Wednesday, May 1, 2013

Back to Heaven's Light (Indonesian version)

Back to Heaven's Light
taken from Rectoverso
(c) Dee

this Indonesian version is translated by Vianna Orchidia
not profesionally translated, not proofread, possible mistakes here and there
please enjoy


-story start-

Ruangan ini masih kurang terang. Pasti ada seseorang yang bermain-main dengan lampunya.

“Bisa lebih terang sedikit? Ini terlalu gelap,” aku memanggil seorang lelaki berseragam. Beberapa orang dengan seragam yang sama tengah sibuk mendekor di sana-sini, mengatur bunga dan kursi berlapis kain satin. Aku memandang ke sekeliling. Tiba-tiba saja, tempat ini terasa lebih seperti tempat upacara pernikahan. Bukan seperti itu yang aku inginkan.

Lelaki itu mengecek tombol lampu, lalu mengedikkan bahu. “Ini sudah maksimum. Tidak bisa lebih terang lagi, kecuali Anda mau menyewa lampu ekstra.

“Baiklah. Tidak usah.” Aku melihat sekeliling lagi. Apakah ruangan ini memang sangat remang-remang ataukah interior benakku yang sudah menggelap? Semua warna tampak tumpul, cerahnya mereka entah bagaimana sudah berkurang. Aku mengamati tiap gerakan yang ada di tempat ini. Orang-orang yang bekerja, keluarga yang berduka, tamu-tamu yang pertama datang, jarum jam yang berdetak. Aku mencoba untuk mendeteksi sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang beda dari dunia ini. Tidak ada. Dunia masih sama dan waktu masih bergerak dengan kecepatan yang sama. Hidup itu seperti lautan. Ia menelan segalanya dengan cara yang sama, dari serpihan kecil sampai benda raksasa macam Titanic, lalu kembali datar dalam hitungan detik, tanpa meninggalkan bukti atas kerakusannya yang tak biasa.

Kesadaran itu tiba-tiba membuatku ingin berteriak. Cepat-cepat aku meraih segelas air. Aku butuh sesuatu untuk memaksa teriakan itu masuk lagi dalam tubuhku. Jika ada satu hal yang sudah diajarkan hidup padaku, maka inilah dia. Untuk hari ini paling tidak, aku akan menelan semuanya seperti lautan.

Dalam setengah jam, ruangan ini sudah terisi orang-orang berbaju hitam. Keberadaan mereka perlahan menutupi refleksi yang bercahaya dari kursi-kursi satin putih. Aku memandang sekeliling. Tempat ini sudah jadi lebih seperti yang seharusnya, meskipun aku masih berharap cahayanya bisa sedikit lebih terang.

Sementara para tamu sudah berkumpul, suara piano akustik yang berkilau memenuhi udara. “Funeral March”. Aku ingin tahu lagu apa selanjutnya. Tidak banyak lagu untuk pemakaman. Sebentar lagi, pianis malang itu mungkin tidak punya pilihan selain memainkan lagu dengan sedih. Membuat ekspresi sedih, bergerak dengan gestur sedih, dan memainkan pedal piano sedemikian rupa sehingga “The Swan” bisa memberi gambaran selain kencan romantis di pinggir danau.

Kemudian dimulailah. Saat yang sudah ditunggu semua orang. Potongan puzzle terakhir yang sudah menghantui kami selama berhari-hari. Dengan langkah anggun yang memang sudah jadi ciri khasnya, ia berjalan di sepanjang lorong. Semua bisik-bisik berhenti. Yang ada hanya alunan Chopin dan suara hak sepatunya di lantai granit.

Ia menghadapi kami semua dengan senyum yang indah. Senyum yang hanya mungkin dimiliki seorang ibu yang menggendong bayinya yang baru lahir untuk pertama kalinya. Senyum yang memesona kami dan membuat kami gemetar.

Aku penasaran apakah ia sudah mengetahui rahasia lautan lama sebelum aku. Ia pastilah sekaliber Samudera Pasifik. Begitu dalam dan luas, ia tak meninggalkan jejak apapun di permukaannya.

Aku ingat langkahnya yang terhuyung dan air matanya ketika ia memasuki ruangan rumah sakit tempat suaminya terbaring di tempat tidur menjelang ajalnya. Itu terlalu tiba-tiba. Tak ada yang siap. Lelaki itu berada di sana bukan karena penyakit lama yang kronis, tapi karena suatu malam, kecelakaan merenggutnya dari tempat tidurnya ke tempat tidur rumah sakit. Seperti petir yang menyambar lalu hilang dalam sekejap, hidup kami diputar balik dalam hitungan detik.

Saat ia melihat suaminya terbaring dalam napas penghabisannya, ia meminta, dengan suara lirih, agar semua orang membiarkan mereka berdua. Aku tak terkecuali. Tahu apa yang sudah terjadi pada mereka, kami tak punya hak untuk menolak. Ia butuh menjadi orang yang mendampinginya di saat terakhirnya. Tak seorangpun di dunia ini yang akan memungkiri hak istimewa miliknya itu.

Ia menghabiskan lima belas menit di kamar itu. Kami tidak menyangka lelaki itu akan bertahan sekian lama. Tapi ada satu hal yang tidak akan mungkin kami antisipasi. Satu adegan yang menghantui kami bahkan sampai saat ini.

Aku ingat bagaimana pintu ruangan itu dibuka dengan begitu lembut, seakan-akan wanita itu tidak ingin membangunkan seseorang. Air matanya sudah hilang, meski ujung hidungnya masih merah dan pipinya masih sedikit basah. Ia menatap kami semua, dengan punggung tegak dan tangan disatukan, lalu berkata dengan tenang dan tegas: “Dia sudah pulang.”

Awalnya kami tidak paham, sampai dokter dan para perawat menyerbu masuk ke dalam ruangan dan mengumumkan waktu kematiannya beberapa menit kemudian.

Selama berhari-hari, kami hanya bisa mendengar ratapan dan tangisan. Pertanyaan tiada akhir. Kenapa harus sekarang? Kenapa harus dia? Kenapa, Tuhan? Dan tidak ada jawaban.

Jasadnya dibiarkan hingga sebelum kremasi agar semua orang sempat menunjukkan belasungkawa. Hanya itu yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk mengimbangi pedihnya pertanyaan tak terjawab. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu sejak awal memang bersifat retorikal, tapi tetap saja kami merasa harus mengutarakannya.

Namun, ada satu pertanyaan yang tidak terlalu retoris. Tak seorang pun dari kami yang berani menanyakannya, meski kami mati-matian menginginkan jawaban.

Aku ingat bagaimana ia menghadapi kerabat, teman dan orang-orang yang mengunjunginya. Satu demi satu, mereka membebaninya dengan lebih banyak lagi memori menyedihkan, dengan lebih banyak lagi ratapan—beberapa orang tidak bisa dikendalikan. Yang lainnya pingsan. Ia berdiri di sana dengan simpati, tapi tetap tak terpengaruh dengan duka yang mereka tunjukkan. Mereka semua berkata padanya bahwa semua akan baik-baik saja, tapi jelas ialah yang tampak baik-baik saja sementara mereka tidak. Di tengah semua tragedi dan drama, ia berdiri menonjol seperti bunga teratai di kolam lumpur. Kakinya tertancap kuat di tanah, namun kelopaknya tetap bersih dan tak tersentuh sekelilingnya yang suram dan licin.

Sudah tak terhitung berapa banyak orang yang memberinya saran yang sama, “Sayang, lepaskan saja. Menangislah. Tidak apa-apa.” Dan ia memberikan jawaban yang selalu sama, “Aku akan berduka nanti.” Tapi hari demi hari berlalu dan dia tetap belum berduka. Setidaknya bukan dengan cara yang mereka harapkan. Sebaliknya malah, makin hari ia terlihat makin ceria.

Dan di sanalah ia sekarang, tampil memesona dengan gaun abu-abu keperakan. Ia bahkan tidak mau mengenakan baju hitam. Ia memutuskan untuk mengenakan warna yang berada di tengah-tengah kursi satin putih dan tamu berpakaian hitam.

Ia berterima kasih pada kami semua karena sudah hadir, karena sudah menunjukkan dukungan dan cinta pada keluarganya. Ia berterima kasih karena kami sudah berbagi pengalaman dan memori dengan suaminya. Bisa kurasakan semua orang menahan napas, ingin tahu apakah kata-kata atau kalimatnya berikutnya akan membawa lebih dekat pada jawaban. Aku juga begitu.

Setelah lima menit dipenuhi 'terima-kasih', ia berhenti sejenak. Ia menelusuri seisi ruangan, seperti mencari sesuatu, atau seseorang. Dalam hitungan detik, tak salah lagi matanya berhenti padaku. Seperti mangsa yang sudah ditarget, dalam sekejap aku terpaku. Aku hanya bisa merasakan tanah di bawahku tenggelam.

Ia melemparkan senyuman hangat dan aku bahkan tidak bisa menggerakkan otot wajahku. Aku hanya bisa menatap balik dengan penuh ketakutan. Kemudian ia tersenyum pada semua orang. Begitu hangat, halus, namun misterius.

“Ada satu titik sebelum hidup itu sendiri, di mana kita semua memutuskan untuk melupakan semua yang kita tahu. Hal ini penting, agar hidup ini mempunyai arti, agar semua ini masuk akal. Seperti sesama petualang buta, kita semua dibutakan oleh ketidaktahuan kita,” ia berhenti dan menarik napas panjang, “di saat terakhirnya, aku mulai menyadari sesuatu...”

Suaranya semakin kuat, “Hanya dari sudut pandang berpengalaman-lah, pertanyaan tentang benar atau salah bisa hilang. Tak seorangpun yang bisa disalahkan. Tidak ada satu pun yang bisa disalahkan. Bahkan seharusnya tidak perlu ada pertanyaan. Ia punya pilihan, dan aku punya pilihan. Kami bebas untuk menentukan. Aku sudah memaafkannya karena harus pergi, aku sudah memaafkan diriku sendiri karena masih di sini, dan aku sudah memaafkan hidup karena membuat drama tentang hidup dan mati ini.”

Satu orang dari bagian keluarga hampir berdiri untuk menyela, tapi yang lain memberinya isyarat untuk diam. Pertanyaan mereka semua belum terjawab. Semua ingin agar ia meneruskan pidatonya.

Tanpa lelah ia melanjutkan, “Tidak begitu lama setelah kami menikah, suamiku bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia tengah mengarungi lautan yang kelam, sendirian dalam perahunya di malam hari. Kegelapan itu serasa tak berujung. Dan tiba-tiba ia melihat sesuatu. Itu adalah hal terindah yang pernah ia lihat. Ia melihat sebuah cahaya lembut yang datang dari hutan gelap tak terbatas. Ia pun mendayung perahunya menuju cahaya itu. Sampai di situ, ia berhenti bercerita. Ia malah menangis. Lalu aku bertanya padanya, 'Kenapa kamu menangis? Mungkin saja itu cahaya surga,' dan ia berkata, 'kamulah yang aku lihat di cahaya itu.'...”

Setengah dari para tamu mengembuskan napas sekarang. Beberapa mulai menangis, beberapa mengumpulkan kekuatan untuk menahan tangis.

“Aku tidak pernah bisa melupakan momen itu. Dan tak pernah kusangka aku akan mengalami deja-vu saat bersamanya di rumah sakit,” katanya sambil menghela napas panjang, “Ia tidak bisa bicara banyak, dia terlalu lemah. Tapi ia membisikkan sesuatu, 'Aku kembali lagi ke lautan kelam itu. Aku tidak bisa melihat ujungnya, aku tidak bisa melihat awalnya.' Kugenggam tangannya dan aku menangis, kupikir ia hanya bicara omong kosong, toh kesadarannya sudah semakin lemah. Dengan segala daya terakhirnya, hal terakhir yang ia bisikkan padaku adalah, 'Kenapa menangis? Aku akan menemukanmu lagi. Ini hanya permainan.' Saat itu juga aku berhenti menangis. Kurasa aku kehilangan orientasi. Tiba-tiba aku mengingat mimpinya, dan entah bagaimana saat itu ruang rumah sakit itu serasa seperti mimpi. Aku merasa kehilangan garis yang biasanya membatasi antara kenyataan dan mimpi. Meskipun aku tahu ia sudah kehilangan semua tanda vitalnya, aku tidak melihatnya mati. Aku tidak bisa. Ia masih bersama denganku, dan ia bersama kalian semua sekarang. Ia kembali dalam hati kita semua. Dan begitulah kita semua berada dalam satu sama lain, dulu dan sekarang. Jadi, kenapa kalian menangis?”

Seisi ruangan terdiam. Udara seperti tidak bergerak.

“Jika kita pernah memutuskan untuk melupakan, maka kita pun bisa memutuskan untuk ingat. Kita semua memulai perjalanan yang sama. Tapi seperti yang pernah disaksikan suamiku, ini hanyalah ilusi akan suatu perjalanan, karena sesungguhnya tak ada awal dan tak ada akhir. Kita hanya akan saling menemukan lagi, dan berdiam di hati masing-masing. Ini daur yang tidak bisa dihentikan. Malah sebaiknya dinikmati saja. Jadi, semuanya, tolong tersenyumlah.”

Sepertiku, bisa kurasakan semua orang mulai merasa tanah di bawah mereka mulai tenggelam. Pertanyaan yang menghantui itu tidak juga terjawab. Malah sebaliknya, sekarang mereka dihantui semakin banyak pertanyaan. Aku tidak akan terkejut kalau keluarganya akan segera menerima banyak kartu nama untuk psikiater, terapis, atau bahkan paranormal.

Namun ia tetap bermain seperti bunga teratai. Dengan ketenangan yang memancar dari sosoknya, ia melangkah menjauhi mikrofon, tak tergesa-gesa, kembali ke kursinya dan duduk, terlihat seperti Samudera Pasifik. Tak ada jejak di permukaan meskipun ia baru saja menelan seluruh ruangan ini dengan kenyataan yang baru ia bagi.

Suara piano mulai berdenting lagi. “Air” dari Debussy. Tepat yang kami butuhkan dalam atmosfer yang menyesakkan ini.

Aku bertahan di pojokan sampai semua tamu sudah pulang. Aku hanya bisa bertemu dengannya ketika tidak ada orang lain di sekitarku. Selama bertahun-tahun, aku sudah memperjuangkan posisiku dalam hidupnya, dalam hidup suaminya. Dan beberapa hari terakhir ini adalah yang terburuk. Aku tidak tahu harus berada di mana. Betapa aku hidup dalam kebingungan, bersembunyi dalam hidup mereka bagai hantu.

Akhirnya kami mencapai kesepakatan, kami bertiga: ia, suaminya, dan aku. Saat itu malam sebelum kematiannya. Lelaki itu berkata di depan hidungku, bahwa meski ia sangat mencintaiku, aku bukanlah rumah yang ia cari. Lelaki itu juga berkata di depan hidung istrinya, bahwa meski ialah rumah yang ia cari, ia sudah memutuskan untuk meninggalkan kami semua. Dilema telah membawanya pada kenyataan lain, bahwa cinta sejati hanya bisa ditemukan di dalamnya. Setidaknya, itulah menurutnya saat itu. Tapi tak satu pun di antara kami yang bisa mengira bahwa itu juga pesan terakhirnya.

Sekarang wanita itu berdiri di sisi peti mati, dalam gaun abu-abu keperakannya dan ketenangan tak tertandingi. Aku berjuang sekuat tenaga agar tidak terpeleset saat menghampirinya.

“Sebetulnya aku tidak tahu harus bilang apa...” suaraku bergetar, “tapi satu hal yang aku tahu...” Aku mendongak dan melihatnya tepat di manik mata, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. “Ia pun ada dalam hatiku,” ujarku pelan. Hanya satu kalimat pendek. Tapi bisa kurasakan tubuhku langsung ringan dan lepas setelah membagi kenyataan itu dengannya. Mungkin mataku menipuku, tapi aku bersumpah ruangan ini tampak lebih terang.

Ia menatap balik padaku. Inilah kontak mata terpanjang yang pernah kami alami.

“Benar,” ucapnya.

Aku sulit percaya ketika akhirnya kulihat satu tetes air mata menuruni ujung matanya. Satu tetes. Tapi itulah yang kuperlukan untuk merasa diakui—tak peduli betapa menyedihkan atau trivial posisiku ini. Aku hanya perlu untuk tahu bahwa kami bersama-sama.

Ia mengerling pada air mata yang menetes di wajahku, lalu tersenyum, “Jadi, kenapa menangis?”

Aku mengerti sekarang, kenapa lelaki itu harus mengarungi kegelapan yang begitu luas. Semuanya pantas dilakukan.

-fin-

1 comment: