Author: Vianna Orchidia
Rating: T... maybe T+
Genre: Romance/Suspense/Angst/General
Summary: Tiap kata terlontar hanyalah permainan. Kebohongan menyatu dengan kebenaran. Namun, sebagaimana drama yang pasti punya akhir, sedikit demi sedikit tirai kebenaran akan turun dan menyelubungi kebohongan sepenuhnya. Menandai berakhirnya permainan ini.
Warning: Rated for implied situations. Tidak ada nama disebutkan di chapter ini. Gaya penulisan berubah-ubah. Kadar misteri dan rahasia tinggi. See more A/N below.
A/N: Saya membuat cerita ini menggunakan tokoh rekaan (OC) dari RP Acacia punya saya dan salah satu teman saya. Jadi untuk disclaimer, tokoh wanita itu punya saya. Tokoh laki-laki punya Fue. Sayangnya karena saya payah karakterisasi, OC laki-laki ini kayaknya bakal punya sifat yang beda seratus persen dari aslinya, alias saya hanya pinjam nama dan penampilan.
-story start-
Dengan pemuda di seberang ruangan itu,
aku bertukar kerlingan mata.
Pemuda itu sudah menangkap perhatianku
semenjak pertama kali kutapakkan kaki di dalam ruang nan megah ini.
Layaknya tanaman yang disinari matahari di satu sisi, tubuhku selalu
saja mengarah padanya. Tidak bisa melepaskan manik perakku dari
sosoknya. Bahkan saat aku berusaha mengabaikan keberadaannya, radarku
seakan menyala otomatis tanpa bisa kucegah. Rambut putih dan mata
merahnya terlalu menyolok untuk bisa diacuhkan begitu saja.
Dari balik lensa kacamataku, bisa
kulihat pemuda itu pun berkali-kali melirik ke arahku. Dengan jantung
berdebar aku menyadari bahwa dia bahkan mengikutiku. Tak peduli
sejauh apa aku mencoba bersembunyi, kenyataannya dia selalu muncul di
tepi, dengan ekspresi tak terbaca dan api di dalam matanya.
Aku sengaja bergerak perlahan,
mengitari ruangan—langkahku kubuat bertempo sedemikian rupa agar
tak kentara bagi siapapun selain pemuda berambut putih itu. Dia
menangkap permainan kecil yang kulakukan ini, dan yang membuatku lega
bercampur tegang, dia menjawab dengan langkah cermat pula. Entah
berapa lama waktu yang kuhabiskan hanya untuk bermain kucing-kucingan
dengan pemuda itu. Bila di awal pesta dia hanya berdiri di kejauhan,
kini jaraknya tak pernah lebih dari dua orang di depanku.
Kali ini ada senyum tipis yang lebih
menyerupai seringai di wajah pemuda itu. Kilauan di mata merahnya
yang bening mengingatkanku pada seekor singa yang mengawasi
mangsanya, dan tanpa bisa kucegah seluruh tubuhku merinding. Perutku
mendadak seperti ditusuk beribu jarum platina; menyesakkan namun
adrenalin yang mengalir membuatku bergairah.
Ketika lagu yang tengah berkumandang di
ruangan ini berakhir, begitu pula dengan permainan kami. Ditandai
dengan bertemunya kami berdua, tepat di bawah kandelir raksasa yang
begitu elegan, mata kami beradu dan saling meneliti jiwa satu sama
lain.
Aku menemukan gelora yang memabukkan di
dalam matanya. Warna rubi yang makin bersinar berkat cahaya dari
lampu hanya memperkuat perasaan itu. Sementara itu, hidung mancung
dan bibir tipisnya membuat karakter wajahnya unik; terlalu lembut
untuk disebut maskulin namun terlalu misterius untuk menjadi
kewanita-wanitaan. Aku tidak tahu kata apa yang pas untuk
mendeskripsikan aura yang tampak hanya dari struktur wajahnya.
Selain memesona.
Pengamatanku terpaksa berhenti sejenak
saat pemuda itu mengulurkan tangan kirinya. Selama sedetik aku
terpaku, terjebak dalam ribuan pesan tak bersuara yang mengalir lewat
satu tatapan matanya sementara dia menunggu jawabku. Sepasang manik
itu terlalu pekat dengan makna, hingga aku merasa tak bisa bernapas.
Namun ketika dia mengangkat satu alis dan seringainya melembut
menjadi senyum geli, aku tersentak kembali pada dunia nyata.
Dengan pipi yang sedikit memanas,
kuraih tangannya dalam diam. Ia menggenggam tanganku lembut, kemudian
menarikku mendekat. Ia memegang pinggangku dan aku meletakkan tangan
satunya di bahunya. Jarak yang menghilang begitu saja membuat
jantungku tidak bisa berhenti berdebar lebih cepat dari seharusnya.
Terlebih ketika kuhirup aroma tubuhnya yang menyenangkan; kayu manis
dan laut, perpaduan yang aneh dan
sungguh tidak terkira dari seorang pemuda misterius sepertinya.
Selama beberapa
saat kami berdansa, aku sama sekali tidak menyadari kapan dia
mengubah posisi tangannya. Yang tadinya sekedar menyentuh pinggangku,
kini dia sudah melingkarkan lengannya di sekitar tubuhku sepenuhnya,
membuatku berdempet erat dengan tubuhnya. Dia pun menempelkan pipinya
di sisi kepalaku, sambil sesekali mengusapkannya di sana, dan
mengendus aroma sampoku. Di sisi lain, posisinya memaksaku meletakkan
kepala di lekuk lehernya. Posisi yang begitu intim, mengejutkan
betapa aku tidak merasa keberatan.
Aku sama sekali
tidak mengerti. Baru kali ini aku bertemu dengannya, tapi aku
demikian mudah larut dalam sentuh juga tatapnya. Berada di
pelukannya, entah mengapa, terasa nyaman. Lengannya langsing, namun
tetap kokoh; menyenangkan saat tahu lengan seperti itulah yang
melingkari pinggangku erat-erat. Dan lehernya jenjang. Oh Tuhan,
lehernya jenjang dan aku sungguh suka itu!
“Hei,”
bisiknya. Tiba-tiba napasku tercekat, detak jantungku meningkat. Aku
sadar inilah pertama kalinya kudengar suara pemuda ini. Aku bisa
merasakan pita suaranya bergetar di tenggorokannya, dan aku bisa
melihat jakunnya bergerak pelan. Bagiku, itu semua hanya menambah
sensualitas dari pribadinya. “Beritahu aku kenapa kau datang
kemari.”
Memulai percakapan,
dan itulah yang ia tanyakan? Tanpa sadar aku mengeluarkan tawa yang
mirip dengusan. “Menurutmu?” tanyaku balik dengan suara parau.
Bibir pemuda itu
membentuk senyuman di balik rambutku. “Alasan yang sama denganku.”
“Dan itu adalah?”
“Mencari teman
untuk menghabiskan malam ini.” Pemuda itu merenggangkan pelukannya
untuk bisa menatap lekat manik mataku, yang kubalas dengan senyum
tipis. “Apa aku benar?” bisiknya, bibir bergerak lembut. Apa aku
salah melihat kesan misterius lagi di caranya berbisik?
Aku tidak ingin
memberinya jawaban yang gamblang, yang membuatnya puas begitu saja.
“Entahlah...,” ucapku lamat-lamat, sementara aku kembali
menyandarkan kepala di lekuk lehernya dan ia pun kembali memelukku.
“Kurasa, lebih dari itu.”
“Hmm...”
Getaran yang berasal dari tenggorokannya terasa begitu indah di
telingaku. “Lebih? Kau membuatku penasaran, Nona.”
“Oh ya?”
“Mm-hmm...
Tampaknya, Nona,” pemuda itu melepaskan kungkungan lengannya di
pinggangku, menghentikan dansa kami, namun satu tangannya tetap
menggenggam tanganku. “Kita harus mencari tempat untuk bicara.”
Pipiku memanas
menyadari makna terselubung di balik ajakannya. Ketika aku mengangguk
kecil, pemuda itu segera membawaku menyeberangi lantai dansa, naik
melewati tangga besar di tengah, lalu menyusuri lorong-lorong lengang
gedung pertemuan tersebut. Dia berjalan sedikit di depanku, namun
sesekali kepalanya ditolehkan ke belakang untuk melemparkan senyum
dan kerlingan mata padaku. Dan tiap kali dia melakukannya, perutku
tiba-tiba bergejolak, ratusan sayap kupu-kupu mengepak di dalam.
Selama berjalan
dengannya, mau tak mau aku menyadari kalau pemuda itu sudah sangat
mengenal bangunan ini; tiap lorong, tiap belokan, sudah dihapalnya
sampai mati. Sampai pada akhirnya dia berhenti di depan sebuah pintu
kayu megah berukir dan dengan santai membukanya, menampilkan kamar
tidur yang sangat besar lengkap dengan ruang duduk pribadi, aku tak
mampu menahan rasa puas. Sepertinya, aku sukses menemukan tujuan
sejatiku malam ini. Sementara kakiku melangkah melewati daun pintu,
aku menatapnya dengan ekspresi bertanya yang kuharap meyakinkan. “Ini
kamarmu?”
“Ya,” dia
menjawab setelah menutup pintu. Sekilas kulihat dia memutar kuncinya.
“Hmm...” Aku
memandang sekeliling, jelas terpesona dengan interior yang bertemakan
Yunani kuno. “Indah,” aku berkomentar dengan mata terpaku di
lukisan dewi Artemis berukuran sedang di salah satu dinding. Tanpa
bisa kucegah, hatiku mulai berdenyut di hadapan
dewi pemburu yang sangat kukenal itu.
“Kau mau minum?”
suara pemuda itu mengalihkan perhatianku.
“Anggur?”
“Ya,” dia
tersenyum sambil menunjukkan botol anggur yang baru saja dikeluarkan
dari lemari. “Duduklah. Anggap saja rumah sendiri.”
Aku duduk di sofa
yang tersedia di sana, menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain.
Bisa kurasakan mata merahnya mengikuti gerakan kakiku, tidak
melewatkan bagaimana gaunku tersingkap dan menampakkan sedikit
pahaku. Aku tak kuasa menahan senyum menggoda di bibir ketika dia
menyerahkan gelas berisi anggur putih padaku.
Kuhidu aroma anggur
tersebut dengan mata tertutup. “Kuharap kau tidak mencampurkan
apapun ke dalam gelasku.”
“Tentu saja
tidak, Nona,” dia tertawa kecil; tapi bulu kudukku merinding karena
aku sadar tidak ada humor dalam tawanya. “Kenapa bertanya begitu?”
Aku memandangnya
lekat-lekat dari balik lensa kacamataku. “Karena aku tidak
mengenalmu, Tuan. Aku berhak untuk mencurigaimu, bukan begitu?”
Lagi-lagi pemuda
itu tersenyum menyeringai. Dia beranjak mendekat ke sofa tempatku
duduk, membuatku tanpa sadar menahan napas dan tubuhku menegang.
Perlahan-lahan dia duduk di sampingku dengan tubuh condong ke depan,
lututnya beradu dengan salah satu lututku.
“Kau takut
padaku?” bisiknya tepat di telingaku, membuat jantungku
berdebar-debar.
“Mungkin,” aku
ganti berbisik. “Aku takut terjerat dalam pesonamu.”
“Aku tidak akan
menyakitimu.” Jemarinya mulai menemukan jemariku, merebut gelas
anggurku dengan lembut dan perlahan, lalu meletakkannya di meja.
“Percayalah padaku.”
Napas pemuda itu
menyentuh pipiku. Aku mendesah pelan ketika dia memegang bagian
belakang kepalaku dengan tangannya yang besar dan hangat. Dia
mendekat, mendekat—hidungnya menyentuh hidungku, bibirnya bertahan
beberapa senti dari bibirku. Matanya terpejam, dan aku tahu apa yang
akan dilakukannya.
Aku segera
mencengkeram rambut putihnya dan menarik kepalanya dengan satu
sentakan keras.
Ekspresi wajahnya
sungguh tidak ada duanya. Segala keanggunan dalam matanya musnah.
“Oh, Tuan,” aku
mendengkur dengan seringai tipis, “aku baru ingat. Kau ingin tahu
alasanku datang kemari?” Aku terkekeh melihat bibirnya bergerak
kesakitan ketika kutarik rambutnya lebih kuat, lebih kasar. “Aku
datang untuk menemuimu. Untuk mengambil kembali harta keluargaku,
yang kaurebut tahun lalu!” Bola mataku bergerak ke arah lukisan
Dewi Artemis itu.
“Heh,” pemuda
itu mendengus kecil meski wajahnya masih menyimpan ekspresi
kesakitan, “sudah kubilang, alasan kita sama. Aku datang juga untuk
menemuimu. Tuan putri keluarga Chashyme.”
Mataku menyipit.
“Kau mengenaliku,” ujarku singkat. Bukan pertanyaan.
“Siapa yang tidak
mengenali mata perak dan rambut hitam keluarga Chashyme?”
cemoohnya.
“Lalu untuk apa
kau mencariku, Tuan?”
Saat itu, kedua
tangannya ganti menjambak rambutku, membuatnya terurai dari sanggul
kecil yang tadinya rapi berhias jepit biru. Aku mengernyit atas
kekasarannya. “Merebut lukisan Artemis itu masih belum cukup untuk
menghancurkan keluargamu. Masih ada kau, dan ibumu, yang meneruskan
kejayaan kalian. Karena itu...,” bibirnya melengkung membentuk
seringai yang begitu penuh kebencian, dan suaranya lebih berbisa dari
ular sanca, “aku akan merusakmu. Menodaimu. Dan kujadikan bonekaku.
Dengan begitu, bukan saja keluarga Chashyme runtuh, namun kalian juga
menjadi milikku!”
Plak.
Aku menggigit
bibir. Telapak tanganku terasa membara setelah menampar pipinya
keras-keras. Kemudian, memanfaatkan keadaannya yang masih terpaku
setelah serangan tak terduga dariku, aku menepis lengannya dari
kepalaku dan menjauh dari sofa. Aku kembali memelototinya.
“Dasar bodoh,”
bisikku. Entah untuknya atau untuk diriku sendiri.
Pemuda itu
menatapku dengan bibir terkatup rapat. Dia menyandarkan tubuhnya di
sofa dan menyilangkan tangan di depan dada. “Benar. Kau bodoh.
Seharusnya kau lihat kondisimu saat ini, Nona. Kau tidak bisa kabur.”
“Aku tidak
berniat kabur.”
Dia mengangkat
sebelah alis, jelas tidak percaya dengan pernyataanku. Dalam hati aku
mengerang. Bagaimana mungkin aku masih merasakan kepakan kupu-kupu di
perutku di saat dia jelas-jelas adalah musuh? Aku bahkan mendengarkan
hati kecilku untuk berandai-andai dia bukanlah orang yang sudah
membunuh ayahku. Menjijikkan.
“Aku tidak
sebodoh itu. Aku tahu apa artinya ketika menerima ajakanmu ke kamar
ini.”
“Dan kau tidak
menolakku. Kenapa?”
“Rambut putih,
mata merah. Kaulah alasanku datang kemari, ingat?” Aku mengepalkan
tangan sementara pandangan mataku menghindarinya. “Aku hanya tidak
memperhitungkan kalau aku akan betul-betul tertarik padamu,”
tambahku pahit.
Pengakuanku
pastinya mengejutkan pemuda itu, karena kulihat garis wajahnya
tiba-tiba melembut. Sepasang rubi itu tidak lagi berbisa. Dia
menurunkan lengannya dan menegakkan tubuh. “Lalu apa yang akan kau
lakukan sekarang?”
Apa ini hanya
imajinasiku? Sama sekali tidak ada rasa permusuhan di suaranya. Murni
pertanyaan, mengharap jawaban. Dadaku terasa sesak oleh haru,
membuatku tidak bisa berpikir apalagi bicara. Apa yang akan
kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Kalau mengikuti insting,
saat ini juga aku akan menghambur ke pelukannya dan menciumi
bibirnya. Tapi rasio melarang tubuhku untuk melakukannya.
“Entahlah,”
ucapku parau. Aku memiringkan kepala sambil tersenyum selebar yang
kubisa. “Aku sungguh-sungguh tidak tahu.”
Pemuda itu membalas
senyumku. Dia berdiri dan melangkah kecil-kecil ke arahku. “Bagaimana
dengan balas dendammu?”
“Percuma,” aku
menghela napas, karena aku tahu itu jujur. “Aku tidak bisa.”
Bahkan dengan segala persiapan yang kulakukan, dan semua rencana yang
dipersiapkan, tidak ada yang benar-benar bisa kurealisasikan.
“Bagaimana
denganku?”
Aku terdiam.
Mengamati sosoknya yang berdiri tegak di hadapanku. Melihat dalam
bisu ketika tangannya yang besar melingkupi kepalan tanganku dan
meremasnya sedikit.
“Malam ini
biarkan aku pergi,” usulku. Dia menggerakkan bola matanya untuk
menatap tepat di manik perakku. Ah, betapa pemuda itu bisa
Seharusnya itu
adalah solusi terbaik, bukan? Tapi aku merasa hampa ketika
mengatakannya. Aku tidak mau melupakan permainan kami di pesta tadi.
Juga dansa yang begitu intim, mendebarkan, dibumbui kalimat-kalimat
misterius. Pengalaman pertama yang tidak pantas untuk dibuang begitu
saja. Meskipun dengan seorang musuh.
Musuh? Benarkan dia
musuh? Aku tidak ingin percaya, karena perlakuannya saat ini
jelas bukan sebagai seorang musuh.
“...baiklah,”
jawab pemuda itu. Persetujuannya yang begitu mudah mau tak mau
membuat perasaanku campur aduk. Lega namun heran, curiga, bahkan
kecewa. Sebagian hatiku ingin agar dia menolak usulku, hanya agar aku
tahu bahwa dia pun menganggap pertemuan kami ini sama berharganya
seperti anggapanku.
“Baguslah.” Aku
mencoba menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa melupakannya
adalah perkara mudah. Aku memaksakan bibirku untuk terus tersenyum
tanpa terlihat menyedihkan. “Terima kasih,” bisikku untuk
terakhir kalinya, sementara aku berusaha menarik tanganku dari
genggamannya.
Namun dia tidak
mengabulkan keinginanku yang satu itu. Kedua tangannya tidak
bergerak, mengunci lenganku bahkan setelah aku meronta. “Apa-apaan
kau?”
“Malam ini kau
boleh pergi,” bisiknya tepat di telingaku. Nada suaranya rendah,
mengundang, membuat hatiku bergetar. Genggaman tangannya sesaat makin
erat, namun tetap terasa lembut. Sesuatu memberitahuku bahwa ada
pesan khusus yang ingin dia sampaikan melalui tindakannya tersebut.
Sesuatu yang tak bisa kudeskripsikan, hanya ada begitu saja.
Terdengar seperti insting yang membawaku masuk lebih jauh dalam
permainan bodoh ini.
“Tapi?” aku
menantangnya meneruskan.
“Tapi biar
kuperingatkan kau,” dia menyeringai, “aku pasti akan datang
menemuimu. Lagi, lagi, dan lagi. Di waktu kau tidak memperkirakannya,
aku akan datang. Tunggu saja.”
Aku mengerjapkan
mata. Benarkah dia bilang begitu? Ancaman yang bagiku jauh lebih
seperti janji untuk bertemu kembali. Mungkin aku yang naif, tapi
pancaran matanya meyakinkanku—pemahamanku benar.
Pipiku memerah.
“Kau masih ingin merusakku?” aku tetap bertanya meski jawabannya
sudah jelas.
“Merusakmu tanpa
kau sadar.” Akhirnya dia melepaskan genggaman tangannya, dan kedua
tanganku langsung jatuh lemas di kedua sisi tubuh.
Kuberanikan diri
untuk bertanya, “kenapa?”
Pemuda itu tidak
segera menjawab. Dia meninggalkan sosokku dan menuju ke pintu.
Gerakannya saat membuka kuncinya terlihat dibuat-buat, seakan memang
diperlambat sementara dia menyiapkan jawaban untuk pertanyaanku.
Bersamaan dengan
suara klik bukti kunci sudah dibuka, pemuda itu menoleh.
Wajahnya lembut, misterius, penuh pesan tersembunyi; ekspresi yang
sama ketika kami masih di lantai bawah, berputar-putar dalam
permainan tanpa kata.
“Karena aku ingin
merusakmu.” Kata-katanya begitu kontras dengan sorot matanya,
membuatku bertanya-tanya apakah ini jawaban konotatif atau denotatif.
“Aku ingin melakukannya denganmu, dengan perlahan tapi pasti,
sampai-sampai kau tidak menganggapnya sebagai siksaan. Aku ingin
meracunimu, hingga kau bersedia menyerahkan hartamu yang paling
berharga.”
Kalimat yang
diucapkan dengan kalem itu mempunyai efek sangat besar pada tubuhku.
Aku langsung merasa panas, tak bisa bernapas normal. Itu adalah janji
terindah yang pernah dilontarkan seorang lelaki padaku. Aku bahkan
tidak peduli kalau pemuda itu adalah musuh, orang yang berusaha
menghancurkan keluargaku, orang yang membuat ayahku frustasi sampai
meninggal. Semua janji yang dia katakan, aku ingin menyetujuinya
begitu saja. Aku benar-benar sudah jatuh cinta pada pemuda itu.
“Itu tidak
menjawab pertanyaanku,” kubilang, sementara aku berjalan
melewatinya keluar ruangan. Walau maksud pemuda itu sudah sangat
kupahami, tapi aku menantangnya untuk mengatakannya secara gamblang.
Tampaknya pemuda
itu pun mengerti keinginanku. Tepat ketika aku akan berbelok ke
lorong utama, dia setengah berseru padaku, “kau satu-satunya
perempuan yang mampu mencuri perhatianku.”
Aku berhenti
sebentar, melemparkan senyum senang, sebelum menghilang dari
pandangannya.
Sepertinya aku
tidak perlu menunggu lama sampai dia datang dan menepati ancamannya.
A/N: Heya! Ada satu cerita baru. Kali ini multichapter. Project yang sudah dimulai sejak awal tahun. Awalnya hanya niat bikin oneshot tanpa penjelasan yang jelas atas percakapan mereka. Eeh kepengen bikin sekuel karena saya nggak tahan kalau berakhir cliffhanger begitu. Dan akhirnya, plot tercipta untuk beberapa chapter. Tinggal realisasinya nih, entah bisa entah tidak.
Untuk sedikit keterangan... Di cerita ini ada dua tokoh utama. Nama mereka akan jarang dipakai, karena entah kenapa bagi saya nama itu merusak keindahan cerita (ceilah). Di chapter pertama, nama memang belum disebutkan. Nanti di chapter kedua, mereka berdua akan saling mengenalkan diri. So stay tune.
Thanks for reading, comments please?
-to be continued-
A/N: Heya! Ada satu cerita baru. Kali ini multichapter. Project yang sudah dimulai sejak awal tahun. Awalnya hanya niat bikin oneshot tanpa penjelasan yang jelas atas percakapan mereka. Eeh kepengen bikin sekuel karena saya nggak tahan kalau berakhir cliffhanger begitu. Dan akhirnya, plot tercipta untuk beberapa chapter. Tinggal realisasinya nih, entah bisa entah tidak.
Untuk sedikit keterangan... Di cerita ini ada dua tokoh utama. Nama mereka akan jarang dipakai, karena entah kenapa bagi saya nama itu merusak keindahan cerita (ceilah). Di chapter pertama, nama memang belum disebutkan. Nanti di chapter kedua, mereka berdua akan saling mengenalkan diri. So stay tune.
Thanks for reading, comments please?
No comments:
Post a Comment