A/N: Saya menulis cerita ini... entahlah, setahun yang lalu, mungkin. Saat itu saya mendengarkan cerita tentang 'seseorang' yang bermasalah(?) dengan pernikahannya karena kehadiran orang ketiga. Saya hampir menangis membayangkan perasaan si istri pertama. I just couldn't help it, perasaan itu ingin, ah tidak, harus saya tuangkan dalam bentuk cerita pendek. Wrote it in a whim, so that explains the angsty aura, okay?
Warning: deathfic. Contains heavy negative feelings.
Now, please enjoy.
Just A Wish
(c) Vianna Orchidia
Cewek manis itu berdiri diam, sendirian
di sudut kamar rumah sakit yang ramai itu. Wajahya tak sedikit pun
terangkat, tidak berani sekali pun mengintip apa yang terjadi di
depan hidungnya. Tidak kuasa menahan gejolak emosi yang bergelora
dalam dadanya, kalau ia sampai melihat pemandangan itu dengan mata
kepalanya sendiri. Tapi di sisi lain, ia pun tidak berani menghindar,
kabur sejauh-jauhnya. Ia takut menghadapi apa yang mungkin akan
terjadi nanti.
Menutup matanya rapat-rapat, cewek itu
berdoa setengah mati agar Tuhan menulikan telinganya. Mata memang
masih punya kelopak, tapi telinganya sama sekali tidak bisa
mem-filter suara-suara yang
tidak ingin didengarnya. Dia benci mendengar kata-kata yang menyayat
hati itu.
“Perempuan kurang
ajar! Nggak nyadar apa, kamu itu sudah merebut suami saya! Tahu diri
sedikit dong!”
Kepalanya pening,
dan ia tidak bisa berpikir. Terlalu banyak beban dalam hatinya.
Meskipun ia tahu, beban yang jauh lebih berat senantiasa bercokol
dalam ibunya, tapi ia berharap saat ini wanita itu bukan ibunya.
Durhaka memang, tapi itulah yang benar-benar dia pikirkan. Ia juga
berharap orang yang terbaring di tempat tidur itu bukan ayahnya, dan
wanita muda yang mengenakan rok mini itu tidak pernah ada.
Atau sebaliknya, ia
berharap bisa menghilang dari muka bumi ini.
Dia diam saja saat
ibunya merenggut pergelangan tangannya, menyeretnya pergi dari kamar
yang 'panas' itu. Tidak ada kata yang bisa dia ucapkan tanpa
menghamburkan air mata darah. Wajahnya tidak menunjukkan emosi
apapun, hanya diam dan datar. Mengikuti langkah tergesa ibunya yang
masih sesenggukan ke tempat parkir, dan duduk di balik setir tanpa
banyak komentar. Tidak ada ekspresi yang bisa dia tunjukkan tanpa
memperlihatkan hasratnya untuk membunuh orang itu.
“Jalan, Din!”
perintah ibunya, dan segera saja Dinar melajukan mobil itu. Dia
memfokuskan pikiran pada jalanan, menulikan pendengaran dari suara
tangis ibunya, serta mengabaikan keinginan untuk menabrakkan mobil
itu pada wanita yang sudah menggoda ayahnya.
Setelah beberapa
saat, ibunya sudah mulai lebih tenang. Meski air mata masih
berlinang, wanita itu berkata, “Maafin Ibu ya, Din...”
Dinar tidak tahu
seperti apa wajahnya saat itu, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk
tidak mengubah ekspresi. Otot wajahnya kaku, saking ngototnya dia
berusaha menahan tangisnya. Kelenjar air matanya sudah penuh, tapi
Dinar yakin dia bisa menahannya bila tidak menggerakkan otot-otot
wajahnya.
“Ibu... sudah
nggak kuat, Din. Sudah lama Ibu pengen melabrak wanita itu...”
Tanpa diberitahu
pun, Dinar sudah lebih dari mengerti sebesar apa penderitaan ibunya
selama ini. Harus menelan semua kesedihan, kekesalan, dan kecemburuan
bila di depan semua orang. Tidak ada yang memihak pada ibunya,
padahal sudah jelas-jelas wanita itu—istri muda ayahnya—yang
salah! Tapi wanita itu selalu menang, ayahnya selalu memihaknya, dan
ibunya selalu terasing.
Dinar
tidak habis pikir. Apa sih yang membuat ayahnya begitu tergila-gila
pada wanita murahan itu? Menggoda pria yang sudah beristri, minta
dibelikan ini-itu, memonopolinya dari anak-istri yang
sah—singkatnya, wanita itu
cuma benalu.
Dan
Dinar benci setengah mati padanya. Juga pada ayahnya, yang begitu
bodoh karena mau-maunya dibodohi oleh pelacur yang bodoh setengah
mati itu. Dan pada ibunya, yang hanya bisa diam serta menerima saja
saat ayahnya lebih memilih wanita itu. Dan lebih lagi, dia benci pada
dirinya sendiri, yang tidak bisa berbuat apa-apa saat ibunya
menangis—seperti sekarang ini. Dia hanya melindungi dirinya
sendiri, bukannya menenangkan ibunya. Begitu rendah dirinya,
sampai-sampai dia merasa muak.
Kenapa hal seperti
ini bisa terjadi? Yang dia ingat, dulu ayahnya sangat baik hati, dan
selalu mesra dengan ibunya. Tipikal keluarga bahagia. Sayang, semua
hanya sementara. Saat dia berumur enam belas, ayahnya datang ke rumah
membawa wanita muda dengan riasan setebal satu inci, dan baju kurang
kain—sepertinya uangnya habis untuk beli pupur—lalu
mengenalkannya sebagai istri mudanya.
Entah Dinar yang
terlalu bodoh sampai-sampai tidak sadar bahwa ayahnya main mata di
balik punggung mereka, atau memang ayahnya yang begitu pandai
bersandiwara selama ini. Yang pasti, berita itu mengejutkan mereka.
Orang-orang dari keluarga ayah pun tidak mengatakan apa-apa, dengan
kata lain mengizinkan ulah ayahnya.
Mengizinkan? Lucu
sekali. Mereka cuma keluarga besar, cuma orang luar. Kenapa malah
mereka yang punya andil dalam hal izin, sementara ia dan ibunya
sendiri hanya boleh menonton?
Cengkeraman Dinar
pada setir makin erat tatkala ia memikirkan hal itu. Semakin diingat,
darahnya semakin mendidih. Lima tahun sudah, hubungannya dengan
ayahnya merenggang. Tidak ada percakapan, tidak ada interaksi sama
sekali. Bahkan saat ia berhasil masuk universitas, ia menghindar dari
pelukan ayahnya. Saat ia nekat mengambil kerja sambilan—tidak mau
bergantung pada uang dari ayahnya—dan dimarahi habis-habisan, dia
tidak peduli sedikit pun. Memang niatnya membuat ayahnya pusing tujuh
keliling.
Di balik aksi
'balas dendam' kepada ayahnya, Dinar sangat mengkhawatirkan kondisi
ibunya. Wanita itu sudah menderita terlalu lama. Mau cerai, ibunya
tidak berani menentang keluarga ayahnya. Tiap kali beliau menangis
diam-diam di kamar, Dinar harus mencakar tembok untuk melampiaskan
amarahnya.
Kenapa tidak ada
mesin waktu yang bisa membuat semuanya seperti sedia kala?
“Din, Ibu sudah
capek... Habis ini, Ibu nggak tahu lagi harus ngapain...”
“Bu,” suara
Dinar kering. “Cerai aja...”
Ibunya menggeleng.
“Ayahmu ngotot sekali, nggak mau cerai dari Ibu...”
“Ibu maunya
gimana?” tanya Dinar takut-takut, setitik air mata sudah lepas dari
pelupuk matanya.
“Seandainya bisa
lepas... Seandainya bisa seperti dulu...” jawab ibunya. Jawaban
yang ambigu, jawaban dari seseorang yang sudah kehabisan harapan.
Wajah ibunya benar-benar lelah, menunjukkan keputusasaannya.
“...kita pergi
yuk, Bu?”
Ibunya menoleh
heran. “Ke mana, Din?”
Dinar tersenyum,
meski wajahnya terasa sakit. Sudah berapa tahun sejak dia mulai
menghilangkan emosi dari wajahnya? Kelu dan aneh rasanya. Tapi tidak
apa. Ini yang terakhir. “Ke mana kita bisa bahagia... Kita ke
surga.”
Ibunya terbelalak,
mengerti apa maksud anak semata wayangnya. Sadar bahwa Dinar—yang
tengah menyetir dengan kecepatan tinggi—bisa saja melakukannya
dengan sangat mudah, wanita itu menimbang-nimbang. Suatu pilihan yang
sering terpikir, tapi tidak pernah diutarakan secara vokal. Selalu
terpendam lagi oleh rasa cinta dan tanggung jawabnya pada anaknya.
Sekarang, malah Dinar sendiri yang mengajaknya?
...sepertinya bukan
pilihan buruk.
“Bu?”
Ikut tersenyum
perih, wanita itu siap membuang nyawanya. Hidupnya. Hidup yang toh
tidak pernah dianggap penting oleh lelaki yang ia cintai. Hidup yang
tidak ada artinya. “Ayo, Din. Di sana pasti tenang. Nggak kayak di
sini.”
Dinar membiarkan
air mata membanjir di pipinya, saat mendengar persetujuan ibunya. Dia
melepaskan setir—tahu betul kalau tepat di depan sana ada jurang.
Menoleh pada ibu yang paling berharga baginya, dia berbisik, “Maaf
ya Bu, Dinar udah ngasih tawaran kayak gini...”
“Ini hal terbaik
yang bisa kamu kasih ke Ibu, nak...”
Kedua wanita yang
hatinya sudah tercabik sedemikian rupa itu pun saling bertukar
senyum, sebelum akhirnya rasa sakit menerpa tubuh mereka—
—lalu semuanya
hening. Tidak lagi sakit, tidak lagi menderita. Semuanya telah
terbebas...
~owari~
No comments:
Post a Comment