Sunday, July 8, 2012

[Orific] Just A Wish

Summary: Mana yang lebih baik, menjadi yang kedua atau yang pertama? Seandainya bisa memilih. Seandainya bisa melepaskan diri. Realita tidak sebaik itu. / "Kita pergi yuk, Bu?" "Ke mana kita bisa bahagia..."
A/N: Saya menulis cerita ini... entahlah, setahun yang lalu, mungkin. Saat itu saya mendengarkan cerita tentang 'seseorang' yang bermasalah(?) dengan pernikahannya karena kehadiran orang ketiga. Saya hampir menangis membayangkan perasaan si istri pertama. I just couldn't help it, perasaan itu ingin, ah tidak, harus saya tuangkan dalam bentuk cerita pendek. Wrote it in a whim, so that explains the angsty aura, okay?
Warning: deathfic. Contains heavy negative feelings. 
Now, please enjoy.


 Just A Wish
 (c) Vianna Orchidia
 
Cewek manis itu berdiri diam, sendirian di sudut kamar rumah sakit yang ramai itu. Wajahya tak sedikit pun terangkat, tidak berani sekali pun mengintip apa yang terjadi di depan hidungnya. Tidak kuasa menahan gejolak emosi yang bergelora dalam dadanya, kalau ia sampai melihat pemandangan itu dengan mata kepalanya sendiri. Tapi di sisi lain, ia pun tidak berani menghindar, kabur sejauh-jauhnya. Ia takut menghadapi apa yang mungkin akan terjadi nanti.

Menutup matanya rapat-rapat, cewek itu berdoa setengah mati agar Tuhan menulikan telinganya. Mata memang masih punya kelopak, tapi telinganya sama sekali tidak bisa mem-filter suara-suara yang tidak ingin didengarnya. Dia benci mendengar kata-kata yang menyayat hati itu.

“Perempuan kurang ajar! Nggak nyadar apa, kamu itu sudah merebut suami saya! Tahu diri sedikit dong!”

Kepalanya pening, dan ia tidak bisa berpikir. Terlalu banyak beban dalam hatinya. Meskipun ia tahu, beban yang jauh lebih berat senantiasa bercokol dalam ibunya, tapi ia berharap saat ini wanita itu bukan ibunya. Durhaka memang, tapi itulah yang benar-benar dia pikirkan. Ia juga berharap orang yang terbaring di tempat tidur itu bukan ayahnya, dan wanita muda yang mengenakan rok mini itu tidak pernah ada.

Atau sebaliknya, ia berharap bisa menghilang dari muka bumi ini.

Dia diam saja saat ibunya merenggut pergelangan tangannya, menyeretnya pergi dari kamar yang 'panas' itu. Tidak ada kata yang bisa dia ucapkan tanpa menghamburkan air mata darah. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun, hanya diam dan datar. Mengikuti langkah tergesa ibunya yang masih sesenggukan ke tempat parkir, dan duduk di balik setir tanpa banyak komentar. Tidak ada ekspresi yang bisa dia tunjukkan tanpa memperlihatkan hasratnya untuk membunuh orang itu.

“Jalan, Din!” perintah ibunya, dan segera saja Dinar melajukan mobil itu. Dia memfokuskan pikiran pada jalanan, menulikan pendengaran dari suara tangis ibunya, serta mengabaikan keinginan untuk menabrakkan mobil itu pada wanita yang sudah menggoda ayahnya.

Setelah beberapa saat, ibunya sudah mulai lebih tenang. Meski air mata masih berlinang, wanita itu berkata, “Maafin Ibu ya, Din...”

Dinar tidak tahu seperti apa wajahnya saat itu, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengubah ekspresi. Otot wajahnya kaku, saking ngototnya dia berusaha menahan tangisnya. Kelenjar air matanya sudah penuh, tapi Dinar yakin dia bisa menahannya bila tidak menggerakkan otot-otot wajahnya.

“Ibu... sudah nggak kuat, Din. Sudah lama Ibu pengen melabrak wanita itu...”

Tanpa diberitahu pun, Dinar sudah lebih dari mengerti sebesar apa penderitaan ibunya selama ini. Harus menelan semua kesedihan, kekesalan, dan kecemburuan bila di depan semua orang. Tidak ada yang memihak pada ibunya, padahal sudah jelas-jelas wanita itu—istri muda ayahnya—yang salah! Tapi wanita itu selalu menang, ayahnya selalu memihaknya, dan ibunya selalu terasing.

Dinar tidak habis pikir. Apa sih yang membuat ayahnya begitu tergila-gila pada wanita murahan itu? Menggoda pria yang sudah beristri, minta dibelikan ini-itu, memonopolinya dari anak-istri yang sah—singkatnya, wanita itu cuma benalu.

Dan Dinar benci setengah mati padanya. Juga pada ayahnya, yang begitu bodoh karena mau-maunya dibodohi oleh pelacur yang bodoh setengah mati itu. Dan pada ibunya, yang hanya bisa diam serta menerima saja saat ayahnya lebih memilih wanita itu. Dan lebih lagi, dia benci pada dirinya sendiri, yang tidak bisa berbuat apa-apa saat ibunya menangis—seperti sekarang ini. Dia hanya melindungi dirinya sendiri, bukannya menenangkan ibunya. Begitu rendah dirinya, sampai-sampai dia merasa muak.

Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Yang dia ingat, dulu ayahnya sangat baik hati, dan selalu mesra dengan ibunya. Tipikal keluarga bahagia. Sayang, semua hanya sementara. Saat dia berumur enam belas, ayahnya datang ke rumah membawa wanita muda dengan riasan setebal satu inci, dan baju kurang kain—sepertinya uangnya habis untuk beli pupur—lalu mengenalkannya sebagai istri mudanya.

Entah Dinar yang terlalu bodoh sampai-sampai tidak sadar bahwa ayahnya main mata di balik punggung mereka, atau memang ayahnya yang begitu pandai bersandiwara selama ini. Yang pasti, berita itu mengejutkan mereka. Orang-orang dari keluarga ayah pun tidak mengatakan apa-apa, dengan kata lain mengizinkan ulah ayahnya.

Mengizinkan? Lucu sekali. Mereka cuma keluarga besar, cuma orang luar. Kenapa malah mereka yang punya andil dalam hal izin, sementara ia dan ibunya sendiri hanya boleh menonton?

Cengkeraman Dinar pada setir makin erat tatkala ia memikirkan hal itu. Semakin diingat, darahnya semakin mendidih. Lima tahun sudah, hubungannya dengan ayahnya merenggang. Tidak ada percakapan, tidak ada interaksi sama sekali. Bahkan saat ia berhasil masuk universitas, ia menghindar dari pelukan ayahnya. Saat ia nekat mengambil kerja sambilan—tidak mau bergantung pada uang dari ayahnya—dan dimarahi habis-habisan, dia tidak peduli sedikit pun. Memang niatnya membuat ayahnya pusing tujuh keliling.

Di balik aksi 'balas dendam' kepada ayahnya, Dinar sangat mengkhawatirkan kondisi ibunya. Wanita itu sudah menderita terlalu lama. Mau cerai, ibunya tidak berani menentang keluarga ayahnya. Tiap kali beliau menangis diam-diam di kamar, Dinar harus mencakar tembok untuk melampiaskan amarahnya.

Kenapa tidak ada mesin waktu yang bisa membuat semuanya seperti sedia kala?

“Din, Ibu sudah capek... Habis ini, Ibu nggak tahu lagi harus ngapain...”

“Bu,” suara Dinar kering. “Cerai aja...”

Ibunya menggeleng. “Ayahmu ngotot sekali, nggak mau cerai dari Ibu...”

“Ibu maunya gimana?” tanya Dinar takut-takut, setitik air mata sudah lepas dari pelupuk matanya.

“Seandainya bisa lepas... Seandainya bisa seperti dulu...” jawab ibunya. Jawaban yang ambigu, jawaban dari seseorang yang sudah kehabisan harapan. Wajah ibunya benar-benar lelah, menunjukkan keputusasaannya.

“...kita pergi yuk, Bu?”

Ibunya menoleh heran. “Ke mana, Din?”

Dinar tersenyum, meski wajahnya terasa sakit. Sudah berapa tahun sejak dia mulai menghilangkan emosi dari wajahnya? Kelu dan aneh rasanya. Tapi tidak apa. Ini yang terakhir. “Ke mana kita bisa bahagia... Kita ke surga.”

Ibunya terbelalak, mengerti apa maksud anak semata wayangnya. Sadar bahwa Dinar—yang tengah menyetir dengan kecepatan tinggi—bisa saja melakukannya dengan sangat mudah, wanita itu menimbang-nimbang. Suatu pilihan yang sering terpikir, tapi tidak pernah diutarakan secara vokal. Selalu terpendam lagi oleh rasa cinta dan tanggung jawabnya pada anaknya. Sekarang, malah Dinar sendiri yang mengajaknya?

...sepertinya bukan pilihan buruk.

“Bu?”

Ikut tersenyum perih, wanita itu siap membuang nyawanya. Hidupnya. Hidup yang toh tidak pernah dianggap penting oleh lelaki yang ia cintai. Hidup yang tidak ada artinya. “Ayo, Din. Di sana pasti tenang. Nggak kayak di sini.”

Dinar membiarkan air mata membanjir di pipinya, saat mendengar persetujuan ibunya. Dia melepaskan setir—tahu betul kalau tepat di depan sana ada jurang. Menoleh pada ibu yang paling berharga baginya, dia berbisik, “Maaf ya Bu, Dinar udah ngasih tawaran kayak gini...”

“Ini hal terbaik yang bisa kamu kasih ke Ibu, nak...”

Kedua wanita yang hatinya sudah tercabik sedemikian rupa itu pun saling bertukar senyum, sebelum akhirnya rasa sakit menerpa tubuh mereka—

—lalu semuanya hening. Tidak lagi sakit, tidak lagi menderita. Semuanya telah terbebas...

~owari~

No comments:

Post a Comment