Friday, September 28, 2012

[Orific] Revenge

For [#FF2in1] 28 September 2012 (2)
Theme: Mendua
Word count: 375

Siang ini, aku tertawa. Sangat keras, sampai-sampai otot perutku protes karena dipakai untuk tertawa berlebihan. Tapi, tunggu sebentar, perut. Aku masih belum puas tertawa. Aku belum puas menertawai perempuan yang duduk di kursi yang berhadap-hadapan denganku ini.

Oooh, dan cemberutnya itu! Raut wajahnya sudah seasam cuka basi. Garis bibirnya tertarik ke depan, sungguh tidak anggun sama sekali. Berseberangan seratus delapan puluh derajat dari pakaian resmi yang dia kenakan. Membuat banyolan siang ini semakin terasa lucu.

Tentu saja, hanya bagiku.

Berhenti tertawa, atau aku pergi sekarang dan kamu harus bayar makan siang kita,” ancam perempuan itu akhirnya.

Berusaha mengerem laju tawaku—hei, dompetku tidak setebal punyanya!—dan menelan humor yang berlebihan dalam darahku, aku pun meraih gelas es tehku dan menyeruput isinya sedikit. “Sorry, girl. Nggak sengaja.” Aku mengambil napas dalam sekali, lalu melanjutkan, “jadi kamu mau aku menulis artikel untuk koranmu...”

Tabloid-ku,” koreksinya cepat.

Aku mengibaskan tangan. Dasar kepala editor. Terlalu cermat. “Ya ya, tabloid, dan kamu mau aku menulis tentang perselingkuhan?”

Benar.”

Kenapa?” tanyaku sembari menopang dagu.

Sorot matanya intens, berbicara bahkan lebih banyak dari yang keluar dari mulutnya. “Aku butuh orang yang... berpengalaman.”

Aku mendengus, memilin sejumput rambut yang bergelantungan di depan mataku. “Jadi itu anggapanmu tentangku selama ini? Berpengalaman dalam hal mendua?”

Dia mengedikkan bahu. “Dulu kau bangga karena punya dua pacar,” ujarnya santai. Tanpa dosa.

Seyla...,” aku memulai. “Itu dulu. Sekarang, sudah beda. Aku kapok mendua. Selingkuh. Apapun lah istilahmu. Dan aku sama sekali nggak tertarik untuk berbagi cerita soal kisah asmaraku itu.”

Kenapa? Takut kalau image baikmu tercoreng?” Di bibirnya yang semerah darah itu tersungging senyum kemenangan.

Aih, lagi-lagi aku ingin tertawa. Sekaligus muntah. Tepat di depan mukanya. Tapi demi menjaga harga diri dan keanggunan yang kupunya, aku hanya meraih tas tanganku dari kursi di sebelahku, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang sebagai bagianku dalam acara makan siang ini. “Image baik?” aku mendengus penuh ejekan sambil berdiri. “Oh, tentu saja.”

H-hei, mau ke mana kamu, Rin?”

Aku menyeringai. “Kalau ingin membahas masalah mendua, sepertinya Nyonya Kepala Editor ini punya lebih banyak pengalaman daripada aku... Iya kan, Seyl? Tuh, PIL-mu sudah nungguin.”

Lalu aku melenggang pergi, meninggalkan Seyla terpaku dan tertohok, puas karena bisa membalaskan dendam lama pada perempuan yang sudah menjadi selingkuhan kekasihku, lima tahun silam.

No comments:

Post a Comment