Friday, June 15, 2012

The Last Game

The scent of sun,
The blissful sum of wind,
The laughter of mirth,
Vianna desu.

[copycat much, I know]

Kyou, I bring the report of my class' male team of football competition.


The match started around 3 p.m (while the schedule said 2.30, well you know the drill). Sejak awal, terlihat bahwa permainan ini akan seru--lawan kami memang kuat. Coach yang merangkap anggota tim pun menuturkan pada saya, kalau kami hanya akan bermain defensif. Tim lawan yang main agresif tidak sebaiknya ditanggapi dengan ofensif pula.

Kali ini, supporter tidak banyak berteriak. Tegang terlalu melahap diri kami semua.


Di babak pertama, ternyata gawang kami kebobolan sekali.

Sejak itu, tim kami beralih-alih dalam strategi. Kadang menyerang, kadang bertahan. Setidaknya kami perlu menyamakan kedudukan. Namun tidak semudah itu. Permainan lawan tidak begitu mudahnya dirobek. Sering kami mendesak mereka mundur, namun bola selalu saja berhasil dibawa ke tengah kembali.

Maju, mundur. Maju, mundur.

Satu orang dari tim lawan harus keluar karena hidungnya berdarah. Satu orang dari tim kami harus keluar karena cedera.


Breathtakingly intense.

Suasana tegang itu sedikit tergantikan oleh ledak tawa di babak kedua.

Kiper tim kami, sebut saja Edith, ternyata tidak 'se-kiper' yang kami kira. Memang, tangkapannya bagus. Lompatannya tinggi. Semangatnya juangnya tak terukur. (Oh, he pulled some stunts like backroll, flip-flop, something like that). Bahkan saya memujinya sebagai kiper yang keren.

How wrong I was. He's beyond 'keren'.

Sepertinya Edith sudah mulai 'capek' melihat teman-teman setimnya tidak kunjung berhasil menguasai bola. Dia 'capek' hanya menunggu di depan gawang. Dan dia pun MAJU KE DEPAN. Dia ikut bermain di tengah--bahkan di depan gawang lawan!

Bagaimana dengan gawang kami, kau tanya?

Kosong.

Demi Tuhan, kami para supporter--tidak, bahkan penonton biasa yang netral juga--berteriak-teriak histeris menyuruhnya kembali menjaga gawang. Namun, tiap kali dia kembali, beberapa saat kemudian dia maju lagi. Kami berteriak, dia kembali. Lalu kembali ke depan.

[Saya sampai lupa untuk memotret. Terlalu histeris untuk melakukan hal remeh begitu. Yah, walaupun jadinya tidak ada kenang-kenangan konkret tentang kejadian ini.]

Hingga akhirnya, apa yang kami takutkan terjadi sudah. Bola berhasil dimasukkan ke dalam gawang kami di saat sang kiper terlalu di depan dan tidak sempat terbang ke posisinya.

And, as if on cue, the whistle screamed, telling us the match is over.


The 'best' ending ever.

Yah, tapi tetap saja, teman-teman saya bermain sangat bagus. Ditambah dengan ulah Edith yang gila, ini adalah permainan paling seru yang ada sejauh ini. Lol.

And this is the end of my report.
Until next time then.

No comments:

Post a Comment