Ini cerita yang saya buat untuk majalah sekolah, meaning this is a re-publish~ Tema majalah adalah perayaan, makanya ini menggabungkan beberapa perayaan yang terkenal di dunia.
Padang Ilusi
Vianna Orchidia (c) 2011
Di dunia yang cemerlang
ini, adakah sejumput gelap?
Di dunia yang gulita
ini, adakah setitik cahaya?
.:.:.
“Riiiin!! Ayo siniii!”
Cewek dengan rambut dikuncir satu itu
mendecak kesal. “Udah kubilang, nggak mau!” jawabnya keras. Tanpa
menunggu balasan, ia langsung memutar tubuh dan berlari menjauh dari
makhluk berisik yang selama ini mengaku sebagai teman dekatnya. Ukh,
teman dekat apanya. Seharian ini kok kerjanya maksa terus. Yang
nonton ini lah, yang lihat itu lah, sampai bosan Arina mendengarnya.
Setelah memastikan Kristin nggak
mengikutinya, barulah Arina bisa menghembuskan napas lega. Dia nggak
terlalu suka keramaian, makanya merasa sangat tersiksa dengan adanya
festival sekolah kayak begini. Orang-orang yang berlalu-lalang tanpa
henti membuatnya merasa gelisah. Arina akhirnya memutuskan untuk
menghindar dulu dari segala hiruk-pikuk ini. Dia pun membawa
langkahnya ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya
dihindari para siswa.
Entah kenapa, Arina justru suka suasana
di halaman belakang itu. Lebih tepat disebut lapangan sepak bola sih,
tempat tersebut dipenuhi rumput pendek dengan beberapa batang pohon
besar di sisinya. Rasanya segar dan tenang. Untuk mencapai tempat
itu, siswa harus melewati lorong sempit sepanjang dua meter. Agak
tersembunyi dari lingkungan sekolah memang.
Arina baru saja menginjakkan kakinya di
depan lorong itu, dan matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.
Seorang cowok berambut cepak bersandar di tepi lorong, dan saat Arina
datang dia menoleh. Seakan-akan sudah lama menunggu Arina, dia
langsung mengulurkan tangan. Senyumnya yang hangat menghapus keraguan
di hati cewek itu. Rasa rindu yang tak tertahankan membimbingnya
untuk berlari menyongsong si cowok.
“Chandra! Kok ada di sini?” sapa
Arina, masih setengah tidak percaya.
Cowok itu menyeringai. “Lho, aku kan
sudah sering muncul tanpa kabar begini?” Lalu dengan senyum yang
sedikit lebih tulus, ia menyambung, “Kangen?”
“Ih! Pede!” tukas Arina sembari
mendorong bahu Chandra pelan. “Serius nih, kok ada di sini? Nggak
bilang apa-apa, lagi! Gimana kalau aku nggak ke sini?”
“Tenang, aku tahu kamu pasti mau ke
lapangan bola. Cepat atau lambat. Soalnya aku tahu kamu nggak suka
keramaian,” jawabnya dengan seringai jahil menyertai akhir
kalimatnya. Sekali lagi Arina mendorong bahunya keki, tapi Chandra
malah membalasnya dengan tawa.
“Hmm, berarti kamu masih nggak suka
keramaian?”
“Yee, sudah tahu tetep tanya... Repot
ah!”
Cowok itu tampak tidak terpengaruh oleh
nada ketus Arina. “Kenapa nggak suka?”
“...pokoknya nggak suka. Rasanya aneh
gimana gitu. Nggak tenang.”
“Terus, habis ini kamu mau ngapain?”
Ikut-ikutan bersandar di dinding
seperti Chandra tadi, Arina menatap ke langit-langit. Seperti mencari
jawaban di atas sana. “Ngapain, ya? Pengennya sih pulang, tapi di
rumah juga nggak ada kerjaan...”
Tersenyum manis, Chandra menawarkan,
“Mau ikut aku?”
“Hah? Ke mana?”
“Udaaah, ikut aja. Ayo!” Kali ini
tanpa bertanya Chandra menggaet tangan cewek itu, memaksanya ikut
melangkah ke dalam lorong. “Kamu tahu, acara sekolahmu itu dalam
rangka apa?”
Masih sedikit terkejut campur kesal
karena ditarik-tarik begitu saja, Arina menjawabnya dengan ragu.
“Memperingati... hari ulang tahun sekolah?”
“Menurutmu itu penting, nggak?”
“...nggak, nggak juga. Ngabisin uang
aja.”
“Nah, aku di sini... untuk
memperlihatkanmu sesuatu. Sesuatu yang bisa bikin kamu berubah
pikiran!”
Entah apa yang terjadi, namun saat
lorong itu habis, hanya cahaya menyilaukan mata yang ada. Arina
merasa seperti masuk ke dalam dunia yang berkemilau terang.
Membuatnya mengambang di tengah-tengahnya, bagaikan seekor burung
yang kehilangan arah dan tujuan. Hanya cekalan tangan Chandra yang
membuatnya bisa tetap maju. Arina tidak bisa tidak menutup matanya
rapat-rapat.
“Kita sudah sampai, Rin!” Suara
riang Chandra membuat cewek itu berani membuka mata. “Selamat
datang... di festival!”
Arina melongo. Nggak, lebih tepatnya
ternganga. Di hadapannya, di mana seharusnya hanya ada lapangan
kosong yang sepi, berdiri berbagai stan yang meriah. Layaknya sebuah
festival. Orang-orang berlalu-lalang, semuanya tersenyum lebar.
Suasananya mirip dengan festival di depan tadi, tapi entah kenapa
Arina merasa lebih tenang berada di sini.
Cewek itu menatap Chandra yang
tersenyum puas. “Ndra, ini...”
“Ini festival! Kayaknya seru, kan?
Sini, aku kasih liat lagi!”
“Eh?! T-tung—”
Chandra memasang aksi tuli, tidak
dengar teriakan protes Arina sama sekali. Dia membawa gadis itu
berkeliling. Melihat-lihat stan yang sangat banyak. Di satu stan,
terdapat pohon cemara tinggi, dedaunan hijau diselimuti berbagai
pita, lonceng, boneka, maupun permen mainan. Di puncak pohon, sebuah
bintang segilima besar berdiri kokoh, berkilauan, menarik perhatian
semua orang. Di dalam stan itu semua orang memakai baju tebal
berwarna merah dengan pinggiran wol putih, dengan topi runcing
senada. Mereka berbadan gemuk dan senyumnya sangat ramah, membuat
Arina tidak bisa tidak tersenyum.
Di stan yang lain, orang-orang memakai
baju tertutup, lengkap dengan kopiah bagi yang lelaki, dan jilbab
bagi yang perempuan. Banyak makanan, terutama ketupat yang disusun
dengan apik di atas meja. Senyum mereka kali ini menenangkan,
memaafkan. Hati Arina terasa sejuk melihat senyum mereka.
Chandra terus berkeliling, sesekali
menyapa para penjaga stan. Dia tersenyum senang saat melihat ekspresi
Arina. Gadis itu terpukau, senang, sekaligus keheranan. Ia tengah
memungut telur besar berornamen yang dijatuhkan oleh seorang anak
kecil. Anak kecil itu tersenyum lebar saat menerima telur yang
diserahkan oleh Arina.
“Terima kasih sudah mengambilkan
telurku, Kak! Ini, sebagai ucapan terima kasih!” seru bocah itu.
Dia memberikan beberapa butir telur ukuran mini kepada Arina, lalu
segera berlalu pergi. “Selamat Hari Paskah, Kak!”
Cewek itu menatap telur-telur di
genggamannya penuh tanda tanya. Paskah? Rasanya itu sudah lama
berlalu, deh! “Cokelat...,” gumamnya. “Terima kasih.”
.:.:.
“Chandra! Itu stan apa?” tanya
Arina, menunjuk sebuah stan yang didominasi warna merah. Ada lampion
merah, lampu merah, lilin merah, hingga mainan berbentuk tangkai
pendek yang dironce jadi satu berwarna merah. “Itu petasan ya?”
“Mau lihat?” tawar Chandra, yang
dijawab dengan anggukan penuh semangat. Keduanya menuju stan yang
ditunjuk Arina. “Oh, ini stan Imlek. Tahun Baru Cina, tahu kan?”
Arina mengangguk sambil mengamati
lilin-lilin besar berwarna merah. “Hebat ya! Semuanya berwarna
merah... Tapi, kenapa harus merah?” tanyanya saat mencolek hidung
sebuah boneka naga merah.
“Karena merah melambangkan
keselamatan.” Seorang wanita berkulit pucat tiba-tiba menyahut.
Tampaknya wanita itu salah satu penjaga stan tersebut, dilihat dari
pakaiannya yang serba merah. “Konon, warna merah inilah yang
berhasil mengusir Nian, sang Raksasa jahat yang suka memakan manusia.
Karena itu, kami memasang lampion berwarna merah di depan rumah,”
jelasnya, menunjuk salah satu lampion yang tergantung.
Arina mengangguk-angguk, dan
mengedarkan pandangan ke dalam stan. Rupanya di dalam ada sebuah meja
panjang yang dipenuhi oleh berbagai jenis makanan. “Hei, itu
makanan khas Imlek, ya?”
Wanita itu tersenyum. “Benar. Minimal
harus ada dua belas hidangan serta dua belas macam kue untuk
memperingati Imlek. Yang paling sering dipilih adalah mi, karena
melambangkan kemakmuran serta panjang umur,” jelasnya singkat,
namun cukup untuk membuat Arina mengangguk senang.
“Rin, sudah selesai?” panggil
Chandra. Kayaknya dia nggak sabar untuk melihat-lihat stan yang lain.
“Oh, maaf. Aku harus pergi. Terima
kasih sudah menjelaskannya padaku!” ujar Arina mohon pamit.
Sebenarnya ia masih ingin bertanya-tanya lagi pada wanita ramah ini,
tapi dia juga penasaran akan isi stan lainnya.
Wanita penjaga stan itu tersenyum
ramah. Ia mengulurkan sesuatu. “Ini kue mangkuk. Rasanya manis,
karena itu adalah harapan kami untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
manis di tahun yang baru. Gongxi facai,
semoga engkau mendapat rezeki juga keselamatan,” ujarnya sebagai
salam perpisahan. Arina menerima kue mangkuk itu, namun hatinya
merasa ada yang sedikit aneh.
Dia
tidak tahu, saat punggungnya semakin menjauh dari stan itu, sang
wanita menghilang begitu saja.
.:.:.
Chandra mengamati
raut wajah Arina. “Senang?”
“Iya! Pengen
mampir ke stan lain deh jadinya...,” jawab cewek itu antusias.
“Kali ini, kamu yang pilih! Ayo, mau ke stan yang mana?”
“Hmm...,”Chandra
mengelus-elus dagunya. Sepertinya serius sekali memikirkan tujuan
berikutnya. “Aku mau... ke sana!”
“Ng? Mana?”
Arina celingukan mencari stan yang dimaksud Chandra.
“Ituuu,
yang itu. Yang warnanya hitam sama orange
itu!” Sekali lagi cowok itu seenaknya saja menarik tangan Arina,
membuatnya hampir terjatuh. Sesampainya di stan itu, Arina bergidik
ngeri. Hiasannya menakutkan, meliputi labu-labu yang diukir hingga
punya wajah seram, mumi yang berada di dalam peti mati, hingga
topeng-topeng berwajah mengerikan. Orang-orang di dalam stan itu juga
mengenakan kostum yang didominasi tema monster berwarna hitam.
Arina menarik ujung
baju Chandra. “Iiih, apaan sih? Nyeremin gitu...”
“Hahaha, tenang
aja Rin, ini bukan monster beneran kok! Ini kan cuma stan Halloween.
Ayo, jangan takut!” ajak Chandra. Cowok itu geli melihat Arina yang
antara takut tapi penasaran. Langkahnya tegas tapi setengah diseret.
Lucu deh pokoknya.
“Trick or
treat, Kak!” teriak anak-anak kecil yang dalam sekejap sudah
mengelilingi mereka. Pakaian mereka macam-macam, ada yang vampir,
mumi, hingga ksatria. Seorang gadis kecil malah memakai gaun khas
putri. Mereka semua mengulurkan tangan, menunjukkan keranjang kecil
yang terisi permen.
Arina tersenyum
lebar. Dia jadi teringat akan film Hollywood yang pernah ia tonton
bersama Kristin. Anak-anak ini meminta jajanan, dan jika tidak diberi
mereka akan menjahili orang itu. Teringat akan cokelat berbentuk
telur yang ada di sakunya, Arina pun memberikannya kepada anak-anak
tersebut. Setelah mereka menjauh—mencari mangsa baru,
sepertinya—barulah Chandra mengajak Arina untuk lebih mendekat.
Arina dan Chandra
mengamati labu yang diukir menyerupai seraut wajah seram. Di dalamnya
terdapat lilin yang berkobar, membuat penampakan labu tersebut jadi
makin mengerikan.
“Kalian tertarik
dengan Jack o' Lantern?”
Keduanya langsung
menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki paruh baya, mengenakan topi
runcing khas penyihir, berjalan mendekat dengan rokok di tangan.
“Hahaha, Jack ini memang keren, kan?” ia tertawa.
“...namanya Jack
o' Lantern?” tanya Arina ragu.
“Betul, nona.
Konon, ada seorang pemuda bernama Jack. Saat meninggal, jiwanya tidak
diterima di surga karena perilakunya yang buruk semasa hidup, tapi
juga tidak diterima di neraka karena dia pernah mengusili setan. Jadi
dia berkelana mencari tempat peristirahatan terakhir sambil membawa
lentera labu ini. Makanya, dinamakan Jack o' Lantern,” terang
lelaki itu. “Tapi masih banyak cerita lain mengenai asal-usul
Halloween beserta aksesorinya. Ada juga yang bilang bahwa lentera
labu ini digunakan warga Irlandia untuk mengusir setan pembawa wabah
penyakit yang berkeliaran di malam 31 Oktober.”
Arina menatap pria
itu. Perasaan aneh yang tadi menyelimutinya setelah pergi dari stan
Imlek kembali menyerang. Tanpa sadar bulu kuduknya merinding. Dia
menoleh pada Chandra, mengisyaratkan bahwa ia ingin pergi dari sini.
Chandra mengangguk, lalu menggandeng tangan Arina. “Terima kasih,
Pak. Cerita yang menarik, tapi kami harus pergi,” ujar Chandra pada
pria paruh baya itu.
Salam dari Chandra
disambut kekehan pelan. “Iya, iya, bawalah nona ini pergi. Tidak
seharusnya dia berada di sini terlalu lama. Oh, ini ada
kenang-kenangan untuknya.” Pria itu mengulurkan tangan, memberikan
beberapa butir permen bentuk labu—dan cokelat telur! Arina
menerimanya dengan heran.
“Anu, tapi
ini...”
Pria itu
mengibaskan tangan. “Sudah tugas kami para orangtua untuk memberi
permen pada anak-anak,” dia terkekeh. “Dan kukembalikan cokelat
itu. Kenang-kenangan untukmu, nona muda. Nah, sekarang pergilah!”
Mengangguk pelan,
Chandra pun menyeret Arina pergi dari sana. Mereka melangkah ke arah
lorong dalam diam. Saat sudah tiba di muka lorong, barulah Arina bisa
angkat bicara.
“Ndra, sebetulnya
ini tempat apa, sih? Perasaanku aneh semenjak kita datang ke sini...”
Chandra tersenyum
penuh arti. “Itu nggak penting, Rin. Yang penting: apa yang sudah
kamu pelajari dari tempat ini?”
Pertanyaan Chandra
membuat Arina tersentak. Dia berpikir sebentar sebelum menjawab,
“Banyak perayaan... dan semuanya punya makna tersendiri. Perayaan
itu... ada untuk kita, para manusia. Manusia menciptakannya sebagai
ucapan syukur, maupun untuk menghindari petaka. Iya kan?”
“Betul. Lalu,
bagaimana dengan festival yang di sana?” tanya Chandra lagi, kali
ini menunjuk ke arah lorong. Samar-samar Arina bisa melihat orang
berlalu-lalang di seberang sana.
“Ah! Iya ya, aku
lupa sama sekali! Aku harus kembali, Ndra. Makasih atas semuanya!”
Tanpa menoleh lagi, Arina berlari. Dia sama sekali tidak tahu kalau
sosok Chandra semakin menipis, senyumnya semakin hilang terbawa
angin. Stan-stan beserta para pengunjungnya pun mengalami hal yang
sama. Semuanya lenyap begitu saja. Saat Arina menoleh, lapangan itu
sudah kembali menjadi lapangan sepak bola yang dia kenal, tanpa ada
bekas festival apapun di sana.
Rasa sedih dan
kekosongan menelusup ke dalam sanubari Arina. Sejak awal, sejak ia
melihat Chandra di lorong ini, dia tahu bahwa semuanya hanya
mimpi—sebatas ilusi. Nyata, tapi juga tidak nyata. Begitu pula
dunia yang barusan ia masuki. Permen-permen dalam genggamannya masih
ada, tapi orang-orang yang dia temui di sana sudah hilang.
Termasuk Chandra.
Arina tersenyum
kecil. “Kak Chandra, makasih ya. Kakak udah nunjukin makna dari
perayaan dan keramaian padaku. Aku akan berusaha mengubah cara
pandangku. Nggak lagi deh, aku anggap festival itu nggak penting.
Festival itu seru, menyenangkan. Kayak yang barusan Kakak tunjukin ke
aku. Sekali lagi, makasih ya...,” bisiknya perlahan kepada udara
kosong.
Dia tahu, angin
pasti akan membawa pesannya itu pada Chandra, kakaknya yang meninggal
setahun yang lalu.
.:.:.
Yakinlah, dia ada di
sana. Menanti dan mengawasi.
Yakinlah, dia masih
mencintaimu. Tersenyum jika engkau tersenyum.
Dan menunjukkan dunia
gemerlap saat engkau tersesat dalam gelap.
~FIN~
-27112011-
No comments:
Post a Comment