Thursday, August 23, 2012

[Orific] Sang Pencipta

Re-publish dari FictionPress. Yang terakhir deh..... .____.v

 
Vianna Orchidia (c) 2012
Sang Pencipta

"Bumi ini pun... semakin sakit, ya."

Wanita dengan rambut hitam menjuntai, panjang hingga mata kaki, berbisik pada dirinya sendiri. Di hadapannya adalah cermin tinggi besar, berbingkai ukiran paling rumit di dunia, terbuat dari kayu dan berhias emas. Dari dalam cermin itu ia menatap nanar sebentuk bola sedikit pepat berwarna biru dan hijau dan cokelat—terkadang titik-titik merah menyala pun terlihat di permukaannya.

Bumi. Bagian dari tubuhnya sendiri, bagian dari Sang Gaia.

"Oh, Uranus," desahnya pelan, suaranya tercekat hingga hampir tak terdengar. "Lihatlah, lihat apa yang dilakukan anak-anak manusia itu pada tubuhku. Rusak, sakit, tak lagi indah seperti dulu. Apa yang harus kita lakukan?"

Lelaki tampan, meski wajahnya telah diwarnai guratan usia, ikut memandangi Bumi di dalam cermin ajaib itu. Sorot matanya pun nanar, ikut merasakan pilu dan nyeri pada istrinya. "Gaia, istriku...," balasnya lembut. "Aku pun sudah mulai rusak. Langit tak lagi cemerlang, melainkan dipenuhi asap yang perlahan melubangi udara. Sudah sulit untuk mendapat angin segar seperti dulu. Rasanya tubuhku telah begitu kotor—kotor yang tidak mau hilang." Lelaki itu tersenyum simpul. "Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan. Tugas kita hanya membentuk, mengatur agar bisa ditempati. Dan setelah manusia pertama memasuki Bumi serta langitnya... tugas kita selesai. Tinggal mengamati."

"Aku tahu, Uranus... tapi tidakkah mereka sadar, bahwa menyakiti Bumi juga menyakiti diri sendiri? Bumi adalah bagian dari tubuhku, manusia pun bagian dari hidupku... Apakah anak-anak itu demikian bodoh?"

"Mereka hanya tidak sadar, Gaia. Mereka tidak tahu dari mana mereka berasal, karena itu mereka bisa bertingkah semaunya. Tapi lihatlah...," Uranus menunjuk satu bagian dari Bumi, di mana manusia-manusia tengah berkumpul, menanam pohon di lahan gundul. "Tidak semuanya tenggelam dalam ketidaksadaran. Masih ada yang mau membuka mata."

Setelah terpaku beberapa saat, sudut bibir Gaia tertarik, membentuk seulas senyum yang begitu damai. "Benar. Kita hanya bisa berharap, bahwa semakin banyak manusia yang mau menyadarinya..."
"Bumi dan langitnya, kami serahkan pada kalian, anak manusia."

FIN
-04152012-

No comments:

Post a Comment