Thursday, September 27, 2012

[Orific] Memoria

Re-publish from the note on my facebook.

For [#FF2in1] 25 September 2012 (1)
Theme Song: Sedang Apa Dan Di Mana - Sammy Simorangkir
Word count: 400

“Hei.”

Gadis dengan rambut pendek itu mendongak. Rona merah menyapu wajahnya yang berbentuk hati, membuatnya terlihat imut sekali. Poninya yang sudah agak panjang disibak ke belakang menggunakan bando hitam sederhana. Penampilannya segar. Dan bahkan dari jarak sebegini jauh, aku bisa mencium harum sabun yang menguar dari tubuhnya.

Aku tersenyum. “Pasti baru mandi nih?”

Jawabannya sedikit malu-malu. “Iya...”

“Mel, Mel... Padahal kita kan cuma mau ke alun-alun buat wawancara pedagang bakso. Niat amat dandannya?” godaku, senang bisa membuat gadis manis ini semakin gugup.

“Umm, yaah, namanya juga cewek, Yan... Malu kalau nggak rapi.”

Hmm. Smart answer. Anak perempuan memang beda sama kami, para adam yang kadang seenaknya sendiri dalam berpenampilan. Aku melirik bajuku sendiri sore ini: kaos v-neck yang gambarnya sudah agak luntur, celana jins selutut, dan sneakers yang entah kapan terakhir kali dicuci—dan aku meringis dalam hati. Seperti bumi dan langit dengan penampilan Melly. Kugaruk bagian belakang kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Malah aku nih yang malu, lusuh begini...”

Tapi cepat-cepat gadis itu tersenyum menenangkan. “Nggak kok, Yan. Udah bagus kok.”

“Haha, kurang rapi nih, padahal nanti kita harus foto sama pedagang bakso yang diwawancarai kan...,” sesalku. “Duh, padahal dari dulu Anita tuh—”

Menyebut nama Anita membuatku tertegun sendiri. Menyebut nama gadis yang sempat merajut kisah denganku, rasanya mengganjal. Padahal selama ini aku berusaha move on dari hubungan kami yang sudah kandas dua bulan yang lalu, bahkan berusaha mendekati Melly yang serba-perfect ini, tapi nyatanya dadaku masih terasa terhimpit kalau mengingat Anita.

Dulu, Anita yang paling rajin memberiku nasihat. Ini-itu, macam-macam yang dia minta dariku. Mulai dari menyuruhku pakai baju yang minimal tidak lusuh kalau kencan dengannya, memintaku mengurangi rokok, sampai mengingatkanku untuk belajar tiap malam. Kadang kusebut dia bawel, tapi kadang aku tahu nasihatnya itu memang benar. Kalau tidak ada dia, mana bisa aku bebas dari lintingan tembakau laknat itu, coba?

Sebesar itu arti hadirnya bagiku.

Tapi, Anita yang seperti itu, entah mengapa lama-lama hilang. Jadi jauh. Bawelnya tidak lagi menggangguku. Aku sudah mulai merasakan kejanggalan itu sejak beberapa minggu sebelum kami putus, tapi kukira itu hanya karena dia ada masalah.

Ternyata, masalahnya adalah aku bukan lagi orang yang paling dicintainya.

“Ryan?” panggil Melly lembut, membuatku tersentak. Aku tersenyum meminta maaf padanya, karena sudah mengabaikannya selama beberapa menit.

“Sori, ngelamun bentar,” ujarku.

Seulas senyum dari Melly membuatku teringat lagi pada Anita.

Sedang apa, dan ada di mana kamu, Nit? Kamu, yang dulu kucinta...

FIN

No comments:

Post a Comment