Vianna Orchidia (c) 2012
Fantasy Alright
Aku bernyanyi-nyanyi kecil sembari
menyusuri jalan setapak yang ada di taman. Siang ini, tumben tidak
tampak seorang pun berada di sini; padahal biasanya, entah pada jam
berapa saja, pasti ada beberapa orang duduk-duduk di bangku yang
tersebar di taman. Kurasa ini keberuntunganku. Aku bisa bebas
melakukan apapun yang aku mau, tanpa harus menjaga image.
Senyumku melebar, kubentangkan tangan
lebar-lebar. Cuaca saat ini cerah, matahari bersinar terang, tapi
tidak menyengat karena awan-awan masih melindungi. Belum lagi angin
sepoi-sepoi yang menyejukkan ini. Benar-benar hari yang sempurna. Aku
sangat ingin menari di bawah langit yang bersahabat ini.
Berhubung tidak ada yang orang di sini,
dengan santai aku mulai berputar-putar. Hangatnya mentari di kulit
kujadikan sumber energi untuk terus menari, melompat-lompat kecil,
dan bersenandung mengiringi langkah. Sungguh. Nyaman sekali bisa
melakukan ini.
“Kamu semangat banget,” komentar
seseorang dari balik punggungku. Suara laki-laki, yang sudah sangat
kukenal. Tanpa menghentikan tarianku, aku berbalik menatapnya.
“Mataharinya hangat,” jawabku,
sambil tersenyum manis.
Laki-laki itu ikut tersenyum, geli.
Rambutnya yang sudah mulai panjang bergerak-gerak mengikuti anggukan
kepalanya. “Benar. Hangat.”
Aku melemparkan satu cengiran lebar
sebelum mulai melompat-lompat lagi. Kali ini aku menaiki undakan
pembatas pinggir jalan setapak ini, meniti langkah hari-hati di
deretan bata yang sempit itu. Aku merentangkan tangan untuk menjaga
kesimbangan. Bukannya aku tidak pernah melakukannya; justru aku suka
sekali berjalan di pinggiran seperti ini. Rasanya ada suatu kepuasan
tersendiri untuk berdiri di tempat yang sedikit lebih tinggi. Dan
adrenalin di darah yang sedikit meningkat dalam tiap langkah awas,
kusambut dengan senang hati.
Ketika lagu yang kusenandungkan
berakhir, langkahku pun terhenti, masih di atas pembatas jalan. Aku
berbalik, kembali menatap lelaki itu. “Kenapa?” tanyaku. Dapat
kurasakan sejak tadi matanya melekat pada segala tingkah ajaibku.
“Nggak apa-apa,” ucapnya singkat.
“Lanjutin aja. Aku ikutin kamu.”
Tawaku meledak. “Ngejek, nih...”
Lelaki itu menggaruk
kepalanya. “Nggak, nggak. Bukan ngejek. Beneran.”
Aku menutup mulut untuk menahan tawa,
sementara melangkah turun dari tempatku bertengger. “Aku merasa
diejek lho,” gerutuku, untuk menambah kebingungannya.
Namun sayang, usahaku menggodanya tidak
berhasil. Dia malah menggelengkan kepala dan berjalan mendekatiku
dengan tenang. Cih, saling meledek seperti ini sudah terlalu sering
terjadi, dia pun sudah tidak mempan dengannya.
Setelah berada di sampingku, dia menjitak sisi kepalaku pelan—cukup
pelan hingga tidak terasa sakit sama sekali.
“Ayo,” ajaknya singkat. Aku
mengangguk, dan bersama dengannya melanjutkan acara jalan-jalan hari
ini. Aku masih dengan lompatan dan tarian kecil, dia masih dengan
tatapannya yang tak pernah lepas dariku.
Matahari masih bersinar, hangat di hati
kami.
-FIN-
A/N:
Argh this is just overly cuuuute! Excessive sweetness! /shot
Ini ditulis berdasarkan mimpi. Cuma satu scene mimpi sih (cuma bagian itu yang saya ingat). Oh and that scene just demanded me to write it down, down, down! >w<
No comments:
Post a Comment