Thursday, August 23, 2012

[Orific] Exorbitant

 Lagi nggak ada kerjaan. Re-publish orific yang ada di FictionPress ke sini ah~

Vianna Orchidia (c) 2012

EXORBITANT

Siang itu agak beda dari biasanya. Setelah pulang sekolah, aku masih harus mengikuti tambahan pelajaran dalam rangka persiapan lomba. Babak final lomba ekonomi yang aku ikuti sudah makin dekat sih, jadi guru ekonomiku pun ikut-ikutan intens memberi materi. Berkali-kali aku melirik keluar kelas, dan berkali-kali pula aku mendesah melihat halaman sekolah yang sudah sepi. Untunglah, Bu Indah sepertinya sadar kalau aku kurang berkonsentrasi mendengarkan instruksinya, jadi beliau memutuskan untuk mengakhiri tambahan pelajaran hari ini.
"Saya ngerti kalau kamu capek, Shin. Hari ini cukup sekian ya. Ingat, jaga kesehatan. Kami mengharapkanmu," ujar beliau sambil menepuk pundakku. Senyumnya ramah dan tipe keibuan banget, makanya aku suka sama beliau. Aku pun balas tersenyum dan menggangguk.

Bu Indah sudah keluar kelas saat aku membenahi barang-barangku. Dan saat aku akhirnya beranjak keluar dengan tas di punggung, aku sempat melihat mobilnya menderu keluar gerbang sekolah. "Tsk, aku yang capek kok Bu Indah yang pulangnya lebih cepet?" gumamku pada diri sendiri.

Aku memandang langit yang gelap. Aduuuh, kalau nggak cepat-cepat pergi, aku bisa kehujanan! Makanya aku berlari-lari kecil menuju lapangan parkir, di mana tinggal motorku berdiri tegak. Setelah memutar kunci kontak, aku langsung menyalakannya dan melaju. Tapi...

Takdir tak berpihak padaku hari ini.

Hujan tiba-tiba turun, langsung deras pula!

"Aaaa! Siaaal!" Tanpa daya aku terpaksa memarkir motorku di depan masjid sekolah, dan berteduh di sana. Aku menatap kesal bulir-bulir air yang menderu jatuh dari langit. "Kenapa harus hujan sekarang? Argh! Nggak bisa pulang deh! Kalo gini kan mending tambahan terus sama Bu Indah!" teriakku pada langit. Seperti orang gila saja.

Percuma marah-marah pada alam, pikirku. Aku pun memilih duduk, menopang dagu dengan kedua tangan. Nggak ada kerjaan, aku hanya menatap seluruh sekolah. Baru aku sadar, kenapa nggak ada orang sama sekali? Padahal biasanya sekolahku itu nggak pernah sepi. Adaaa saja kelompok-kelompok kecil yang bertahan di sekolah, entah untuk mengerjakan tugas ramai-ramai atau ada ekskul atau cuma bermain bola. Aneh deh. Aku mengingat-ingat, hari apa sekarang. Rasanya nggak ada sesuatu yang spesial deh.

Nah, whatever.

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya beberapa derajat di bawah jam tiga. Sudah jam segini? batinku.

"Ngapain ya...? Nggak bawa novel nih. Masa baca buku ekonomi lagi? Dih, amit-amit," aku berujar pada diriku sendiri. Toh nggak ada orang ini. Nggak ada yang lihat aksi gilaku yang bicara panjang lebar seorang diri.

"Mmm... Ngantuk..." Aku baru saja berpikir untuk merebahkan badan di lantai masjid yang dingin ini, saat mendengar denting alat musik dari balik suara hujan. Otakku langsung waspada. Ternyata sekolahku nggak 'sekosong' yang kukira.

Aku mendengarkan dengan seksama. Hujan sudah agak reda, jadi suara alat musik itu makin jelas. Ini suara gitar... dan indah sekali. Tipe permainan profesional lah. Dahiku berkerut sementara aku mempelajari nada-nada itu. Mungkinkah ini rekaman, yang disetel pakai komputer atau apa? Ah, nggak. Aku cukup yakin ini live.

Penasaran tingkat dewa menyelimutiku. Aku berusaha melacak arah sumber suara ini. Kanan, kiri? Setelah menoleh ke segala arah beberapa kali, disertai menajamkan pendengaran, akhirnya aku menyimpulkan kalau suara ini berasal dari lantai atas. Lebih tepatnya, di ujung barat balkon, dekat dengan kelasku. Kuputuskan untuk pergi mengeceknya.

Di sekolah yang teramat sepi ini, aku melangkah perlahan-lahan. Selain ingin menghindari percikan air hujan, aku juga nggak tega merusak nada-nada indah ini. ...oke, mungkin aku juga takut kepergok. Pokoknya, aku meminimalisir bunyi sepatuku, bahkan saat meniti tangga.

Sip, aku sudah sampai di lantai dua. Sekarang tinggal menoleh ke arah kanan untuk memastikan apakah deduksiku kali ini tepat. Yaaak, satu, dua, tiga...

—dan aku terpana.



Lebih dari sekedar tepat. Alunan gitar itu memang dimainkan live, dan pemainnya ada di ujung balkon itu. Seorang cowok, rambutnya cepak dan bahunya lebar. Sepertinya aku nggak kenal. Dia duduk membelakangiku, menghadap ke langit sore yang dipenuhi awan kelam di kejauhan. Kulihat kepalanya mengangguk-angguk bersama melodi—kayaknya benar-benar menikmati permainan gitarnya sendiri.

Aku memperpendek jarak sedikit demi sedikit, kali ini jauh lebih hati-hati agar nggak bersuara. Setelah berada kira-kira tiga meter di belakangnya, aku berhenti. Dari jarak ini saja aku bisa mendengar apa yang sebelumnya nggak kudengar.

Dia juga bersenandung mengikuti alunan gitarnya. Suaranya pun bagus sekali, nada-nada itu tepat tercapai. Aku tahu lagu ini.

You Raise Me Up.

Belum pernah kudengar versi akustik yang sebagus ini! Lirik serta melodinya yang mendalam nyaris membuatku meneteskan air mata. Cowok ini pasti jenius. Dia bisa memainkannya dengan teknik yang keren serta penjiwaan yang hebat. Biarpun nggak ngerti-ngerti amat soal musik, paling nggak aku tahu bedanya jenius dengan bukan.

Setelah nada terakhir sudah selesai, dan getaran dawai terakhir telah berhenti, aku bertepuk tangan lirih—aku nggak mau mengagetkannya. Tapi sia-sia saja, karena dia tetap menoleh cepat dengan kedua mata membelalak. Persis kayak orang yang merasakan kehadiran hantu.

Oke, kuakui kehadiranku yang tanpa suara ini mirip hantu.

Aku hanya bisa tertawa garing sementara ekspresi cowok itu kembali netral. Aku meringis, setengah malu karena ketahuan mendengarkan diam-diam, dan setengahnya lagi salah tingkah... karena cowok ini—astagacakepbanget!—. Wajahnya bersih, rambut cepaknya terlihat sedikit basah, dan—oh Tuhan—matanya tuh daleeem banget!

Berusaha mengendalikan diri, aku melontarkan satu kosa kata termudah, "Hei."

"Hei juga," balasnya, kali ini ikutan nyengir. "Kaget aku, kukira sudah nggak ada orang di sekolah."

"Sama." Aku berjalan mendekati pagar pembatas balkon dan menyandarkan tubuh di sana. "Kupikir aku sendirian di sekolah. Eh, tiba-tiba ada suara gitar. Kirain aku sudah masuk ke dunia lain gitu!"

Sepertinya dia menganggap itu lucu, dan dia terbahak. Bahunya berguncang pelan sementara sebelah tangannya menutup mulut. Sementara dia sibuk tertawa, aku mempelajari wajahnya. Hmm, dia siapa ya? Rasanya nggak pernah lihat. Yah, memang pergaulanku nggak begitu luas, tapi 'radar cowok cakep' mataku kan lumayan aktif! Kok bisa aku nggak pernah lihat dia? Memangnya dia kelas berapa sih?

Kuputuskan untuk bertanya saja langsung. "Ngg, namamu siapa? Rasanya belum pernah lihat di sekolah deh..."

"Masa? Aku Adam, kelas ipa-dua."

Aku mengernyit. "Ipa-dua? Tapi...," suara menghilang di tengah jalan, karena otakku berputar cepat. Aku cukup yakin nggak ada yang bernama Adam di kelas ipa-dua.

Setelah beberapa milidetik, barulah aku sadar dan terperangah. Oh Tuhan. Mungkinkah...?

"Kelas dua belas?"

"Yup!" jawabnya riang.

Aaaahh! Dalam hati aku berteriak kencang. Ha, aku bahkan ingin kabur dan menyelamatkan mukaku ini. Bayangkan, dia kakak kelas! Dan aku sudah menyebut permainan gitarnya 'menarikku ke dunia lain'! Aku maluuu!

"Oh iya," ucapannya menghentikan pergulatan dalam benakku, "Namamu Shinta kan? Yang ikut lomba ekonomi itu?"

Tuhaaan! Dia tahu namaku!

"I-iya. Kok tahu?" jawabku malu-malu.

"Temanku ada yang ikut lomba itu juga, tapi dia nggak masuk final. Dia pernah nunjukin foto para peserta, terus dia bilang kamu satu-satunya wakil dari sekolah kita yang masuk final. Keren, kamu bisa ngalahin anak kelas dua belas!"

Ehem. Nggak ada cermin di sini, tapi aku tahu wajahku pasti sudah lebih merah dari ceri segar. Nggak tiap hari ada cowok ganteng, kakak kelas pula, yang memuji diriku. Jadi bisa dimaklumi kalau aku blushing kayak begini. Ditambah dengan senyum lebar yang tulus itu, aku jadi makin besar kepala, hehe.

Untuk mengurangi volume kepalaku yang mulai menggembung, aku berdeham dan tertawa kering. "Ah, nggak juga. Yang namanya lomba kan ada faktor keberuntungannya juga."

"Yang benar? Hmm, aku sendiri nggak pernah ikut lomba sih, jadi nggak tahu."

Aku menaikkan alis. "Nggak pernah? Festival musik juga nggak?"

Adam menggeleng pelan, masih dengan senyum tipis di bibirnya. Dia menatap gitarnya sejenak. "Maksudmu gitar ini?" tanyanya, dan kembali bersuara, "Aku main gitar cuma buat have fun. Nggak pernah kepikiran buat ditunjukkan ke orang banyak."

"Sayang... padahal, keren banget lho!"

Menatapku dengan kilau geli di matanya, dia menjawab singkat, "Makasih." Satu kata itu berhasil membuatku bergerak maju-mundur salah tingkah lagi. Gila, cowok satu ini humble banget!

"Eh, ngg... Selain You Raise Me Up, bisa main lagu apa lagi nih?" tanyaku untuk mengusir rasa gugup.

"Macem-macem. Selera musikku luas sih. Mulai dari lagu lokal sampai manca, aku cobain semua."

"Lagu bahasa Inggris, maksudnya?"

"Nggak cuma itu. Lagu Jepang dan Korea juga ada beberapa yang bagus, jadi kupelajari juga." Dia memetik beberapa nada, tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. "Bisa memainkan lagu yang sama seperti penyanyi profesional itu, rasanya bangga."

"Walaupun cuma untuk diri sendiri?"

Dia mengangguk sambil tertawa. "Dan untuk orang yang diam-diam mendengarkan," guraunya, kedua mata hitamnya berkilau jahil. Aku harus memerintahkan tubuhku untuk mengambil napas secara normal saking terpesona padanya. Kok bisa sih, mata dan senyumnya menunjukkan berbagai emosi yang berbeda dalam waktu singkat? Ekspresif.

"Kak Adam ah! Kan aku nggak sengaja...," balasku, pura-pura merengut.

Tawanya berderai. "Iya, iya, maaf. Aku tahu kok. Hmm, gini deh, kamu mau request lagu apa?"

"Eh?" aku terpana.

"Ayo, kesempatan langka nih. Kamu boleh request satu lagu dari aku."

Aku berpikir keras. Apa kira-kira yang sebaiknya kuminta? Adam benar, ini kesempatan satu di antara seribu, harus dimanfaatkan sebaik mungkin. "Hmm... Tunggu sebentar..." Lalu, tiba-tiba saja aku teringat akan satu lagu. Satu lagu yang sangat aku suka waktu masih kecil. Lagu dengan makna yang sangat indah.

Aku tersenyum sumringah. "Kak, kalau I Have A Dream-nya Westlife, bisa nggak?"

Dia tergelak. "Lagu legendaris begitu, bukan gitaris namanya kalau sampai nggak bisa!" Sambil membenahi posisi gitar di pangkuannya, dia mulai mengentakkan kaki untuk mencari ritme yang tepat. Sebentar saja, denting gitarnya sudah memenuhi indera pendengaranku.

Ya, nada yang sangat kukenal. Aku memejamkan mata, kepalaku mengangguk-angguk mengikuti melodi yang damai itu. Suara Adam mulai mengalir juga, menambah indahnya lagu saat itu. Oh Tuhan, suaranya benar-benar bagus. Bahasa Inggrisnya fasih, penjiwaannya dalam. Aku jadi ingin ikut menyanyi...

Seakan tahu kata hatiku, saat aku membuka mata, kulihat Adam menatapku penuh makna. Seperti punya kemampuan telepati, aku tahu dia memintaku untuk bernyanyi bersamanya. Meski sempat ragu, pada akhirnya aku tetap saja menurut.

Dan suara kami pun bersatu.



Sekali lagi, ketika lagu telah berakhir, aku bertepuk tangan. Dia terlihat sedikit salah tingkah, mungkin karena selama ini nggak pernah bermain gitar untuk orang lain. Dia berkomentar, "Suaramu bagus."

"Nggak sebagus suara Kakak," jawabku pelan, merendah.

"Ah, jangan begitu. Aku masih kalah sama penyanyi aslinya kok."

Orang ini suka sekali tertawa dan bercanda. Aku nggak bisa menahan diri untuk nggak ikut tertawa. Saat itulah aku baru sadar kalau hujan telah reda. Cepat-cepat aku melirik jam tangan, dan menahan napas melihat sekarang sudah hampir jam empat. Kalau tetap di sini lebih lama, bisa-bisa ibuku datang sendiri ke sekolah saking khawatirnya!

"Maaf, Kak. Aku harus pulang. Sudah sore," pamitku padanya, nada suaraku sedikit tergesa. Kayaknya dia mengerti kalau aku memang harus cepat pulang. Dia ikut berdiri dan berjalan di sampingku.

"Aku juga mau pulang. Kamu pulang naik apa?"

"Ah, aku bawa motor kok. Tadi kuparkir di depan masjid."

"Oh, ya sudah. Motorku ada di tempat parkir kelas dua belas, jadi aku ke arah sini," Adam menuding ke arah timur lantai dua, sementara aku harus menuruni tangga. "Aku senang bisa bertemu denganmu, Shinta. Semoga kita bisa bernyanyi bersama seperti ini lagi."

Aku tersenyum simpul. "Mulai besok, kalau kupanggil, Kakak harus noleh lho ya!"

"Tenang saja, aku pasti dengar kok kalau dipanggil sama cewek manis," dia mengedipkan sebelah mata jahil, tanpa tahu betapa hatiku membuncah karena disebut manis. Tapi aku hanya tertawa.

"Sampai ketemu, Kak Adam."

"Ya, sampai ketemu."

Dan seiring menjauhnya suara langkah masing-masing, kami meninggalkan tempat bersejarah itu. Tapi kami nggak takut, karena kami berdua tahu—

—sejarah akan kembali terulang. Suatu saat nanti.

FIN
 -02112012-



No comments:

Post a Comment