Saturday, May 4, 2013

Grow A Day Older (Indonesian version)

Grow A Day Older
taken from Rectoverso
(c) Dee

this Indonesian version is translated by Vianna Orchidia
not profesionally translated, not proofread, possible mistakes here and there
please enjoy


-story start-

“Seharusnya kita lakukan saja semalam.”

Lelaki itu meneleponku lagi hanya untuk mengatakan hal itu. Tadi dia sudah menelepon, bilang bahwa dia sedang keluar untuk makan siang.

Aku tidak bisa menahan senyumku. “Kenapa?”

“Nggak sepadan dengan rasa sakit dan kaku ini. Ampun, tanganku sakit banget.”

Kami berdua tertawa dan menutup telepon setelah saling mengucapkan kata-kata manis, seperti “jaga diri” atau “santai saja, sayang” atau “semoga harimu baik”. Ini bukan gayaku, tapi tanpa disadari dia sudah mengajariku hal ini hanya dengan menjadi dirinya sendiri—pemuda yang memang sopan dan penuh pertimbangan. Perilakunya yang bak pangeran menawan telah menulariku. Masih ada sisi pahit yang kami bagi dari waktu ke waktu, dan itulah yang paling kusukai dari hubungan kami. Bagiku, potongan cokelat terbaik haruslah manis dan pahit, tidak sepenuhnya manis, dan jelas tidak sepenuhnya pahit, karena kalau begitu jadi tidak seru. Kami ini seperti dark chocolate yang bisa dimakan empat potong sekaligus tanpa menjadi gelisah.

Kami menghabiskan sepuluh jam kemarin, bercengkerama dan berpelukan, dan aku masih ingin lebih. Rasanya aneh melihatnya berjalan keluar pintu itu. Seharusnya dia tidak pergi. Seharusnya bahkan tidak ada pintu apapun. Mungkin cukup jendela ukuran sedang agar ada sirkulasi udara, jangan terlalu besar, karena kamu pastinya tidak mau kehangatan setelah berjam-jam berpelukan erat meninggalkan ruangan ini sepenuhnya. Sebelum ini, aku tidak pernah tahu kalau pelukan erat bisa menjadi aktivitas yang menggairahkan. Semua damba dan nafsu menyatu dalam satu saluran. Udara lembab dan otot kaku adalah hasil yang kaudapat setelahnya. Hasil sama, cara beda.

Aku mematikan ponselku dengan kehati-hatian yang sama seperti kalau aku melipat selendang sutra terbaikku. Segala hal tentang lelaki itu harus dilakukan dengan kewaspadaan ekstra. Keberadaannya telah mengubahku jadi boneka porselen—rapuh, mudah rusak, terlalu rewel untuk dibawa-bawa. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu bahwa telepon selama 10 detik bisa menghabiskan demikian besar tenaga. Lelaki itu muncul di langit malamku seperti kurcaci putih, sebuah bintang yang sinarnya lemah namun begitu pekat sehingga membuatku tersedot masuk ke lubang hitam di mana tubuh normalku akan terburai atau terpipihkan. Dalam orbitnya, aku bukan apa-apa melainkan mi gepeng. Susah sekali untuk bernapas. Susah sekali untuk kabur. Dan aku tak tahu berapa lama lagi bisa bertahan.

Tadi dia bicara tentang pergi ke Candi Borobudur saat ulang tahunnya. Bisa langsung kubayangkan dia bermeditasi di balik salah satu stupa, anggun dengan bola oranye perlahan terbit di belakang punggungnya. Aku ingin bisa berada di sana, tapi aku tahu tidak seharusnya aku melakukannya. Aku pernah melihatnya melakukan posisi setengah-bunga-teratai saat dia mencoba beberapa CD pengembangan gelombang otak di toko meditasi favorit kami. Adegan yang kulihat lewat ujung mata itu hampir mengubahku begitu saja jadi pemeluk agama Buddha yang saleh. Kalau aku sampai melihatnya dalam posisi yang sama di candi terbesar, paling sakral di negeri ini, pastilah napasku akan tercekat dan aku pun berubah jadi batu. Bukan patung Buddha, tentu saja. Cuma batu yang tidak bergerak, tidak bercahaya yang kusebut diriku.

Di pangkuanku tergeletak sebuah kotak ringan dengan pita emas di atasnya. Di dalamnya, ada kaset, kartu ucapan, dan surat tulisan tangan, disusun rapi bertumpuk-tumpuk. Siapa sih yang masih menggunakan kaset di zaman sekarang? Seminggu ini berat dalam masa digital ini, jadi kuputuskan untuk tidak mengacuhkannya. Menghabiskan sepuluh jam yang seperti sihir bersama orang yang sungguh-sungguh kucintai, menyadari bahwa hubungan kami tidak akan pernah berhasil, dan ulang tahunnya tinggal dua hari lagi. Ini adalah kombinasi gila-gilaan antara tenggelam dan ingin keluar, antara mati dan berusaha hidup. Aku cukup beruntung masih bisa berfungsi normal hari ini.

Awalnya aku berencana untuk memberinya guling sebagai hadiah ulang tahun, semacam usaha simbolis nekat untuk menunjukkan keintiman. Tapi semalam aku terbangun dengan sebuah melodi terngiang, dan beberapa saat kemudian aku malah menuliskan sebuah lagu ulang tahun, dinyanyikan dengan penuh perasaan kepada perekam kaset tua yang kuletakkan di atas pianoku. Cara yang lebih berseni untuk menunjukkan kenekatanku, pastinya. Untuk sekali ini, aku ingin jujur tentang siapa aku sesungguhnya. Baginya, mungkin aku adalah si jenius yang kreatif, seorang yang antusias tentang masalah spiritual yang bisa diajak berdiskusi tentang ilusi diri selama berjam-jam. Baginya, mungkin aku adalah ramuan unik dari lelucon ngawur dan teori kuantum rumit. Baginya, mungkin aku adalah seorang teman yang sempurna. Tapi jauh di dalam hati, aku hanya jatuh cinta.

“Kadang menjadi temanmu itu sulit,” dia berbisik padaku semalam. Bibirnya hanya beberapa inci dari bibirku. Aku melihat butiran-butiran keringat di batas rambutnya dan bisa saja aku menghitungnya kalau mau. Kami begitu dekat sampai-sampai aku merasa pening. Cinta benar-benar membutakan dalam jarak tertentu. Lebih baik menutup mata saja dan bergabung dengan kegelapan.

Pulanglah, kembalilah ke kehidupanmu yang damai, ke pacarmu yang cantik. Kalian berdua pasti tampak serasi di foto perkawinan. Pacarku yang tampan akan datang sebentar lagi. Kami tampak serasi di foto pre-wedding yang baru kami buat. Tidak. Jangan pergi. Inilah tempatmu seharusnya, dalam percakapan manis yang bukan tentang apa-apa, di sofa tiga-tempat-duduk yang begitu pas dengan tubuh kita ini. Dan aku pun menyadari betapa aku terus-menerus berganti pikiran. Aku ingin berhenti. Aku ingin memutuskan. Tapi seorang ahli filosofi bodoh terus menyuruhku untuk mengikuti arus, untuk mengalir bersama sungai kehidupan. Arus apanya? Ini bukan arus. Ini cuma ayunan terprediksi yang bergerak maju-mundur tanpa ke mana-mana. Seharusnya kami tahu. Mungkin kami tahu, tapi berpura-pura tidak tahu karena potongan cokelat ini terlalu nikmat untuk dilepaskan. Dan kami menutupinya dengan konsep nyeleneh lain seperti “poliamor” atau kebebasan mencintai atau apalah. Aku baca itu semua, kau tahu. Tapi pada akhirnya, aku tahu aku ini hanya si bodoh sedang jatuh cinta yang mencoba mencari sedikit makna dalam dunia yang gila ini.

“Kita jadi tetangga saja. Susah nyari tanah kecil di Bali. Lebih gampang kalau kita bareng.” Ujarku padanya sehari setelah menemukan bahwa kami sama-sama kecanduan akan Ubud.

“Aku kenal kamu baru tiga bulan. Setidaknya butuh tiga bulan lagi untuk yakin bahwa aku cukup aman untuk tinggal di sebelahmu,” katanya sambil terkekeh.

“Hei, kamu bisa membangun pagar beton setebal dua meter kalau mau. Aku nggak peduli. Aku cuma mau beli tanah di sana,” jawabku cepat, tidak ingin terlihat terlalu terburu-buru ingin dekat dengannya. Memang sejak awal itu ide yang payah, aku paham sekarang kalau pagar setinggi gedung pencakar langit pun tidak akan berguna. Yang kubutuhkan adalah segaris percaya sebagai pembatas nyata antara kami berdua. Serangan amnesia, mungkin.

Aku berencana untuk menaruh kotak ini di meja resepsionis dan segera pergi sebelum dia kembali dari makan siang. Aku benci melihatnya sebentar. Itu tidak sepadan dengan sensasi menusuk di dadaku, sakit lambung, dan pandangan kosong yang lama setelahnya. Aku melihat keluar kaca mobil, berharap kemacetan lalu lintas bisa menahanku di sini beberapa lama. Tempat kerjanya tinggal dua blok lagi.

Berdiam di mobil ini seperti jalan-jalan terakhir di sepanjang pantai sebelum dikirim dalam perang hebat di laut. Kuharap jalan-jalan ini tidak pernah usai. Aku tahu aku pasti mati di laut yang luas. Aku tidak ingin mati. Terayun lagi, berubah pikiran lagi. Tiba-tiba aku merasa mual. Ayolah, prajurit, jangan jadi pengecut, tinggalkan pantai ini dan tunjukkan kemampuanmu. Aku memarahi diriku sendiri.

Ini adalah cara yang panjang, panjang sekali untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak boleh ragu sekarang. Semuanya sudah siap dan tersinkronisasi. Bisa kurasakan. Dunia ini sedang merangkai adegan perpisahan dan hasilnya akan brilian. Ada ulang tahunnya, Borobudur saat matahari terbit, dan sebuah lagu. Rekaman payah dengan media yang kuno hanya akan menambahkan rasa vintage yang pasti bisa melelehkan hatinya yang sensitif, dan mungkin membuatnya berkaca-kaca. Itu akan menjadi klimaksnya. Perpisahan dengan integritas dan berkelas.

Surat yang kutulis pendek dan tanpa omong kosong puitis. Lebih ke arah pernyataan sebenarnya, bahwa ternyata aku bukanlah orang yang menganut poliamor. Memang hebat bermeditasi dengan para santa penyayang yang hatinya mampu menampung segala kasih di dunia. Tapi aku hanya bisa membawa satu hubungan romantis dalam hatiku yang klaustrofobia ini. Dan sekali aku menancapkan jangkar hatiku, aku akan menuju tempat tanpa jalan kembali. Hasilnya tidak akan bagus. Hatiku tidak cukup lapang untuk menampung kita berdua, apalagi ditambah pasangan kita masing-masing saat ini. Kalau kau mencintai seseorang, kau harus menerima segala tentangnya kan? Cintai dia apa adanya. Aku baca itu, entah di mana. Aku ingin bilang aku tidak setuju, tapi hal itu terdengar bijak dan benar. Aku tidak bisa mencintai lelaki itu apa adanya. Hubungan dengan banyak orang terlibat bukanlah keahlianku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melakukannya. Pendeknya, apa yang kutulis adalah: hubungan kita selama ini hanya gurauan gila, ha-ha, lucu banget, dan bisa aku pergi sekarang?

Sementara itu, lagunya, adalah melodi termanis yang pernah kubuat. Ia datang padaku dalam momen langka penuh rasa terima kasih dan kepuasan, yang dalam kasusku hanyalah suatu kilasan selama sepersekian detik. Aku berhasil menganyam kesadaran rendahku menjadi lagu C-F-G sepanjang tiga setengah menit. Susunan kord yang simpel tapi efektif. Demikianlah yang aku inginkan dari langkahku selanjutnya. Menapakkan kaki di lobi gedung, menitipkan kunci mobilku di konter valet dan mengarah langsung ke meja resepsionis. Aku tidak bisa direpotkan dengan rumitnya memarkir mobil. Timing itu segalanya. Tinggalkan kotaknya dan pergi. Lukai hatinya dan terbang jauh.

Sedikit aliran udara beraroma melati menerpa kulitku saat aku berjalan memasuki ruang tunggu kantornya. Aku memang selalu menyenangi gedung ini, lama sebelum aku tahu kalau dia menyewa tempat di sini. Gedung ini hanya setinggi empat lantai dan dikelilingi taman tropis yang dipangkas cermat. Kamboja segar mengambang di mangkuk kaca berisi air di tiap pojokan, dan di setiap belokan, kuncup melati beku terletak rapi di atas daun pandan yang disusun dalam nampan kayu besar. Kantor macam apa yang mau susah-susah begitu? Pemiliknya pasti romantis gila-gilaan, mungkin lebih buruk dariku. Dia pasti sedang dalam semacam misi untuk mengingatkan semua orang agar berhenti lalu mengendus bebungaan itu, untuk mengingatkan mereka bahwa waktu mungkin bukanlah segalanya. Cahaya lembut yang menenangkan dan suasana Zen pastilah didesain untuk meredam benak kami yang kacau, untuk menghentikan—bahkan jika hanya sesaat—langkah cepat kami menuju kuburan kami.

Tepat di depan cermin persegi raksasa di atas meja resepsionis, kakiku tiba-tiba berhenti dan aku memandang kosong pada refleksi di balik punggungku. Aku pun tersadar, betapa tempat ini dan segala konsep di dalamnya telah sukses memangsaku. Di sinilah aku, terburu-buru menyelesaikan misi kerjakan-lalu-pergi, dan pada akhirnya berdiri di tepi jurang malu. Sayangnya, aku belum diperbolehkan melompat. Waktu berhenti.

“Hei! Ngapain kamu di sini?” Lelaki itu tidak bisa memercayai penglihatannya.

“Bukannya kamu keluar makan siang?” Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan. Dan, sialan, aku benar-benar penasaran.

“Iya sih, tapi ada satu klien yang terbang jauh-jauh dari Jogja dan harus pulang siang ini, jadi aku cepat-cepat kembali ke sini begitu dapat telepon darinya. Tapi, serius nih, ngapain kamu di sini?”

Aku berdiri di sana, meraih kotak mewah berhiaskan pita berkilap di atasnya, terlalu besar dan terlalu berkilau untuk bisa ditutupi sepenuhnya oleh telapak tanganku yang kini berkeringat. “Aku mau ngasih kamu... ini!”

“Kado? Untukku? Wah, makasih. Ulang tahunku masih dua hari lagi, kau tahu.”

Ya, aku tahu. Rencananya aku tidak mau melihatmu besok dan besoknya dan besoknya lagi, dan seterusnya. Itulah kenapa. Aku hanya punya hari ini.

“Bagaimana kalau ke ruanganku di atas dulu? Masih ada sepuluh menit sebelum klienku datang.”

Aku terperangah tapi berhasil menggerakkan tubuhku dengan elegan menuju lift, seakan-akan aku nyaman dengan masa depan yang menungguku. Rencana sudah gagal. Aku tidak siap untuk percakapan selama sepuluh menit. Itu tidak sepadan dengan pergolakan emosi ini, meskipun aku mendapat dukungan terapik dari udara yang wangi dan pencahayaan yang pas, meskipun ada dia yang menawan dalam kaos lengan panjang dan celana jins hitam yang kasual. Dia tidak pernah berdandan untuk kerja. Dan itulah yang membuatnya beda dari kerumunan orang-orang berdasi dan berjas. Dia lebih suka berpakaian kasual sehingga kliennya merasa nyaman duduk di sofa, mengoceh soal pergelutan hidup mereka.

Ada dua sofa di dalam ruangan kerjanya. Yang kecil itu untuknya, dan yang besar untuk pasien. Kami duduk bersama di sofa yang besar, sama-sama sadar sepenuhnya akan prinsip bersama tentang menyembuhkan satu sama lain tanpa memerhatikan kedudukan. “Kamu adalah penyembuhnya penyembuh,” pernah dia berkata padaku.

“Lagi-lagi kebetulan yang menyenangkan,” katanya, kemudian menghela napas panjang, “Baru tadi pagi, aku memikirkan betapa aku bersyukur karena punya kamu dalam hidupku. Dan tiba-tiba kamu di sini.”

“Aku di sini.” Aku tersenyum malu.

“Ini kejutan yang menyenangkan, kamu mampir dan... ini. Boleh kubuka sekarang?” tanyanya, mengelus kotak itu dengan lembut.

“Jangan,” aku menggelengkan kepala dengan tegas, “tapi aku bisa memberitahumu apa isinya. Isinya kaset. Aku menulis sebuah lagu untukmu semalam. Aku mau kamu mendengarnya saat berada di Borobudur.”

Dia terkesiap. “Lagu? Wow. Tidak pernah ada yang membuatkanku lagu sebelumnya.”

“Aku juga tidak akan pura-pura bersahaja... Lagu itu benar-benar indah. Kalau aku jadi penyanyi profesional, lagu itu akan kujadikan single pertama. Pasti laku. Aku yakin.”

Dia menengadahkan kepala, tertawa.

“Aku serius. Kamu laki-laki yang beruntung. Jadi, yah, aku berhak mendapatkan pemikiran darimu pagi ini...”

“Aku cinta kamu.”

Aku menahan napas. Satu dorongan lagi dan jangkar itu akan terjatuh. “Yah, aku juga mencintaimu, kamu tahu itu.”

“Kamu kelihatan gugup. Kamu nggak apa-apa?”

Itu pertanyaan yang salah. Kalau dia bertanya: Apa kamu akan meledak? Aku kamu berencana meninggalkanku? Apa itu air mata yang ada di sudut matamu? Aku akan menjawab 'ya' pada semua pertanyaan itu, dan sama sekali tidak apa-apa.

“Ya, aku baik-baik saja,” gumamku.

“Mau kupeluk?” Dia menekuk tubuh seperti seorang ksatria, siap menenangkan sang putri yang kebingungan, yang sudah diselamatkan dari naga oleh ksatria lain dan hidup bahagia sampai orang baru yang bersinar terang ini datang dan mencuri hatinya. Masalahnya adalah, sudah tidak ada naga. Pertarungan itu sudah lewat dan sudah dimenangkan. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah berbagai macam pelukan: pelukan sebagai teman, pelukan sebagai kekasih, pelukan sebagai terapis, pelukan sebagai keluarga.

Lengannya yang panjang menjulur seperti pilar yang menenangkan, menyokong keseluruhan tubuhku dalam pelukannya. Sementara badanku bertumpu dengan nyaman, aku menyelam ke kedalaman hatiku untuk mempertahankan peganganku pada jangkar itu. Kupegang sekuat yang aku bisa. Jangan sampai jatuh, prajurit. Tunjukkan apa kemampuanmu. Aku peringatkan diriku, lagi dan lagi.

Napasnya yang hangat bertahan lembut di telingaku sementara dia bicara, “Di manapun kita selama ini, ke manapun kita akan pergi, aku puas dengan saat ini, mengetahui bahwa satu hari lagi kita bepergian bersama, sebagai... apapun.”

Aku teringat kaset itu. Aku teringat lagu yang kutulis. Momen sekilas yang menyentuh diriku seperti terpaan angin tajam pada air murni. Kesunyian sesaat ketika aku terbebas dari segala cemas, pengharapan, ketakutan. Ketika aku bersyukur atas tiap dongeng dalam hidupku, termasuk keberadaan dirinya dan ketidakadaan sang naga. Ketika aku berserah sepenuhnya pada siapa aku sebenarnya—si idiot tak berdaya yang menikmati tiap pelajaran terakhir akan cinta dan kehidupan. Ketika aku bersyukur bahwa dia akan tumbuh sehari lebih tua dan melihat betapa tak beraturannya aku. Dan aku merasa menemui momen itu lagi, saat ini juga, dipeluk seperti boneka beruang, masih belum tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus diputuskan.

Lengannya perlahan mengendur. Aku bisa melihat wajahnya sekarang, dan aku melihat diriku sendiri tercermin di dalamnya. Kami saling menatap dalam-dalam ke mata masing-masing, bibir kami setengah terbuka, lebih dekat dari yang pernah-pernah. Kami berevolusi dari dua menjadi satu, dari para penari menjadi tarian itu sendiri. Aku paham sekarang apa yang dimaksud teks-teks penuh ulah itu. Tidak ada 'kami', yang ada hanya gravitasi. Tapi saat kupikir aku tahu pasti seperti apa adegan selanjutnya, suatu perubahan tiba-tiba terjadi.

Dengan gerakan secepat gerakan pesulap jalanan, aku merenggut kotak itu dari sisinya dan mengambil lipatan kertas putih yang terletak di antara kaset dan kartu ucapan.

“Apaan itu?” tanyanya.

“Bukan apa-apa. Hanya suatu ucapan 'aku cinta kamu' yang sangat, sangat panjang. Karena kamu sudah tahu, jadi kamu nggak perlu baca ini lagi.”

“Kamu yakin?”

Aku mengangguk dan menciumnya ringan di pipi. “Ingatlah aku waktu kamu di atas sana bersama para Buddha.”

“Tentu. Makasih sudah mampir. Dan makasih atas... ini.” Dia tampak sedikit kebingungan atas gerakanku yang mendadak. Tapi dia akan baik-baik saja, aku yakin. Dia tahu harus menancapkan jarum akupuntur di wajahnya yang bagian mana untuk mengenyahkan segala macam kepanikan. Sementara aku tidak. Jadi aku harus keluar dari tempat ini sesegera mungkin.

Aku pun bisa merasakan gedung ini mulai melepaskan cengkeramannya. Tempat ini sudah menelanku—mengunyah jiwaku dengan taring melati kecil dan enzim dari pandan, dengan sistem transformasi Zen—dan aku telah melawannya semenjak melangkahkan kaki ke dalamnya. Sekarang aku bisa mundur. Aku bisa bernapas lega. Rasanya seperti aku telah melewati ujiannya. Untuk sekarang.

Lama sekali sampa akhirnya petugas valet datang membawa kunci mobilku. Di sana, di antara siluet pohon kamboja yang tenteram, aku tumbuh sehari lebih tua sebagai tukang bergurau gila. Ini adalah ucapan 'aku tidak tahu harus bagaimana' yang sangat, sangat panjang. Satu hari lagi sebagai orang bodoh sentimentil. Terayun lagi, berubah pikiran lagi. Aku cepat-cepat memasuki mobil karena rasa mual metaforik tadi sudah mulai menjadi nyata.

Sementara SUV hitamku memasuki jalan raya dengan suara mendecit, pencarian baru telah dimulai. Aku ingin mencari siapa orang yang sudah membuat peribahasa 'mengikuti arus' dan mengajaknya ke samudera penuh hiu lapar. Dan lihat bagaimana dia akan mengikuti arus. Aku sungguh ingin tahu.

-fin-

TL/N:  finally it's done. It took me, like, forever to finish this. I don't know, lost the mood before I even started, so figures. Eheheh. Sekarang hutang saya lunas!
And in case you don't really get it,  'lakukan' dalam kalimat pertama itu maksudnya seks. Dalam teks aslinya cukup jelas maksudnya, tapi sepertinya dalam versi terjemahan saya ini kurang terasa... karena saya nggak tahu lagi harus diterjemahkan jadi seperti apa.
And just FYI, istilah poliamor itu kurang lebih artinya mencintai banyak orang. Poli = banyak, amor/amour/amore = cinta. Just a make-up term by our favorite philosopher Dee.

2 comments:

  1. Great!
    Sebenarnya aku terdampar kesini ketika lagi cari bahan material untuk tugas linguistikku, kebetulan aku menganalisis lagu grow a day older. Karena mungkin seperti yg anda tau lagu dan karya tulis Dee sungguh luar biasa. Dan jujur aku nggk tau kalau cerpennya di translate kan. Ini semacam angin segar, he he.
    Translatenya rapih. Hasil yg muaskan. Semangat selalu.

    ReplyDelete
  2. Suka sekali, jadi bisa lebih paham maksud ceritanya. Dan efeknya masih sama nyeseknya. Terjemahannya sudah bagus meski ada satu huruf yg kurang pada kata sampa.

    ReplyDelete