle
Publishing
Tahun terbit : 2000
(cetakan kelima)
Ukuran : vi + 164 halaman
Sinopsis:
The Old Capital is of
one of the three works for which Yasunari Kawabata won the Nobel
Prize for Literature. Set in Kyoto—the old capital of Japan for a
thousand years—this lyric novel traces the life of Chieko, the
beloved adopted daughter of a kimono designer and his wife. Believing
that she had been kidnapped by the couple as a baby, Chieko learns
one day that she was instead a foundling, left abandoned on a
doorstep. Happy with her adopted parents, however, her security and
contentment remain undisturbed until an answered prayer at the famous
Yasaka Shrine dramatically alters the course of her life.
Novel ini masih sama seperti
Snow Country dari Yasunari Kawabata – bahasa yang sederhana dan
ringan, mudah dibaca serta luwes. The Old Capital menyajikan kisah
tentang Chieko, putri pemilik toko kimono grosir. Chieko adalah gadis
yang baik hati dan sederhana. Selalu berusaha membantu orang tuanya.
Disebutkan bahwa Chieko tidak malu untuk memakai kimono-kimono yang
didesain ayahnya atau kimono-kimono dari tokonya yang belum laku
terjual. Sungguh seorang gadis yang manis.
Chieko juga bersikap sangat
manis kepada Naeko, gadis dari desa yang ternyata adalah saudari
kembarnya. Meskipun Naeko selalu bersikap merendahkan diri, bahkan
memanggil Chieko “Miss” (nona), Chieko sendiri tidak pernah
semena-mena terhadap Naeko. Justru ia berusaha membesarkan hati Naeko
dengan memberinya kimono, mengajaknya menginap di rumah, dan
sebagainya.
Interaksi saudari kembar
ini, sedikit-banyak memberi insight
terhadap perbedaan sosial yang ada di Jepang pada masa itu.
Sebagai
anak dari keluarga pemilik toko kimono grosir, hidup Chieko layaknya
tuan putri. Yah, tidak separah itu sebetulnya, tapi setidaknya Chieko
memiliki hidup yang nyaman dan makmur. Seakan tidak ada masalah dalam
hidupnya. Kecuali fakta bahwa Chieko ternyata bukan anak kandung
orangtuanya. Ketika Chieko mengabarkan hal ini pada Shin'ichi,
ketenangannya menunjukkan bahwa gadis belia itu sudah memiliki cara
berpikir yang dewasa. Hampir aneh sebetulnya, Chieko mengatakan itu
semua dengan kalem—terlalu kalem. Secara psikologis agak janggal.
Satu-satunya penjelasan logis yang bisa saya temukan adalah: Chieko
sudah memikirkan masalah tersebut berulang-ulang dan sudah belajar
menerimanya dengan ikhlas.
Sebaliknya,
Naeko dibesarkan di gunung. Setiap hari ia harus bekerja keras.
Ditambah lagi, karena setelah orangtuanya meninggal dia 'dititipkan'
di rumah orang lain, Naeko tumbuh menjadi gadis yang sedikit rendah
diri. Semakin parah karena Chieko, saudari kembarnya yang terpisah
sejak lahir, ternyata menjadi seorang 'tuan putri'. Terlihat jelas
dia menganggap dirinya bukan apa-apa ketika diceritakan
kebingungannya menghadapi lamaran dari Hideo. Dia terus-terusan
menghilangkan eksistensi dirinya dengan mengatakan bahwa kasih yang
dirasakan Hideo hanyalah ilusi. Ah, ini adalah bagian kesukaan saya.
Bagaimana Naeko tidak kuasa menerima kebaikan serta kasih dari Chieko
dan Hideo yang bertubi-tubi, membuat saya tersenyum penuh sayang.
Kerendahan hati itu justru membuatnya jadi karakter yang sangat
manis.
Lain
halnya dengan karakter Ryusuke yang datang di penghabisan cerita.
Karakter ini seperti, entahlah, pemutar arus. Datangnya tiba-tiba,
namun langsung mengalihkan perhatian. Lampu sorot yang awalnya ada di
Hideo, tiba-tiba teralih langsung ke atas kepala Ryusuke. Tidak
memberi Shin'ichi waktu sama sekali (Shin'ichi, pemuda
malang itu). Entah mengapa
Ryusuke ini seperti enigma. Dia terlihat sangat dewasa. Pandai.
Kualitas-kualitas calon menantu idaman. Dan sebagai putra dari
keluarga pemilik toko kimono grosir juga, dia punya aura yang mirip
dengan Chieko—aura seseorang yang hidupnya makmur. Namun karena
laki-laki, dia belajar untuk meneruskan bisnis keluarga—untuk yang
satu ini, berbeda dari Chieko.
Dari
perbandingan karakter Ryusuke dengan Chieko, ada perbedaan gender
role yang cukup menonjol.
Apalagi jika melihat sebaris kalimat dari halaman 91 berikut:
“Chieko's sadness
faded. Perhaps it had not been sadness. Maybe it was the surprise,
the puzzlement, the distress of meeting Naeko so suddenly. But
perhaps it is a girl's fate to shed tears.”
Terasa
saat membacanya—Kawabata Yasunari bukan feminis. Atau, justru ini
cara beliau untuk memperjuangkan feminisme, dengan menunjukkan
perbedaan dalam masyarakat tersebut?
Ciri khas lain Kawabata
Yasunari dalam menulis adalah unsur setting
kebudayaan yang sangat kental. Dalam novel ini, banyak
kebudayaan khas Kyoto (“ibukota lama” yang dimaksud adalah Kyoto)
yang dimasukkan. Bisnis kimono yang menjadi latar belakang karakter
sentral pun merupakan salah satu wujud kebudayaan tersebut. Ada pula
Gion Festival yang sangat tersohor bahkan hingga saat ini.
Festival of Ages, Kurama Fire Festival, Daimonji
Festival – banyak nama festival bertebaran di dalam novel ini.
Tidak semuanya dijelaskan, tapi cukuplah untuk memberi aba-aba pada
pembaca muda seperti saya dan kawan-kawan tentang kentalnya tradisi
di Kyoto.
Secara keseluruhan, novel
ini sangat menarik. Secara subjektif, lebih bagus daripada Snow
Country. Dalam novel ini terlihat lebih jelas konflik dan inti
ceritanya, dan ending-nya
masih bisa diterima. Masih terlihat konklusi ceritanya. Tidak seperti
Snow Country yang kemarin membuat saya frustasi dengan ending
yang sangat-sangat-sangat cliffhanger,
novel ini berhasil membuat saya tersenyum puas ketika menutup halaman
terakhirnya.
No comments:
Post a Comment