Wednesday, November 7, 2012

Awal dan Kemudian

Ada yang bilang, sudah naluri dasar manusia untuk tetap di dalam zona nyamannya. Berlindung dari badai bernama perubahan. Menjauhi duri-duri kehidupan yang kadang, bisa menusuk dengan begitu kejam, tak kenal ampun. Menusuk sampai kita kehabisan darah dan kehabisan napas.

Saya jadi berpikir. Apakah saya pun seperti itu? Sejauh mana yang dikatakan sebagai 'zona nyaman' bagi saya?



Mungkin, dulu saya pernah jadi anak penakut. Sebetulnya bukan penakut juga sih, melainkan pemalu. Introvert. Susah bergaul dengan orang. Nggak pintar mencari topik pembicaraan. Zona nyaman saya, adalah oranng-orang yang saya kenal, dan saya sukai. Saya nggak berani mendekati orang baru.

Haha, tapi kalau terus begitu, saya nggak bakal survive di dunia ini. Terutama karena saya ini penggemar berat berbagai macam kompetisi Sains/Biologi dan Bahasa Inggris, dan nggak selalu ada teman yang bisa diajak bareng. Ada saat-saat di mana saya harus berjuang sendirian. Kalau dihitung-hitung, sudah sekitar empat kali saya ikut lomba dengan kondisi forever alone. Nggak ada teman satu sekolah. Bahkan nggak ada guru pendamping.

Benar-benar Sen-Di-Ri.

Pernah juga, waktu SD, saya satu-satunya yang terpilih buat mengikuti pembinaan IMSO IPA di Jakarta. Memang sih ada guru saya dan okaa-sama, tapi kami kan dikarantina gitu, susah mau ketemu. Tetap saja intinya saya sendiri lagi. Mana saya masih kecil pula. Awalnya makan sendiri, di kelas sendiri--wow.

Kalau sudah dihadapkan dalam kondisi semacam itu, apa iya saya cuma diam bergelut dalam zona nyaman saya? Padahal, manusia itu makhluk sosial kan? Nggak mungkin saya mau diam dan menyendiri selama seharian (atau kalau beruntung, dua hari) penuh. Kayak apa aja. Jadi ya saya ajak orang lain bicara. Standar saja sih pertanyaannya, siapa namanya, kelas berapa, dari mana. Nanti juga akrab-akrab sendiri, terutama kalau anak yang diajak bicara itu pada dasarnya juga bukan anak yang introvert kayak saya.

Nah, menurut saya, hanya segitu pun namanya 'keluar dari zona nyaman'. Butuh keberanian dan kenekatan lho, bagi saya untuk memulai percakapan. Tapi nyatanya, saya sudah berhasil mengalahkan diri saya sendiri sehingga akhirnya bisa punya banyak teman dari berbagai daerah.

Saya ada cerita lain soal keluar dari zona nyaman. Sekitar setengah tahun yang lalu, saat selesai semester ganjil kelas 11, sekolah saya dihebohkan dengan adanya rencana pemekaran kelas. Jadi, ada enam anak yang diambil dari tiap kelas dan dimasukkan ke kelas baru, untuk tiap IPA dan IPS. Dan yang kena pertama kali, adalah angkatan kami.

Bayangkan rasanya. Kami baru satu semester bersama (pembagian IPA/IPS waktu naik ke kelas 11), masa udah mau dipisah lagi, coba? Apalagi, penentuan siapa yang 'ter-exile' itu pakai undian. Saya masih ingat, suasana kelas kami benar-benar suram waktu itu. Suram, tapi sekaligus heboh.

Pengambilan undian berdasarkan absen. Saya termasuk absen awal, jadi lebih cepat merasakan 'eksekusi'. Ternyata saya lolos. Jadi saya kembali ke bangku saya, menanti dengan berdebar-debar siapa yang akhirnya akan berpisah dari kelas kami.

Tiap satu anak mendapatkan 'you're it', air mata merebak. Sungguh. Biar baru setengah tahun, tapi sesakit ini bila 'kehilangan' teman. Tapi, well, waktu itu saya masih berhati batu, nggak ikutan nangis-nangis.

Sampai, teman sebangku saya, teman klop saya, teman sehidup-semati saya (ceilah) ternyata mendapatkan 'you're it'. Oh, astaga. Kali ini saya akhirnya nangis. Perasaan campur aduk. Jujur, saya takut dengan masa depan saya. Bisa dibilang, yang bisa dekat dengan saya di kelas baru teman sebangku saya itu (panggil aja HepiJelly). Saya takut kalau nanti saya bakal terasing di kelas. Pengen banget demo ke wali kelas. Atau apalah. Pokoknya campur aduk deh.

Tapi, setelah berpikir lebih tenang, saya sadar. Inilah waktunya saya keluar dari zona nyaman saya. Saya relakan saja. Bahkan waktu ada teman sekelas saya yang menawarkan pindah ke kelas baru menggantikan HepiJelly, atau menyarankan saya ikutan pindah, saya bilang, tidak. Saya harus bisa rela. Saya harus bisa menjalani hidup saya sendiri. Saya harus bisa.

Dan hasilnya? Saya menemukan Rose. Saya menemukan rasa bangga dan bahagia berada di kelas saya sekarang.

Perjuangan saya menembus garis batas zona nyaman juga ada di post yang lalu. Dengan cara yang sedikit ekstrem, saya berhasil mengatasi rasa takut terhadap katak. Dengan cara yang lumayan ekstrem juga, saya belajar mengatasi rasa jijik saya pada ikan mentah.

Intinya? Keluar dari zona nyaman itu, hanya awalnya saja.

Bayangkan begini. Zona nyaman kita misalkan sebagai suatu kebun, yang sudah lama kita urusi dengan penuh kasih sayang. Kebun ini dikelilingi pagar, yang bagian luarnya berupa hutan lebat. Awalnya kita nggak mau keluar dari kebun ini. Tapi dengan satu langkah berani, satu langkah revolusioner, kita akhirnya melangkah keluar. Dan di hutan itu, sedikit demi sedikit kita tebang pohonnya. Kita potong semak belukarnya. Sampai pada satu titik, kita berhenti dan melihat sekeliling, ternyata area hutan yang kita masuki lalu kita buka itu, sudah menjadi bagian dari kebun. Sudah jadi bagian dari zona nyaman kita. 

Nah, dengan berkali-kali melangkah keluar, bukankah itu berarti kita memperluas zona nyaman? Dan, bukankah ruang yang luas dan lapang itu menyenangkan? Kita bebas bergerak di dalamnya. Seperti itulah.

Oleh karena itu, teman-teman semua, mari kita tapakkan kaki di luar 'kebun' zona nyaman kita masing-masing. Menakutkan itu hanya pada bayangan kita sendiri. Lakukan saja, tanpa banyak berpikir. Lakukan saja, dan biarkan tubuh kita rasakan sendiri. Lakukan saja, cukup satu langkah, dan biarkan alam serta waktu lakukan sisanya.

No comments:

Post a Comment