For [#FF2in1] 28 September 2012 (2)
Theme: Mendua
Word count: 375
Siang ini, aku tertawa. Sangat keras, sampai-sampai otot perutku protes karena dipakai untuk tertawa berlebihan. Tapi, tunggu sebentar, perut. Aku masih belum puas tertawa. Aku belum puas menertawai perempuan yang duduk di kursi yang berhadap-hadapan denganku ini.
Theme: Mendua
Word count: 375
Siang ini, aku tertawa. Sangat keras, sampai-sampai otot perutku protes karena dipakai untuk tertawa berlebihan. Tapi, tunggu sebentar, perut. Aku masih belum puas tertawa. Aku belum puas menertawai perempuan yang duduk di kursi yang berhadap-hadapan denganku ini.
Oooh,
dan cemberutnya itu! Raut wajahnya sudah seasam cuka basi. Garis
bibirnya tertarik ke depan, sungguh tidak anggun sama sekali.
Berseberangan seratus delapan puluh derajat dari pakaian resmi yang
dia kenakan. Membuat banyolan siang ini semakin terasa lucu.
Tentu
saja, hanya bagiku.
“Berhenti
tertawa, atau aku pergi sekarang dan kamu harus bayar makan siang
kita,” ancam perempuan itu akhirnya.
Berusaha
mengerem laju tawaku—hei, dompetku tidak setebal punyanya!—dan
menelan humor yang berlebihan dalam darahku, aku pun meraih gelas es
tehku dan menyeruput isinya sedikit. “Sorry, girl.
Nggak sengaja.” Aku mengambil napas dalam sekali, lalu melanjutkan,
“jadi kamu mau aku menulis artikel untuk koranmu...”
“Tabloid-ku,”
koreksinya cepat.
Aku
mengibaskan tangan. Dasar kepala editor. Terlalu cermat. “Ya ya,
tabloid, dan kamu mau
aku menulis tentang perselingkuhan?”
“Benar.”
“Kenapa?”
tanyaku sembari menopang dagu.
Sorot
matanya intens, berbicara bahkan lebih banyak dari yang keluar dari
mulutnya. “Aku butuh orang yang... berpengalaman.”
Aku
mendengus, memilin sejumput rambut yang bergelantungan di depan
mataku. “Jadi itu anggapanmu tentangku selama ini? Berpengalaman
dalam hal mendua?”
Dia
mengedikkan bahu. “Dulu kau bangga karena punya dua pacar,”
ujarnya santai. Tanpa dosa.
“Seyla...,”
aku memulai. “Itu dulu. Sekarang, sudah beda. Aku kapok mendua.
Selingkuh. Apapun lah istilahmu. Dan aku sama sekali nggak tertarik
untuk berbagi cerita soal kisah asmaraku itu.”
“Kenapa?
Takut kalau image
baikmu tercoreng?” Di bibirnya yang semerah darah itu tersungging
senyum kemenangan.
Aih,
lagi-lagi aku ingin tertawa. Sekaligus muntah. Tepat di depan
mukanya. Tapi demi menjaga harga diri dan keanggunan yang kupunya,
aku hanya meraih tas tanganku dari kursi di sebelahku, lalu
mengeluarkan beberapa lembar uang sebagai bagianku dalam acara makan
siang ini. “Image baik?” aku mendengus penuh ejekan sambil
berdiri. “Oh, tentu saja.”
“H-hei,
mau ke mana kamu, Rin?”
Aku
menyeringai. “Kalau ingin membahas masalah mendua, sepertinya
Nyonya Kepala Editor ini punya lebih banyak pengalaman daripada
aku... Iya kan, Seyl? Tuh, PIL-mu sudah nungguin.”
Lalu
aku melenggang pergi, meninggalkan Seyla terpaku dan tertohok, puas
karena bisa membalaskan dendam lama pada perempuan yang sudah menjadi
selingkuhan kekasihku, lima tahun silam.
No comments:
Post a Comment