Back to
Heaven's Light
taken from Rectoverso
(c) Dee
this Indonesian version is translated by Vianna Orchidia
not profesionally translated, not proofread, possible mistakes here and there
please enjoy
-story start-
Ruangan ini masih kurang terang. Pasti
ada seseorang yang bermain-main dengan lampunya.
“Bisa lebih terang sedikit? Ini
terlalu gelap,” aku memanggil seorang lelaki berseragam. Beberapa
orang dengan seragam yang sama tengah sibuk mendekor di sana-sini,
mengatur bunga dan kursi berlapis kain satin. Aku memandang ke
sekeliling. Tiba-tiba saja, tempat ini terasa lebih seperti tempat
upacara pernikahan. Bukan seperti itu yang aku inginkan.
Lelaki itu mengecek tombol lampu, lalu
mengedikkan bahu. “Ini sudah maksimum. Tidak bisa lebih terang
lagi, kecuali Anda mau menyewa lampu ekstra.
“Baiklah. Tidak usah.” Aku melihat
sekeliling lagi. Apakah ruangan ini memang sangat remang-remang
ataukah interior benakku yang sudah menggelap? Semua warna tampak
tumpul, cerahnya mereka entah bagaimana sudah berkurang. Aku
mengamati tiap gerakan yang ada di tempat ini. Orang-orang yang
bekerja, keluarga yang berduka, tamu-tamu yang pertama datang, jarum
jam yang berdetak. Aku mencoba untuk mendeteksi sesuatu yang luar
biasa, sesuatu yang beda dari dunia ini. Tidak ada. Dunia masih sama
dan waktu masih bergerak dengan kecepatan yang sama. Hidup itu
seperti lautan. Ia menelan segalanya dengan cara yang sama, dari
serpihan kecil sampai benda raksasa macam Titanic, lalu kembali datar
dalam hitungan detik, tanpa meninggalkan bukti atas kerakusannya yang
tak biasa.
Kesadaran itu tiba-tiba membuatku ingin
berteriak. Cepat-cepat aku meraih segelas air. Aku butuh sesuatu
untuk memaksa teriakan itu masuk lagi dalam tubuhku. Jika ada satu
hal yang sudah diajarkan hidup padaku, maka inilah dia. Untuk hari
ini paling tidak, aku akan menelan semuanya seperti lautan.
Dalam setengah jam, ruangan ini sudah
terisi orang-orang berbaju hitam. Keberadaan mereka perlahan menutupi
refleksi yang bercahaya dari kursi-kursi satin putih. Aku memandang
sekeliling. Tempat ini sudah jadi lebih seperti yang seharusnya,
meskipun aku masih berharap cahayanya bisa sedikit lebih terang.
Sementara para tamu sudah berkumpul,
suara piano akustik yang berkilau memenuhi udara. “Funeral March”.
Aku ingin tahu lagu apa selanjutnya. Tidak banyak lagu untuk
pemakaman. Sebentar lagi, pianis malang itu mungkin tidak punya
pilihan selain memainkan lagu dengan sedih. Membuat ekspresi sedih,
bergerak dengan gestur sedih, dan memainkan pedal piano sedemikian
rupa sehingga “The Swan” bisa memberi gambaran selain kencan
romantis di pinggir danau.
Kemudian dimulailah. Saat yang sudah
ditunggu semua orang. Potongan puzzle terakhir yang sudah menghantui
kami selama berhari-hari. Dengan langkah anggun yang memang sudah
jadi ciri khasnya, ia berjalan di sepanjang lorong. Semua bisik-bisik
berhenti. Yang ada hanya alunan Chopin dan suara hak sepatunya di
lantai granit.
Ia menghadapi kami semua dengan senyum
yang indah. Senyum yang hanya mungkin dimiliki seorang ibu yang
menggendong bayinya yang baru lahir untuk pertama kalinya. Senyum
yang memesona kami dan membuat kami gemetar.
Aku penasaran apakah ia sudah
mengetahui rahasia lautan lama sebelum aku. Ia pastilah sekaliber
Samudera Pasifik. Begitu dalam dan luas, ia tak meninggalkan jejak
apapun di permukaannya.
Aku ingat langkahnya yang terhuyung dan
air matanya ketika ia memasuki ruangan rumah sakit tempat suaminya
terbaring di tempat tidur menjelang ajalnya. Itu terlalu tiba-tiba.
Tak ada yang siap. Lelaki itu berada di sana bukan karena penyakit
lama yang kronis, tapi karena suatu malam, kecelakaan merenggutnya
dari tempat tidurnya ke tempat tidur rumah sakit. Seperti petir yang
menyambar lalu hilang dalam sekejap, hidup kami diputar balik dalam
hitungan detik.
Saat ia melihat suaminya terbaring
dalam napas penghabisannya, ia meminta, dengan suara lirih, agar
semua orang membiarkan mereka berdua. Aku tak terkecuali. Tahu apa
yang sudah terjadi pada mereka, kami tak punya hak untuk menolak. Ia
butuh menjadi orang yang mendampinginya di saat terakhirnya. Tak
seorangpun di dunia ini yang akan memungkiri hak istimewa miliknya
itu.
Ia menghabiskan lima belas menit di
kamar itu. Kami tidak menyangka lelaki itu akan bertahan sekian lama.
Tapi ada satu hal yang tidak akan mungkin kami antisipasi. Satu
adegan yang menghantui kami bahkan sampai saat ini.
Aku ingat bagaimana pintu ruangan itu
dibuka dengan begitu lembut, seakan-akan wanita itu tidak ingin
membangunkan seseorang. Air matanya sudah hilang, meski ujung
hidungnya masih merah dan pipinya masih sedikit basah. Ia menatap
kami semua, dengan punggung tegak dan tangan disatukan, lalu berkata
dengan tenang dan tegas: “Dia sudah pulang.”
Awalnya kami tidak paham, sampai dokter
dan para perawat menyerbu masuk ke dalam ruangan dan mengumumkan
waktu kematiannya beberapa menit kemudian.
Selama berhari-hari, kami hanya bisa
mendengar ratapan dan tangisan. Pertanyaan tiada akhir. Kenapa harus
sekarang? Kenapa harus dia? Kenapa, Tuhan? Dan tidak ada jawaban.
Jasadnya dibiarkan hingga sebelum
kremasi agar semua orang sempat menunjukkan belasungkawa. Hanya itu
yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk mengimbangi pedihnya
pertanyaan tak terjawab. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu sejak awal
memang bersifat retorikal, tapi tetap saja kami merasa harus
mengutarakannya.
Namun, ada satu pertanyaan yang tidak
terlalu retoris. Tak seorang pun dari kami yang berani menanyakannya,
meski kami mati-matian menginginkan jawaban.
Aku ingat bagaimana ia menghadapi
kerabat, teman dan orang-orang yang mengunjunginya. Satu demi satu,
mereka membebaninya dengan lebih banyak lagi memori menyedihkan,
dengan lebih banyak lagi ratapan—beberapa orang tidak bisa
dikendalikan. Yang lainnya pingsan. Ia berdiri di sana dengan
simpati, tapi tetap tak terpengaruh dengan duka yang mereka
tunjukkan. Mereka semua berkata padanya bahwa semua akan baik-baik
saja, tapi jelas ialah yang tampak baik-baik saja sementara mereka
tidak. Di tengah semua tragedi dan drama, ia berdiri menonjol seperti
bunga teratai di kolam lumpur. Kakinya tertancap kuat di tanah, namun
kelopaknya tetap bersih dan tak tersentuh sekelilingnya yang suram
dan licin.
Sudah tak terhitung berapa banyak orang
yang memberinya saran yang sama, “Sayang, lepaskan saja.
Menangislah. Tidak apa-apa.” Dan ia memberikan jawaban yang selalu
sama, “Aku akan berduka nanti.” Tapi hari demi hari berlalu dan
dia tetap belum berduka. Setidaknya bukan dengan cara yang mereka
harapkan. Sebaliknya malah, makin hari ia terlihat makin ceria.
Dan di sanalah ia sekarang, tampil
memesona dengan gaun abu-abu keperakan. Ia bahkan tidak mau
mengenakan baju hitam. Ia memutuskan untuk mengenakan warna yang
berada di tengah-tengah kursi satin putih dan tamu berpakaian hitam.
Ia berterima kasih pada kami semua
karena sudah hadir, karena sudah menunjukkan dukungan dan cinta pada
keluarganya. Ia berterima kasih karena kami sudah berbagi pengalaman
dan memori dengan suaminya. Bisa kurasakan semua orang menahan napas,
ingin tahu apakah kata-kata atau kalimatnya berikutnya akan membawa
lebih dekat pada jawaban. Aku juga begitu.
Setelah lima menit dipenuhi
'terima-kasih', ia berhenti sejenak. Ia menelusuri seisi ruangan,
seperti mencari sesuatu, atau seseorang. Dalam hitungan detik, tak
salah lagi matanya berhenti padaku. Seperti mangsa yang sudah
ditarget, dalam sekejap aku terpaku. Aku hanya bisa merasakan tanah
di bawahku tenggelam.
Ia melemparkan senyuman hangat dan aku
bahkan tidak bisa menggerakkan otot wajahku. Aku hanya bisa menatap
balik dengan penuh ketakutan. Kemudian ia tersenyum pada semua orang.
Begitu hangat, halus, namun misterius.
“Ada satu titik sebelum hidup itu
sendiri, di mana kita semua memutuskan untuk melupakan semua yang
kita tahu. Hal ini penting, agar hidup ini mempunyai arti, agar semua
ini masuk akal. Seperti sesama petualang buta, kita semua dibutakan
oleh ketidaktahuan kita,” ia berhenti dan menarik napas panjang,
“di saat terakhirnya, aku mulai menyadari sesuatu...”
Suaranya semakin kuat, “Hanya dari
sudut pandang berpengalaman-lah, pertanyaan tentang benar atau salah
bisa hilang. Tak seorangpun yang bisa disalahkan. Tidak ada satu pun
yang bisa disalahkan. Bahkan seharusnya tidak perlu ada pertanyaan.
Ia punya pilihan, dan aku punya pilihan. Kami bebas untuk menentukan.
Aku sudah memaafkannya karena harus pergi, aku sudah memaafkan diriku
sendiri karena masih di sini, dan aku sudah memaafkan hidup karena
membuat drama tentang hidup dan mati ini.”
Satu orang dari bagian keluarga hampir
berdiri untuk menyela, tapi yang lain memberinya isyarat untuk diam.
Pertanyaan mereka semua belum terjawab. Semua ingin agar ia
meneruskan pidatonya.
Tanpa lelah ia melanjutkan, “Tidak
begitu lama setelah kami menikah, suamiku bermimpi. Dalam mimpinya
itu, ia tengah mengarungi lautan yang kelam, sendirian dalam
perahunya di malam hari. Kegelapan itu serasa tak berujung. Dan
tiba-tiba ia melihat sesuatu. Itu adalah hal terindah yang pernah ia
lihat. Ia melihat sebuah cahaya lembut yang datang dari hutan gelap
tak terbatas. Ia pun mendayung perahunya menuju cahaya itu. Sampai di
situ, ia berhenti bercerita. Ia malah menangis. Lalu aku bertanya
padanya, 'Kenapa kamu menangis? Mungkin saja itu cahaya surga,' dan
ia berkata, 'kamulah yang aku lihat di cahaya itu.'...”
Setengah dari para tamu mengembuskan
napas sekarang. Beberapa mulai menangis, beberapa mengumpulkan
kekuatan untuk menahan tangis.
“Aku tidak pernah bisa melupakan
momen itu. Dan tak pernah kusangka aku akan mengalami deja-vu saat
bersamanya di rumah sakit,” katanya sambil menghela napas panjang,
“Ia tidak bisa bicara banyak, dia terlalu lemah. Tapi ia
membisikkan sesuatu, 'Aku kembali lagi ke lautan kelam itu. Aku tidak
bisa melihat ujungnya, aku tidak bisa melihat awalnya.' Kugenggam
tangannya dan aku menangis, kupikir ia hanya bicara omong kosong, toh
kesadarannya sudah semakin lemah. Dengan segala daya terakhirnya, hal
terakhir yang ia bisikkan padaku adalah, 'Kenapa menangis? Aku akan
menemukanmu lagi. Ini hanya permainan.' Saat itu juga aku berhenti
menangis. Kurasa aku kehilangan orientasi. Tiba-tiba aku mengingat
mimpinya, dan entah bagaimana saat itu ruang rumah sakit itu serasa
seperti mimpi. Aku merasa kehilangan garis yang biasanya membatasi
antara kenyataan dan mimpi. Meskipun aku tahu ia sudah kehilangan
semua tanda vitalnya, aku tidak melihatnya mati. Aku tidak bisa. Ia
masih bersama denganku, dan ia bersama kalian semua sekarang. Ia
kembali dalam hati kita semua. Dan begitulah kita semua berada dalam
satu sama lain, dulu dan sekarang. Jadi, kenapa kalian menangis?”
Seisi ruangan terdiam. Udara seperti
tidak bergerak.
“Jika kita pernah memutuskan untuk
melupakan, maka kita pun bisa memutuskan untuk ingat. Kita semua
memulai perjalanan yang sama. Tapi seperti yang pernah disaksikan
suamiku, ini hanyalah ilusi akan suatu perjalanan, karena
sesungguhnya tak ada awal dan tak ada akhir. Kita hanya akan saling
menemukan lagi, dan berdiam di hati masing-masing. Ini daur yang
tidak bisa dihentikan. Malah sebaiknya dinikmati saja. Jadi,
semuanya, tolong tersenyumlah.”
Sepertiku, bisa kurasakan semua orang
mulai merasa tanah di bawah mereka mulai tenggelam. Pertanyaan yang
menghantui itu tidak juga terjawab. Malah sebaliknya, sekarang mereka
dihantui semakin banyak pertanyaan. Aku tidak akan terkejut kalau
keluarganya akan segera menerima banyak kartu nama untuk psikiater,
terapis, atau bahkan paranormal.
Namun ia tetap bermain seperti bunga
teratai. Dengan ketenangan yang memancar dari sosoknya, ia melangkah
menjauhi mikrofon, tak tergesa-gesa, kembali ke kursinya dan duduk,
terlihat seperti Samudera Pasifik. Tak ada jejak di permukaan
meskipun ia baru saja menelan seluruh ruangan ini dengan kenyataan
yang baru ia bagi.
Suara piano mulai berdenting lagi.
“Air” dari Debussy. Tepat yang kami butuhkan dalam atmosfer yang
menyesakkan ini.
Aku bertahan di pojokan sampai semua
tamu sudah pulang. Aku hanya bisa bertemu dengannya ketika tidak ada
orang lain di sekitarku. Selama bertahun-tahun, aku sudah
memperjuangkan posisiku dalam hidupnya, dalam hidup suaminya. Dan
beberapa hari terakhir ini adalah yang terburuk. Aku tidak tahu harus
berada di mana. Betapa aku hidup dalam kebingungan, bersembunyi dalam
hidup mereka bagai hantu.
Akhirnya kami mencapai kesepakatan,
kami bertiga: ia, suaminya, dan aku. Saat itu malam sebelum
kematiannya. Lelaki itu berkata di depan hidungku, bahwa meski ia sangat
mencintaiku, aku bukanlah rumah yang ia cari. Lelaki itu juga berkata di
depan hidung istrinya, bahwa meski ialah rumah yang ia cari, ia sudah
memutuskan untuk meninggalkan kami semua. Dilema telah membawanya
pada kenyataan lain, bahwa cinta sejati hanya bisa ditemukan di
dalamnya. Setidaknya, itulah menurutnya saat itu. Tapi tak satu pun
di antara kami yang bisa mengira bahwa itu juga pesan terakhirnya.
Sekarang wanita itu berdiri di sisi peti mati,
dalam gaun abu-abu keperakannya dan ketenangan tak tertandingi. Aku
berjuang sekuat tenaga agar tidak terpeleset saat menghampirinya.
“Sebetulnya aku tidak tahu harus
bilang apa...” suaraku bergetar, “tapi satu hal yang aku tahu...”
Aku mendongak dan melihatnya tepat di manik mata, untuk pertama
kalinya setelah bertahun-tahun. “Ia pun ada dalam hatiku,” ujarku
pelan. Hanya satu kalimat pendek. Tapi bisa kurasakan tubuhku
langsung ringan dan lepas setelah membagi kenyataan itu dengannya.
Mungkin mataku menipuku, tapi aku bersumpah ruangan ini tampak lebih
terang.
Ia menatap balik padaku. Inilah kontak
mata terpanjang yang pernah kami alami.
“Benar,” ucapnya.
Aku sulit percaya ketika akhirnya
kulihat satu tetes air mata menuruni ujung matanya. Satu tetes. Tapi
itulah yang kuperlukan untuk merasa diakui—tak peduli betapa
menyedihkan atau trivial posisiku ini. Aku hanya perlu untuk tahu
bahwa kami bersama-sama.
Ia mengerling pada air mata yang
menetes di wajahku, lalu tersenyum, “Jadi, kenapa menangis?”
Aku mengerti sekarang, kenapa lelaki
itu harus mengarungi kegelapan yang begitu luas. Semuanya pantas
dilakukan.
-fin-
please, really. kamu keren dear.
ReplyDeletebisa minta kontak?