Grow A Day
Older
taken from Rectoverso
(c) Dee
this Indonesian version
is translated by Vianna Orchidia
not profesionally
translated, not proofread, possible mistakes here and there
please enjoy
-story start-
“Seharusnya kita lakukan saja
semalam.”
Lelaki itu meneleponku lagi hanya untuk
mengatakan hal itu. Tadi dia sudah menelepon, bilang bahwa dia sedang
keluar untuk makan siang.
Aku tidak bisa menahan senyumku.
“Kenapa?”
“Nggak sepadan dengan rasa sakit dan
kaku ini. Ampun, tanganku sakit banget.”
Kami berdua tertawa dan menutup telepon
setelah saling mengucapkan kata-kata manis, seperti “jaga diri”
atau “santai saja, sayang” atau “semoga harimu baik”. Ini
bukan gayaku, tapi tanpa disadari dia sudah mengajariku hal ini hanya
dengan menjadi dirinya sendiri—pemuda yang memang sopan dan penuh
pertimbangan. Perilakunya yang bak pangeran menawan telah menulariku.
Masih ada sisi pahit yang kami bagi dari waktu ke waktu, dan itulah
yang paling kusukai dari hubungan kami. Bagiku, potongan cokelat
terbaik haruslah manis dan pahit, tidak sepenuhnya manis, dan jelas
tidak sepenuhnya pahit, karena kalau begitu jadi tidak seru. Kami ini
seperti dark chocolate yang
bisa dimakan empat potong sekaligus tanpa menjadi gelisah.
Kami menghabiskan
sepuluh jam kemarin, bercengkerama dan berpelukan, dan aku masih
ingin lebih. Rasanya aneh melihatnya berjalan keluar pintu itu.
Seharusnya dia tidak pergi. Seharusnya bahkan tidak ada pintu apapun.
Mungkin cukup jendela ukuran sedang agar ada sirkulasi udara, jangan
terlalu besar, karena kamu pastinya tidak mau kehangatan setelah
berjam-jam berpelukan erat meninggalkan ruangan ini sepenuhnya.
Sebelum ini, aku tidak pernah tahu kalau pelukan erat bisa menjadi
aktivitas yang menggairahkan. Semua damba dan nafsu menyatu dalam
satu saluran. Udara lembab dan otot kaku adalah hasil yang kaudapat
setelahnya. Hasil sama, cara beda.
Aku mematikan
ponselku dengan kehati-hatian yang sama seperti kalau aku melipat
selendang sutra terbaikku. Segala hal tentang lelaki itu harus
dilakukan dengan kewaspadaan ekstra. Keberadaannya telah mengubahku
jadi boneka porselen—rapuh, mudah rusak, terlalu rewel untuk
dibawa-bawa. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu bahwa telepon selama
10 detik bisa menghabiskan demikian besar tenaga. Lelaki itu muncul
di langit malamku seperti kurcaci putih, sebuah bintang yang sinarnya
lemah namun begitu pekat sehingga membuatku tersedot masuk ke lubang
hitam di mana tubuh normalku akan terburai atau terpipihkan. Dalam
orbitnya, aku bukan apa-apa melainkan mi gepeng. Susah sekali untuk
bernapas. Susah sekali untuk kabur. Dan aku tak tahu berapa lama lagi
bisa bertahan.
Tadi dia bicara
tentang pergi ke Candi Borobudur saat ulang tahunnya. Bisa langsung
kubayangkan dia bermeditasi di balik salah satu stupa, anggun dengan
bola oranye perlahan terbit di belakang punggungnya. Aku ingin bisa
berada di sana, tapi aku tahu tidak seharusnya aku melakukannya. Aku
pernah melihatnya melakukan posisi setengah-bunga-teratai saat dia
mencoba beberapa CD pengembangan gelombang otak di toko meditasi
favorit kami. Adegan yang kulihat lewat ujung mata itu hampir
mengubahku begitu saja jadi pemeluk agama Buddha yang saleh. Kalau
aku sampai melihatnya dalam posisi yang sama di candi terbesar,
paling sakral di negeri ini, pastilah napasku akan tercekat dan aku
pun berubah jadi batu. Bukan patung Buddha, tentu saja. Cuma batu
yang tidak bergerak, tidak bercahaya yang kusebut diriku.
Di pangkuanku
tergeletak sebuah kotak ringan dengan pita emas di atasnya. Di
dalamnya, ada kaset, kartu ucapan, dan surat tulisan tangan, disusun
rapi bertumpuk-tumpuk. Siapa sih yang masih menggunakan kaset di
zaman sekarang? Seminggu ini berat dalam masa digital ini, jadi
kuputuskan untuk tidak mengacuhkannya. Menghabiskan sepuluh jam yang
seperti sihir bersama orang yang sungguh-sungguh kucintai, menyadari
bahwa hubungan kami tidak akan pernah berhasil, dan ulang tahunnya
tinggal dua hari lagi. Ini adalah kombinasi gila-gilaan antara
tenggelam dan ingin keluar, antara mati dan berusaha hidup. Aku cukup
beruntung masih bisa berfungsi normal hari ini.
Awalnya aku
berencana untuk memberinya guling sebagai hadiah ulang tahun, semacam
usaha simbolis nekat untuk menunjukkan keintiman. Tapi semalam aku
terbangun dengan sebuah melodi terngiang, dan beberapa saat kemudian
aku malah menuliskan sebuah lagu ulang tahun, dinyanyikan dengan
penuh perasaan kepada perekam kaset tua yang kuletakkan di atas
pianoku. Cara yang lebih berseni untuk menunjukkan kenekatanku,
pastinya. Untuk sekali ini, aku ingin jujur tentang siapa aku
sesungguhnya. Baginya, mungkin aku adalah si jenius yang kreatif,
seorang yang antusias tentang masalah spiritual yang bisa diajak
berdiskusi tentang ilusi diri selama berjam-jam. Baginya, mungkin aku
adalah ramuan unik dari lelucon ngawur dan teori kuantum rumit.
Baginya, mungkin aku adalah seorang teman yang sempurna. Tapi jauh di
dalam hati, aku hanya jatuh cinta.
“Kadang menjadi
temanmu itu sulit,” dia berbisik padaku semalam. Bibirnya hanya
beberapa inci dari bibirku. Aku melihat butiran-butiran keringat di
batas rambutnya dan bisa saja aku menghitungnya kalau mau. Kami
begitu dekat sampai-sampai aku merasa pening. Cinta benar-benar
membutakan dalam jarak tertentu. Lebih baik menutup mata saja dan
bergabung dengan kegelapan.
Pulanglah,
kembalilah ke kehidupanmu yang damai, ke pacarmu yang cantik. Kalian
berdua pasti tampak serasi di foto perkawinan. Pacarku yang tampan
akan datang sebentar lagi. Kami tampak serasi di foto pre-wedding
yang baru kami buat. Tidak. Jangan pergi. Inilah tempatmu seharusnya,
dalam percakapan manis yang bukan tentang apa-apa, di sofa
tiga-tempat-duduk yang begitu pas dengan tubuh kita ini. Dan aku pun
menyadari betapa aku terus-menerus berganti pikiran. Aku ingin
berhenti. Aku ingin memutuskan. Tapi seorang ahli filosofi bodoh
terus menyuruhku untuk mengikuti arus, untuk mengalir bersama sungai
kehidupan. Arus apanya? Ini bukan arus. Ini cuma ayunan terprediksi
yang bergerak maju-mundur tanpa ke mana-mana. Seharusnya kami tahu.
Mungkin kami tahu, tapi berpura-pura tidak tahu karena potongan
cokelat ini terlalu nikmat untuk dilepaskan. Dan kami menutupinya
dengan konsep nyeleneh lain seperti “poliamor” atau kebebasan
mencintai atau apalah. Aku baca itu semua, kau tahu. Tapi pada
akhirnya, aku tahu aku ini hanya si bodoh sedang jatuh cinta yang
mencoba mencari sedikit makna dalam dunia yang gila ini.
“Kita jadi
tetangga saja. Susah nyari tanah kecil di Bali. Lebih gampang kalau
kita bareng.” Ujarku padanya sehari setelah menemukan bahwa kami
sama-sama kecanduan akan Ubud.
“Aku kenal kamu
baru tiga bulan. Setidaknya butuh tiga bulan lagi untuk yakin bahwa
aku cukup aman untuk tinggal di sebelahmu,” katanya sambil
terkekeh.
“Hei, kamu bisa
membangun pagar beton setebal dua meter kalau mau. Aku nggak peduli.
Aku cuma mau beli tanah di sana,” jawabku cepat, tidak ingin
terlihat terlalu terburu-buru ingin dekat dengannya. Memang sejak
awal itu ide yang payah, aku paham sekarang kalau pagar setinggi
gedung pencakar langit pun tidak akan berguna. Yang kubutuhkan adalah
segaris percaya sebagai pembatas nyata antara kami berdua. Serangan
amnesia, mungkin.
Aku berencana untuk
menaruh kotak ini di meja resepsionis dan segera pergi sebelum dia
kembali dari makan siang. Aku benci melihatnya sebentar. Itu tidak
sepadan dengan sensasi menusuk di dadaku, sakit lambung, dan
pandangan kosong yang lama setelahnya. Aku melihat keluar kaca mobil,
berharap kemacetan lalu lintas bisa menahanku di sini beberapa lama.
Tempat kerjanya tinggal dua blok lagi.
Berdiam di mobil
ini seperti jalan-jalan terakhir di sepanjang pantai sebelum dikirim
dalam perang hebat di laut. Kuharap jalan-jalan ini tidak pernah
usai. Aku tahu aku pasti mati di laut yang luas. Aku tidak ingin
mati. Terayun lagi, berubah pikiran lagi. Tiba-tiba aku merasa mual.
Ayolah, prajurit, jangan jadi pengecut, tinggalkan pantai ini dan
tunjukkan kemampuanmu. Aku memarahi diriku sendiri.
Ini adalah cara
yang panjang, panjang sekali untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku
tidak boleh ragu sekarang. Semuanya sudah siap dan tersinkronisasi.
Bisa kurasakan. Dunia ini sedang merangkai adegan perpisahan dan
hasilnya akan brilian. Ada ulang tahunnya, Borobudur saat matahari
terbit, dan sebuah lagu. Rekaman payah dengan media yang kuno hanya
akan menambahkan rasa vintage yang pasti bisa melelehkan
hatinya yang sensitif, dan mungkin membuatnya berkaca-kaca. Itu akan
menjadi klimaksnya. Perpisahan dengan integritas dan berkelas.
Surat yang kutulis
pendek dan tanpa omong kosong puitis. Lebih ke arah pernyataan
sebenarnya, bahwa ternyata aku bukanlah orang yang menganut poliamor.
Memang hebat bermeditasi dengan para santa penyayang yang hatinya
mampu menampung segala kasih di dunia. Tapi aku hanya bisa membawa
satu hubungan romantis dalam hatiku yang klaustrofobia ini. Dan
sekali aku menancapkan jangkar hatiku, aku akan menuju tempat tanpa
jalan kembali. Hasilnya tidak akan bagus. Hatiku tidak cukup lapang
untuk menampung kita berdua, apalagi ditambah pasangan kita
masing-masing saat ini. Kalau kau mencintai seseorang, kau harus
menerima segala tentangnya kan? Cintai dia apa adanya. Aku baca itu,
entah di mana. Aku ingin bilang aku tidak setuju, tapi hal itu
terdengar bijak dan benar. Aku tidak bisa mencintai lelaki itu apa
adanya. Hubungan dengan banyak orang terlibat bukanlah keahlianku.
Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melakukannya. Pendeknya, apa yang
kutulis adalah: hubungan kita selama ini hanya gurauan gila, ha-ha,
lucu banget, dan bisa aku pergi sekarang?
Sementara itu,
lagunya, adalah melodi termanis yang pernah kubuat. Ia datang padaku
dalam momen langka penuh rasa terima kasih dan kepuasan, yang dalam
kasusku hanyalah suatu kilasan selama sepersekian detik. Aku berhasil
menganyam kesadaran rendahku menjadi lagu C-F-G sepanjang tiga
setengah menit. Susunan kord yang simpel tapi efektif. Demikianlah
yang aku inginkan dari langkahku selanjutnya. Menapakkan kaki di lobi
gedung, menitipkan kunci mobilku di konter valet dan mengarah
langsung ke meja resepsionis. Aku tidak bisa direpotkan dengan
rumitnya memarkir mobil. Timing itu segalanya. Tinggalkan
kotaknya dan pergi. Lukai hatinya dan terbang jauh.
Sedikit aliran
udara beraroma melati menerpa kulitku saat aku berjalan memasuki
ruang tunggu kantornya. Aku memang selalu menyenangi gedung ini, lama
sebelum aku tahu kalau dia menyewa tempat di sini. Gedung ini hanya
setinggi empat lantai dan dikelilingi taman tropis yang dipangkas
cermat. Kamboja segar mengambang di mangkuk kaca berisi air di tiap
pojokan, dan di setiap belokan, kuncup melati beku terletak rapi di
atas daun pandan yang disusun dalam nampan kayu besar. Kantor macam
apa yang mau susah-susah begitu? Pemiliknya pasti romantis
gila-gilaan, mungkin lebih buruk dariku. Dia pasti sedang dalam
semacam misi untuk mengingatkan semua orang agar berhenti lalu
mengendus bebungaan itu, untuk mengingatkan mereka bahwa waktu
mungkin bukanlah segalanya. Cahaya lembut yang menenangkan dan
suasana Zen pastilah didesain untuk meredam benak kami yang kacau,
untuk menghentikan—bahkan jika hanya sesaat—langkah cepat kami
menuju kuburan kami.
Tepat di depan
cermin persegi raksasa di atas meja resepsionis, kakiku tiba-tiba
berhenti dan aku memandang kosong pada refleksi di balik punggungku.
Aku pun tersadar, betapa tempat ini dan segala konsep di dalamnya
telah sukses memangsaku. Di sinilah aku, terburu-buru menyelesaikan
misi kerjakan-lalu-pergi, dan pada akhirnya berdiri di tepi jurang
malu. Sayangnya, aku belum diperbolehkan melompat. Waktu berhenti.
“Hei! Ngapain
kamu di sini?” Lelaki itu tidak bisa memercayai penglihatannya.
“Bukannya kamu
keluar makan siang?” Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan. Dan,
sialan, aku benar-benar penasaran.
“Iya sih, tapi
ada satu klien yang terbang jauh-jauh dari Jogja dan harus pulang
siang ini, jadi aku cepat-cepat kembali ke sini begitu dapat telepon
darinya. Tapi, serius nih, ngapain kamu di sini?”
Aku berdiri di
sana, meraih kotak mewah berhiaskan pita berkilap di atasnya, terlalu
besar dan terlalu berkilau untuk bisa ditutupi sepenuhnya oleh
telapak tanganku yang kini berkeringat. “Aku mau ngasih kamu...
ini!”
“Kado? Untukku?
Wah, makasih. Ulang tahunku masih dua hari lagi, kau tahu.”
Ya, aku tahu.
Rencananya aku tidak mau melihatmu besok dan besoknya dan besoknya
lagi, dan seterusnya. Itulah kenapa. Aku hanya punya hari ini.
“Bagaimana kalau
ke ruanganku di atas dulu? Masih ada sepuluh menit sebelum klienku
datang.”
Aku terperangah
tapi berhasil menggerakkan tubuhku dengan elegan menuju lift,
seakan-akan aku nyaman dengan masa depan yang menungguku. Rencana
sudah gagal. Aku tidak siap untuk percakapan selama sepuluh menit.
Itu tidak sepadan dengan pergolakan emosi ini, meskipun aku mendapat
dukungan terapik dari udara yang wangi dan pencahayaan yang pas,
meskipun ada dia yang menawan dalam kaos lengan panjang dan celana
jins hitam yang kasual. Dia tidak pernah berdandan untuk kerja. Dan
itulah yang membuatnya beda dari kerumunan orang-orang berdasi dan
berjas. Dia lebih suka berpakaian kasual sehingga kliennya merasa
nyaman duduk di sofa, mengoceh soal pergelutan hidup mereka.
Ada dua sofa di
dalam ruangan kerjanya. Yang kecil itu untuknya, dan yang besar untuk
pasien. Kami duduk bersama di sofa yang besar, sama-sama sadar
sepenuhnya akan prinsip bersama tentang menyembuhkan satu sama lain
tanpa memerhatikan kedudukan. “Kamu adalah penyembuhnya penyembuh,”
pernah dia berkata padaku.
“Lagi-lagi
kebetulan yang menyenangkan,” katanya, kemudian menghela napas
panjang, “Baru tadi pagi, aku memikirkan betapa aku bersyukur
karena punya kamu dalam hidupku. Dan tiba-tiba kamu di sini.”
“Aku di sini.”
Aku tersenyum malu.
“Ini kejutan yang
menyenangkan, kamu mampir dan... ini. Boleh kubuka sekarang?”
tanyanya, mengelus kotak itu dengan lembut.
“Jangan,” aku
menggelengkan kepala dengan tegas, “tapi aku bisa memberitahumu apa
isinya. Isinya kaset. Aku menulis sebuah lagu untukmu semalam. Aku
mau kamu mendengarnya saat berada di Borobudur.”
Dia terkesiap.
“Lagu? Wow. Tidak pernah ada yang membuatkanku lagu sebelumnya.”
“Aku juga tidak
akan pura-pura bersahaja... Lagu itu benar-benar indah. Kalau aku
jadi penyanyi profesional, lagu itu akan kujadikan single
pertama. Pasti laku. Aku yakin.”
Dia menengadahkan
kepala, tertawa.
“Aku serius. Kamu
laki-laki yang beruntung. Jadi, yah, aku berhak mendapatkan pemikiran
darimu pagi ini...”
“Aku cinta kamu.”
Aku menahan napas.
Satu dorongan lagi dan jangkar itu akan terjatuh. “Yah, aku juga
mencintaimu, kamu tahu itu.”
“Kamu kelihatan
gugup. Kamu nggak apa-apa?”
Itu pertanyaan yang
salah. Kalau dia bertanya: Apa kamu akan meledak? Aku kamu berencana
meninggalkanku? Apa itu air mata yang ada di sudut matamu? Aku akan
menjawab 'ya' pada semua pertanyaan itu, dan sama sekali tidak
apa-apa.
“Ya, aku
baik-baik saja,” gumamku.
“Mau kupeluk?”
Dia menekuk tubuh seperti seorang ksatria, siap menenangkan sang
putri yang kebingungan, yang sudah diselamatkan dari naga oleh
ksatria lain dan hidup bahagia sampai orang baru yang bersinar terang
ini datang dan mencuri hatinya. Masalahnya adalah, sudah tidak ada
naga. Pertarungan itu sudah lewat dan sudah dimenangkan. Yang bisa
dia lakukan sekarang hanyalah berbagai macam pelukan: pelukan sebagai
teman, pelukan sebagai kekasih, pelukan sebagai terapis, pelukan
sebagai keluarga.
Lengannya yang
panjang menjulur seperti pilar yang menenangkan, menyokong
keseluruhan tubuhku dalam pelukannya. Sementara badanku bertumpu
dengan nyaman, aku menyelam ke kedalaman hatiku untuk mempertahankan
peganganku pada jangkar itu. Kupegang sekuat yang aku bisa. Jangan
sampai jatuh, prajurit. Tunjukkan apa kemampuanmu. Aku peringatkan
diriku, lagi dan lagi.
Napasnya yang
hangat bertahan lembut di telingaku sementara dia bicara, “Di
manapun kita selama ini, ke manapun kita akan pergi, aku puas dengan
saat ini, mengetahui bahwa satu hari lagi kita bepergian bersama,
sebagai... apapun.”
Aku teringat kaset
itu. Aku teringat lagu yang kutulis. Momen sekilas yang menyentuh
diriku seperti terpaan angin tajam pada air murni. Kesunyian sesaat
ketika aku terbebas dari segala cemas, pengharapan, ketakutan. Ketika
aku bersyukur atas tiap dongeng dalam hidupku, termasuk keberadaan
dirinya dan ketidakadaan sang naga. Ketika aku berserah sepenuhnya
pada siapa aku sebenarnya—si idiot tak berdaya yang menikmati tiap
pelajaran terakhir akan cinta dan kehidupan. Ketika aku bersyukur
bahwa dia akan tumbuh sehari lebih tua dan melihat betapa tak
beraturannya aku. Dan aku merasa menemui momen itu lagi, saat ini
juga, dipeluk seperti boneka beruang, masih belum tahu apa yang harus
dilakukan, apa yang harus diputuskan.
Lengannya perlahan
mengendur. Aku bisa melihat wajahnya sekarang, dan aku melihat diriku
sendiri tercermin di dalamnya. Kami saling menatap dalam-dalam ke
mata masing-masing, bibir kami setengah terbuka, lebih dekat dari
yang pernah-pernah. Kami berevolusi dari dua menjadi satu, dari para
penari menjadi tarian itu sendiri. Aku paham sekarang apa yang
dimaksud teks-teks penuh ulah itu. Tidak ada 'kami', yang ada hanya
gravitasi. Tapi saat kupikir aku tahu pasti seperti apa adegan
selanjutnya, suatu perubahan tiba-tiba terjadi.
Dengan gerakan
secepat gerakan pesulap jalanan, aku merenggut kotak itu dari sisinya
dan mengambil lipatan kertas putih yang terletak di antara kaset dan
kartu ucapan.
“Apaan itu?”
tanyanya.
“Bukan apa-apa.
Hanya suatu ucapan 'aku cinta kamu' yang sangat, sangat panjang.
Karena kamu sudah tahu, jadi kamu nggak perlu baca ini lagi.”
“Kamu yakin?”
Aku mengangguk dan
menciumnya ringan di pipi. “Ingatlah aku waktu kamu di atas sana
bersama para Buddha.”
“Tentu. Makasih
sudah mampir. Dan makasih atas... ini.” Dia tampak sedikit
kebingungan atas gerakanku yang mendadak. Tapi dia akan baik-baik
saja, aku yakin. Dia tahu harus menancapkan jarum akupuntur di
wajahnya yang bagian mana untuk mengenyahkan segala macam kepanikan.
Sementara aku tidak. Jadi aku harus keluar dari tempat ini sesegera
mungkin.
Aku pun bisa
merasakan gedung ini mulai melepaskan cengkeramannya. Tempat ini
sudah menelanku—mengunyah jiwaku dengan taring melati kecil dan
enzim dari pandan, dengan sistem transformasi Zen—dan aku telah
melawannya semenjak melangkahkan kaki ke dalamnya. Sekarang aku bisa
mundur. Aku bisa bernapas lega. Rasanya seperti aku telah melewati
ujiannya. Untuk sekarang.
Lama sekali sampa
akhirnya petugas valet datang membawa kunci mobilku. Di sana,
di antara siluet pohon kamboja yang tenteram, aku tumbuh sehari lebih
tua sebagai tukang bergurau gila. Ini adalah ucapan 'aku tidak tahu
harus bagaimana' yang sangat, sangat panjang. Satu hari lagi sebagai
orang bodoh sentimentil. Terayun lagi, berubah pikiran lagi. Aku
cepat-cepat memasuki mobil karena rasa mual metaforik tadi sudah
mulai menjadi nyata.
Sementara SUV
hitamku memasuki jalan raya dengan suara mendecit, pencarian baru
telah dimulai. Aku ingin mencari siapa orang yang sudah membuat
peribahasa 'mengikuti arus' dan mengajaknya ke samudera penuh hiu
lapar. Dan lihat bagaimana dia akan mengikuti arus. Aku sungguh
ingin tahu.
-fin-
TL/N: finally it's done. It took me, like, forever to finish this. I don't know, lost the mood before I even started, so figures. Eheheh. Sekarang hutang saya lunas!
And in case you don't really get it, 'lakukan' dalam kalimat pertama itu maksudnya seks. Dalam teks aslinya cukup jelas maksudnya, tapi sepertinya dalam versi terjemahan saya ini kurang terasa... karena saya nggak tahu lagi harus diterjemahkan jadi seperti apa.
And just FYI, istilah poliamor itu kurang lebih artinya mencintai banyak orang. Poli = banyak, amor/amour/amore = cinta. Just a make-up term by our favorite philosopher Dee.
Great!
ReplyDeleteSebenarnya aku terdampar kesini ketika lagi cari bahan material untuk tugas linguistikku, kebetulan aku menganalisis lagu grow a day older. Karena mungkin seperti yg anda tau lagu dan karya tulis Dee sungguh luar biasa. Dan jujur aku nggk tau kalau cerpennya di translate kan. Ini semacam angin segar, he he.
Translatenya rapih. Hasil yg muaskan. Semangat selalu.
Suka sekali, jadi bisa lebih paham maksud ceritanya. Dan efeknya masih sama nyeseknya. Terjemahannya sudah bagus meski ada satu huruf yg kurang pada kata sampa.
ReplyDelete