Thursday, August 23, 2012

[Orific] Padang Ilusi

Ini cerita yang saya buat untuk majalah sekolah, meaning this is a re-publish~ Tema majalah adalah perayaan, makanya ini menggabungkan beberapa perayaan yang terkenal di dunia.
 
Padang Ilusi
Vianna Orchidia (c) 2011

Di dunia yang cemerlang ini, adakah sejumput gelap?
Di dunia yang gulita ini, adakah setitik cahaya?

.:.:.

“Riiiin!! Ayo siniii!”

Cewek dengan rambut dikuncir satu itu mendecak kesal. “Udah kubilang, nggak mau!” jawabnya keras. Tanpa menunggu balasan, ia langsung memutar tubuh dan berlari menjauh dari makhluk berisik yang selama ini mengaku sebagai teman dekatnya. Ukh, teman dekat apanya. Seharian ini kok kerjanya maksa terus. Yang nonton ini lah, yang lihat itu lah, sampai bosan Arina mendengarnya.

Setelah memastikan Kristin nggak mengikutinya, barulah Arina bisa menghembuskan napas lega. Dia nggak terlalu suka keramaian, makanya merasa sangat tersiksa dengan adanya festival sekolah kayak begini. Orang-orang yang berlalu-lalang tanpa henti membuatnya merasa gelisah. Arina akhirnya memutuskan untuk menghindar dulu dari segala hiruk-pikuk ini. Dia pun membawa langkahnya ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya dihindari para siswa.

Entah kenapa, Arina justru suka suasana di halaman belakang itu. Lebih tepat disebut lapangan sepak bola sih, tempat tersebut dipenuhi rumput pendek dengan beberapa batang pohon besar di sisinya. Rasanya segar dan tenang. Untuk mencapai tempat itu, siswa harus melewati lorong sempit sepanjang dua meter. Agak tersembunyi dari lingkungan sekolah memang.

Arina baru saja menginjakkan kakinya di depan lorong itu, dan matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Seorang cowok berambut cepak bersandar di tepi lorong, dan saat Arina datang dia menoleh. Seakan-akan sudah lama menunggu Arina, dia langsung mengulurkan tangan. Senyumnya yang hangat menghapus keraguan di hati cewek itu. Rasa rindu yang tak tertahankan membimbingnya untuk berlari menyongsong si cowok.


“Chandra! Kok ada di sini?” sapa Arina, masih setengah tidak percaya.

Cowok itu menyeringai. “Lho, aku kan sudah sering muncul tanpa kabar begini?” Lalu dengan senyum yang sedikit lebih tulus, ia menyambung, “Kangen?”

“Ih! Pede!” tukas Arina sembari mendorong bahu Chandra pelan. “Serius nih, kok ada di sini? Nggak bilang apa-apa, lagi! Gimana kalau aku nggak ke sini?”

“Tenang, aku tahu kamu pasti mau ke lapangan bola. Cepat atau lambat. Soalnya aku tahu kamu nggak suka keramaian,” jawabnya dengan seringai jahil menyertai akhir kalimatnya. Sekali lagi Arina mendorong bahunya keki, tapi Chandra malah membalasnya dengan tawa.

“Hmm, berarti kamu masih nggak suka keramaian?”

“Yee, sudah tahu tetep tanya... Repot ah!”

Cowok itu tampak tidak terpengaruh oleh nada ketus Arina. “Kenapa nggak suka?”

“...pokoknya nggak suka. Rasanya aneh gimana gitu. Nggak tenang.”

“Terus, habis ini kamu mau ngapain?”

Ikut-ikutan bersandar di dinding seperti Chandra tadi, Arina menatap ke langit-langit. Seperti mencari jawaban di atas sana. “Ngapain, ya? Pengennya sih pulang, tapi di rumah juga nggak ada kerjaan...”

Tersenyum manis, Chandra menawarkan, “Mau ikut aku?”

“Hah? Ke mana?”

“Udaaah, ikut aja. Ayo!” Kali ini tanpa bertanya Chandra menggaet tangan cewek itu, memaksanya ikut melangkah ke dalam lorong. “Kamu tahu, acara sekolahmu itu dalam rangka apa?”

Masih sedikit terkejut campur kesal karena ditarik-tarik begitu saja, Arina menjawabnya dengan ragu. “Memperingati... hari ulang tahun sekolah?”

“Menurutmu itu penting, nggak?”

“...nggak, nggak juga. Ngabisin uang aja.”

“Nah, aku di sini... untuk memperlihatkanmu sesuatu. Sesuatu yang bisa bikin kamu berubah pikiran!”

Entah apa yang terjadi, namun saat lorong itu habis, hanya cahaya menyilaukan mata yang ada. Arina merasa seperti masuk ke dalam dunia yang berkemilau terang. Membuatnya mengambang di tengah-tengahnya, bagaikan seekor burung yang kehilangan arah dan tujuan. Hanya cekalan tangan Chandra yang membuatnya bisa tetap maju. Arina tidak bisa tidak menutup matanya rapat-rapat.

“Kita sudah sampai, Rin!” Suara riang Chandra membuat cewek itu berani membuka mata. “Selamat datang... di festival!”

Arina melongo. Nggak, lebih tepatnya ternganga. Di hadapannya, di mana seharusnya hanya ada lapangan kosong yang sepi, berdiri berbagai stan yang meriah. Layaknya sebuah festival. Orang-orang berlalu-lalang, semuanya tersenyum lebar. Suasananya mirip dengan festival di depan tadi, tapi entah kenapa Arina merasa lebih tenang berada di sini.

Cewek itu menatap Chandra yang tersenyum puas. “Ndra, ini...”

“Ini festival! Kayaknya seru, kan? Sini, aku kasih liat lagi!”

“Eh?! T-tung—”

Chandra memasang aksi tuli, tidak dengar teriakan protes Arina sama sekali. Dia membawa gadis itu berkeliling. Melihat-lihat stan yang sangat banyak. Di satu stan, terdapat pohon cemara tinggi, dedaunan hijau diselimuti berbagai pita, lonceng, boneka, maupun permen mainan. Di puncak pohon, sebuah bintang segilima besar berdiri kokoh, berkilauan, menarik perhatian semua orang. Di dalam stan itu semua orang memakai baju tebal berwarna merah dengan pinggiran wol putih, dengan topi runcing senada. Mereka berbadan gemuk dan senyumnya sangat ramah, membuat Arina tidak bisa tidak tersenyum.

Di stan yang lain, orang-orang memakai baju tertutup, lengkap dengan kopiah bagi yang lelaki, dan jilbab bagi yang perempuan. Banyak makanan, terutama ketupat yang disusun dengan apik di atas meja. Senyum mereka kali ini menenangkan, memaafkan. Hati Arina terasa sejuk melihat senyum mereka.

Chandra terus berkeliling, sesekali menyapa para penjaga stan. Dia tersenyum senang saat melihat ekspresi Arina. Gadis itu terpukau, senang, sekaligus keheranan. Ia tengah memungut telur besar berornamen yang dijatuhkan oleh seorang anak kecil. Anak kecil itu tersenyum lebar saat menerima telur yang diserahkan oleh Arina.

“Terima kasih sudah mengambilkan telurku, Kak! Ini, sebagai ucapan terima kasih!” seru bocah itu. Dia memberikan beberapa butir telur ukuran mini kepada Arina, lalu segera berlalu pergi. “Selamat Hari Paskah, Kak!”

Cewek itu menatap telur-telur di genggamannya penuh tanda tanya. Paskah? Rasanya itu sudah lama berlalu, deh! “Cokelat...,” gumamnya. “Terima kasih.”

.:.:.

“Chandra! Itu stan apa?” tanya Arina, menunjuk sebuah stan yang didominasi warna merah. Ada lampion merah, lampu merah, lilin merah, hingga mainan berbentuk tangkai pendek yang dironce jadi satu berwarna merah. “Itu petasan ya?”

“Mau lihat?” tawar Chandra, yang dijawab dengan anggukan penuh semangat. Keduanya menuju stan yang ditunjuk Arina. “Oh, ini stan Imlek. Tahun Baru Cina, tahu kan?”

Arina mengangguk sambil mengamati lilin-lilin besar berwarna merah. “Hebat ya! Semuanya berwarna merah... Tapi, kenapa harus merah?” tanyanya saat mencolek hidung sebuah boneka naga merah.

“Karena merah melambangkan keselamatan.” Seorang wanita berkulit pucat tiba-tiba menyahut. Tampaknya wanita itu salah satu penjaga stan tersebut, dilihat dari pakaiannya yang serba merah. “Konon, warna merah inilah yang berhasil mengusir Nian, sang Raksasa jahat yang suka memakan manusia. Karena itu, kami memasang lampion berwarna merah di depan rumah,” jelasnya, menunjuk salah satu lampion yang tergantung.

Arina mengangguk-angguk, dan mengedarkan pandangan ke dalam stan. Rupanya di dalam ada sebuah meja panjang yang dipenuhi oleh berbagai jenis makanan. “Hei, itu makanan khas Imlek, ya?”

Wanita itu tersenyum. “Benar. Minimal harus ada dua belas hidangan serta dua belas macam kue untuk memperingati Imlek. Yang paling sering dipilih adalah mi, karena melambangkan kemakmuran serta panjang umur,” jelasnya singkat, namun cukup untuk membuat Arina mengangguk senang.

“Rin, sudah selesai?” panggil Chandra. Kayaknya dia nggak sabar untuk melihat-lihat stan yang lain.

“Oh, maaf. Aku harus pergi. Terima kasih sudah menjelaskannya padaku!” ujar Arina mohon pamit. Sebenarnya ia masih ingin bertanya-tanya lagi pada wanita ramah ini, tapi dia juga penasaran akan isi stan lainnya.

Wanita penjaga stan itu tersenyum ramah. Ia mengulurkan sesuatu. “Ini kue mangkuk. Rasanya manis, karena itu adalah harapan kami untuk mendapatkan kehidupan yang lebih manis di tahun yang baru. Gongxi facai, semoga engkau mendapat rezeki juga keselamatan,” ujarnya sebagai salam perpisahan. Arina menerima kue mangkuk itu, namun hatinya merasa ada yang sedikit aneh.

Dia tidak tahu, saat punggungnya semakin menjauh dari stan itu, sang wanita menghilang begitu saja.

.:.:.

Chandra mengamati raut wajah Arina. “Senang?”

“Iya! Pengen mampir ke stan lain deh jadinya...,” jawab cewek itu antusias. “Kali ini, kamu yang pilih! Ayo, mau ke stan yang mana?”

“Hmm...,”Chandra mengelus-elus dagunya. Sepertinya serius sekali memikirkan tujuan berikutnya. “Aku mau... ke sana!”

“Ng? Mana?” Arina celingukan mencari stan yang dimaksud Chandra.

Ituuu, yang itu. Yang warnanya hitam sama orange itu!” Sekali lagi cowok itu seenaknya saja menarik tangan Arina, membuatnya hampir terjatuh. Sesampainya di stan itu, Arina bergidik ngeri. Hiasannya menakutkan, meliputi labu-labu yang diukir hingga punya wajah seram, mumi yang berada di dalam peti mati, hingga topeng-topeng berwajah mengerikan. Orang-orang di dalam stan itu juga mengenakan kostum yang didominasi tema monster berwarna hitam.

Arina menarik ujung baju Chandra. “Iiih, apaan sih? Nyeremin gitu...”

“Hahaha, tenang aja Rin, ini bukan monster beneran kok! Ini kan cuma stan Halloween. Ayo, jangan takut!” ajak Chandra. Cowok itu geli melihat Arina yang antara takut tapi penasaran. Langkahnya tegas tapi setengah diseret. Lucu deh pokoknya.

Trick or treat, Kak!” teriak anak-anak kecil yang dalam sekejap sudah mengelilingi mereka. Pakaian mereka macam-macam, ada yang vampir, mumi, hingga ksatria. Seorang gadis kecil malah memakai gaun khas putri. Mereka semua mengulurkan tangan, menunjukkan keranjang kecil yang terisi permen.

Arina tersenyum lebar. Dia jadi teringat akan film Hollywood yang pernah ia tonton bersama Kristin. Anak-anak ini meminta jajanan, dan jika tidak diberi mereka akan menjahili orang itu. Teringat akan cokelat berbentuk telur yang ada di sakunya, Arina pun memberikannya kepada anak-anak tersebut. Setelah mereka menjauh—mencari mangsa baru, sepertinya—barulah Chandra mengajak Arina untuk lebih mendekat.

Arina dan Chandra mengamati labu yang diukir menyerupai seraut wajah seram. Di dalamnya terdapat lilin yang berkobar, membuat penampakan labu tersebut jadi makin mengerikan.

“Kalian tertarik dengan Jack o' Lantern?”

Keduanya langsung menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki paruh baya, mengenakan topi runcing khas penyihir, berjalan mendekat dengan rokok di tangan. “Hahaha, Jack ini memang keren, kan?” ia tertawa.

“...namanya Jack o' Lantern?” tanya Arina ragu.

“Betul, nona. Konon, ada seorang pemuda bernama Jack. Saat meninggal, jiwanya tidak diterima di surga karena perilakunya yang buruk semasa hidup, tapi juga tidak diterima di neraka karena dia pernah mengusili setan. Jadi dia berkelana mencari tempat peristirahatan terakhir sambil membawa lentera labu ini. Makanya, dinamakan Jack o' Lantern,” terang lelaki itu. “Tapi masih banyak cerita lain mengenai asal-usul Halloween beserta aksesorinya. Ada juga yang bilang bahwa lentera labu ini digunakan warga Irlandia untuk mengusir setan pembawa wabah penyakit yang berkeliaran di malam 31 Oktober.”

Arina menatap pria itu. Perasaan aneh yang tadi menyelimutinya setelah pergi dari stan Imlek kembali menyerang. Tanpa sadar bulu kuduknya merinding. Dia menoleh pada Chandra, mengisyaratkan bahwa ia ingin pergi dari sini. Chandra mengangguk, lalu menggandeng tangan Arina. “Terima kasih, Pak. Cerita yang menarik, tapi kami harus pergi,” ujar Chandra pada pria paruh baya itu.

Salam dari Chandra disambut kekehan pelan. “Iya, iya, bawalah nona ini pergi. Tidak seharusnya dia berada di sini terlalu lama. Oh, ini ada kenang-kenangan untuknya.” Pria itu mengulurkan tangan, memberikan beberapa butir permen bentuk labu—dan cokelat telur! Arina menerimanya dengan heran.

“Anu, tapi ini...”

Pria itu mengibaskan tangan. “Sudah tugas kami para orangtua untuk memberi permen pada anak-anak,” dia terkekeh. “Dan kukembalikan cokelat itu. Kenang-kenangan untukmu, nona muda. Nah, sekarang pergilah!”

Mengangguk pelan, Chandra pun menyeret Arina pergi dari sana. Mereka melangkah ke arah lorong dalam diam. Saat sudah tiba di muka lorong, barulah Arina bisa angkat bicara.

“Ndra, sebetulnya ini tempat apa, sih? Perasaanku aneh semenjak kita datang ke sini...”

Chandra tersenyum penuh arti. “Itu nggak penting, Rin. Yang penting: apa yang sudah kamu pelajari dari tempat ini?”

Pertanyaan Chandra membuat Arina tersentak. Dia berpikir sebentar sebelum menjawab, “Banyak perayaan... dan semuanya punya makna tersendiri. Perayaan itu... ada untuk kita, para manusia. Manusia menciptakannya sebagai ucapan syukur, maupun untuk menghindari petaka. Iya kan?”

“Betul. Lalu, bagaimana dengan festival yang di sana?” tanya Chandra lagi, kali ini menunjuk ke arah lorong. Samar-samar Arina bisa melihat orang berlalu-lalang di seberang sana.

“Ah! Iya ya, aku lupa sama sekali! Aku harus kembali, Ndra. Makasih atas semuanya!” Tanpa menoleh lagi, Arina berlari. Dia sama sekali tidak tahu kalau sosok Chandra semakin menipis, senyumnya semakin hilang terbawa angin. Stan-stan beserta para pengunjungnya pun mengalami hal yang sama. Semuanya lenyap begitu saja. Saat Arina menoleh, lapangan itu sudah kembali menjadi lapangan sepak bola yang dia kenal, tanpa ada bekas festival apapun di sana.

Rasa sedih dan kekosongan menelusup ke dalam sanubari Arina. Sejak awal, sejak ia melihat Chandra di lorong ini, dia tahu bahwa semuanya hanya mimpi—sebatas ilusi. Nyata, tapi juga tidak nyata. Begitu pula dunia yang barusan ia masuki. Permen-permen dalam genggamannya masih ada, tapi orang-orang yang dia temui di sana sudah hilang.

Termasuk Chandra.

Arina tersenyum kecil. “Kak Chandra, makasih ya. Kakak udah nunjukin makna dari perayaan dan keramaian padaku. Aku akan berusaha mengubah cara pandangku. Nggak lagi deh, aku anggap festival itu nggak penting. Festival itu seru, menyenangkan. Kayak yang barusan Kakak tunjukin ke aku. Sekali lagi, makasih ya...,” bisiknya perlahan kepada udara kosong.

Dia tahu, angin pasti akan membawa pesannya itu pada Chandra, kakaknya yang meninggal setahun yang lalu.

.:.:.

Yakinlah, dia ada di sana. Menanti dan mengawasi.
Yakinlah, dia masih mencintaimu. Tersenyum jika engkau tersenyum.
Dan menunjukkan dunia gemerlap saat engkau tersesat dalam gelap.
~FIN~
-27112011-

No comments:

Post a Comment