Thursday, November 8, 2012

Contek-Contekan Hore!

[Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam lomba blog oleh Indonesia Berkibar, Gerakan Indonesia Berkibar Blog Competition 2012 dengan tema "Guruku Pahlawanku".]


Lie of lives to the netherworld,
Lie in yourself and your words,
Lie because you are the liar,
Vianna desu.

 Kalau ditanyai pendapat soal kualitas pendidikan Indonesia saat ini, yang jadi perhatian saya cukup yang ada di lingkungan saya sendiri. Satu masalah yang begitu berat, belum ada solusinya. Satu masalah yang menjadi akar dari berbagai masalah lain.

Bobroknya kejujuran.



Sebetulnya jujur itu apa, sih? Kalau dilihat di KBBI, arti "jujur" adalah "lurus, tidak berbohong, tidak curang". Semudah itu. Tapi entah mengapa, penerapannya sendiri sangat sulit.

Saya adalah murid. Saya berada di lingkungan anak-anak, yang tiap hari berangkat ke sekolah, menimba ilmu, menghadapi ujian, mengejar nilai. Saya sama kok seperti murid-murid lain. Tapi anehnya, saya sendiri heran dengan kelakuan di antara murid-murid yang lain--yang mana merupakan teman-teman saya sendiri.

Ulangan adalah momok. Pasti banyak yang setuju kan? Kita menganggapnya sesuatu yang menakutkan, karena nilai ulangan itu sendiri seperti judgment atas proses belajar kita selama ini. Nggak heran, kalau kita selalu berusaha mendapat nilai bagus dalam tiap ulangan. Semua siswa pasti sama. Mana ada siswa yang mau dapat nilai merah?

Tinggal caranya saja, yang bervariasi.

Saya, tanpa ada maksud untuk menjelek-jelekkan almamater maupun kota tempat tinggal saya, mengakui bahwa saya malu. Malu sekali dengan kebiasaan murid-murid di sini. Malu sekaligus heran pangkat dua ribu, yang nggak pernah ada habisnya.

Karena, 90% siswa memilih jalan pintas alias curang. Dan ini bukan hanya di kelas saya. Bukan hanya di sekolah saya. Bukan hanya di jenjang SMA. Tapi semua jenjang pendidikan. Bahkan saya nggak akan heran kalau ternyata ada yang curang saat mengerjakan UKG.

Curangnya sendiri macam-macam. Mulai dari bertanya ke teman, membuka catatan saat mengerjakan (istilah Jawa-nya, ngrepek), sampai bagi-bagi soal ulangan dengan kelas lain agar bisa tahu jawabannya lebih dulu. Yang paling hebat, ya teman-teman saya. Sebelum ulangan dimulai kok sudah mengisi lembar jawaban lengkap. Keren kan?

Di kota saya, curang itu hal biasa. Justru kalau anak-anak bisa ulangan tanpa curang sama sekali, itu baru luar biasa. Saking biasanya, guru-guru sampai sudah tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mencegah tindak kecurangan. Tinggal bisa pasrah. Nasihat, peringatan, ancaman, apapun cuma masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Ngowos.

Sebagai bagian dari lingkungan yang seperti itu, saya bisa leluasa mengamati polanya. Menakjubkan sekali, lho. Anak-anak yang sebetulnya berotak encer pun masih mengandalkan ngrepek tiap ulangan. Apalagi yang memang kemampuan akademisnya pas-pasan--wah, bisa-bisa selama setengah jalan ulangan mereka cuma diam, baru setelah temannya selesai minta jawaban.

Selain itu, mereka yang lebih pintar dengan senang hati 'membantu' teman-temannya yang kesusahan. Tapi kalau menurut saya sih itu 'menjerumuskan'. Mengajarkan mereka untuk santai dan tidak belajar serius dan tinggal mengharap jawaban dari sesama.

Ulangan semester tidak beda dengan ulangan semester. Oh, tidak, malah ulangan semester itu seperti 'ladang panen'. Berhubung satu angkatan soalnya sama semua dan dikerjakan dalam waktu yang sama pula, arus jawaban pun mengalir lebih lancar dari air sungai. Tidak peduli dari kelas mana, satu orang tinggal jadi sumber dan jawaban pun bisa menyebar ke seluruh angkatan melalui jaringan SMS maupun BBM (ini nih yang sekarang efektif banget buat menyebarkan jawaban, cepat dan luas!).

Di satu sisi, ini mengerikan.

Sebegitunya siswa tidak percaya dengan kemampuan sendiri? Sebegitunya siswa bergantung pada jawaban orang lain? Mau nggak mau, saya merasa sedih juga.

Saya sering berbagi pendapat dengan okaa-sama. Cerita pengalaman begini-begitu pas tadi di sekolah ulangan. Dan bertahun-tahun saya menceritakan hal yang intinya sama, yakni kecurangan saat ulangan, sampai sekarang saya dan okaa-sama masih bingung. Kenapa ya, sampai sebegitunya? Kenapa sih, kecurangan itu bisa mendarah-daging?

Teori kami berdua, ada beberapa. Yang pertama, anggapan bahwa nilai di atas kertas adalah segalanya. Dan mungkin, di banyak keluarga, nilai itu memang segalanya. Nggak saya pungkiri, banyak orangtua yang tidak peduli dengan progress belajar anaknya sehari-hari (atau tidak paham, karena jujur saja di sini kota kecil yang masih banyak orang-orang desa kecil). Mereka hanya ingin bukti berupa nilai ulangan. Kalau nilainya bagus, berarti sekolahnya bagus. Padahal belum tentu itu nilai hasil pemikiran anaknya sendiri.

Yang kedua, kebiasaan sejak kecil. Yang namanya watak, itu dibentuk saat kita anak-anak. Kalau sejak kecil kita diajari untuk curang, ya pelajaran itulah yang akan terus melekat sampai besar. Atau mungkin, sebaliknya. Kalau tidak diajari untuk tidak curang, kita bisa saja berteman dengan seseorang yang curang, lalu menganggapnya boleh untuk diikuti. Nah, kalau sudah terbiasa begini, sampai besar pun kita akan menganggap kecurangan itu bukanlah sesuatu yang salah.

Soalnya begini. Saya amati teman-teman saya. Kalau menurut saya sih, mereka melakukannya dengan santai. Sama sekali tidak ada rasa bersalah. Ketahuan guru pun bukan masalah. Saya sindir pun bukan masalah. Jadi saya simpulkan, bagi mereka itu sesuatu yang biasa dan tidak melanggar peraturan.

Yah, kalau mentalnya seperti ini, tidakkah rasanya seperti melihat calon koruptor?

Saya di sini bukannya menghakimi atau bersarkasme. Saya cuma ingin mengungkapkan, ini lho kenyataan di lapangan. Dan setelah tahu kenyataannya, apa yang harus dilakukan agar masalah ini ketemu solusinya?

Kalau menurut hemat saya, yang paling efektif ya tindakan pencegahan. Jangan sampai bibit-bibit kecurangan itu tubuh di hati anak. Kalau istilah guru kimia saya, "Kejujuran itu hanya bisa diajarkan waktu anak masih kecil."

Terus untuk yang sudah besar, bagaimana? Yah, mungkin shock therapy bisa dicoba. Hukum anak-anak yang menyontek. Beri ancaman yang nggak main-main. Beri pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya sikap jujur. Dan, banyak-banyak doa. Hehe. Habis, mau bagaimana lagi?

Saya salut pada guru matematika saya yang pernah menghukum teman saya berdiri di depan kelas karena dia membantu dan memberi jawaban pada teman-temannya saat ulangan. Saya salut pada guru bahasa Inggris dan guru BK saya yang sangat ketat dalam mengawasi ujian, dan tidak segan menunjuk mereka yang ketahuan curang. Saya salut sama semua guru yang nggak capek-capeknya menekankan dan mengingatkan kami untuk tidak curang.

Saya yakin nggak ada guru yang mendorong anaknya untuk curang. Nah, kepada semua guru, baik yang formal maupun informal, terima kasih banyak. [Hei, saya ini guru informal lho! Guru privat sukarela buat teman-teman sekelas maksudnya. Hahaha. Saya ikut merasa bahwa mengingatkan mereka untuk menggunakan kemampuan sendiri adalah kewajiban saya.] Terima kasih sudah jadi orangtua kedua, yang berusaha membimbing kami semua, berusaha menjaga kami agar terus di jalan yang benar. Terima kasih atas perhatian dan kerja keras kalian selama ini. Terima kasih, walaupun mungkin kami nggak terlalu sesuai harapan. Hehe.

Selain terima kasih, saya ucapkan "Lanjutkan!" Mari kita lakukan yang terbaik demi kemajuan pendidikan Indonesia. Semoga penyakit curang ini bisa berkurang, kalau bisa sih hilang seutuhnya. Bukan cuma di kota saya tapi juga di seluruh Indonesia. Hidup Indonesia!

No comments:

Post a Comment