Friday, June 29, 2012

[Orific] Dunia dalam Matanya

Summary: Dia bukan perempuan biasa. Tubuhnya tidak biasa, jiwanya tidak biasa. Dunia yang terlihat dalam matanya, jelas bukan dunia biasa pula.
A/N: A quick story, inspired by photos I took with my handphone's cam. Done in about... an hour? No, less than an hour. 
Please enjoy.

Dunia dalam Matanya 

(c) Vianna Orchidia

“Nona, sebaiknya anda masuk ke dalam. Anginnya makin kencang.”

Perempuan berambut hitam panjang dengan sedikit ikal di ujung itu tidak menggubris. Terus saja diam, menatap kejauhan. Sorot matanya sulit ditebak—sekilas tampak menikmati aliran udara di sekitarnya, tapi dari sudut pandang lain, ia tampak bersedih. Dagunya ditopangkan di atas tangan, sama sekali tidak terusik anak rambut yang sibuk menari di antara angin.

Perempuan itu kurus, dan kulitnya sedikit terlalu putih sehingga terlihat pucat. Wajahnya tirus dengan tulang pipi yang menonjol. Dilihat sekilas saja, semua orang juga tahu kalau ia sakit. Sakit yang menahun, yang merenggut kecantikan alaminya. Meskipun begitu, kedua matanya tetap indah—ada sinar yang tak terbendung di dalam bola mata berwarna cokelat muda itu.

Nona...” Pelayan yang masih berumur sekitar dua belas tahun itu berjalan mendekati nonanya. Takut-takut dia mencoba menangkap pandangan si perempuan. “Nona, ayo masuk, nanti anda masuk angin...”

Bukannya jawaban atas bujukannya, malah pertanyaan aneh yang pelayan itu dapatkan. “Eh, Endah... Di daerah sini masih banyak sawah ya?”

Tentunya Endah, pelayan cilik itu, terkejut karena tidak menyangka akan ditanyai begitu. Dengan polos dia menjawab, “Iya, Nona. Ini kan cuma kota kecil, jadi belum banyak bangunan. Masyarakatnya juga masih ndeso.”

Senyum kecil muncul di hadapan si nona. “Kok ndeso? Menurutku malah keren, tradisional banget. Kayak itu tuh,” ia menunjuk ke arah kerumunan ibu-ibu bercaping yang memukuli batangan padi ke sebuah alat, “dari tadi aku perhatiin. Ibu-ibu itu udah kerja entah dari jam berapa. Tapi mereka tetap semangat, tetap bekerja keras.”

Ya namanya juga cari makan, Nona...”

Itulah. Mereka paham esensi dari bekerja itu sendiri, mereka lalui itu semua dengan tiap tetes keringat, dan nanti malam hidangan di rumah mereka pasti terasa begitu nikmat. Mereka hargai butiran nasi itu dengan rasa capek.” Dia terdiam sebentar, lalu meneruskan dengan suara jauh lebih pelan, “nggak seperti aku... Kadang aku nggak mau makan, padahal udah susah-susah disiapin sama Mbak Diyah.”

Si pelayan kecil menggerak-gerakkan kakinya, tampak tidak nyaman dengan percakapan yang tidak biasa ini. “Nona... Kok tiba-tiba ngomongin ini sih?”

Lagi-lagi si nona tidak menjawab. Dia kembali mengalihkan pandangan ke hamparan sawah yang menguning. “Di sini anginnya kenceng. Seger. Nggak kayak di Jakarta.”

Endah cuma bisa mengangguk.

Di sini tenang... banget. Aku suka suasananya. Masyarakatnya juga ramah, senyum sama aku padahal kita nggak kenal... Nggak kayak di Jakarta.”

Orang desa ya begitu itu, Nona.”

Iya ya? Masih terasa kekeluargaannya ya?” gumam perempuan itu lebih pada dirinya sendiri. “Ndah, kamu sendiri dari desa seperti ini kan?”

Iya. Tapi bukan di sini, desa saya di Jawa Barat.”

Suasananya mirip di sini nggak?”

Mirip, Nona.”

Kamu kangen nggak?”

Endah sesaat tercenung. Dia mengingat-ingat desa yang sudah dia tinggalkan dua tahun yang lalu demi bekerja pada keluarga kaya ini bersama ibunya. Teman-temannya. Rumah dari bambu yang bolong-bolong. Lalu membandingkannya dengan keadaan saat ini. “Kangen sih iya, Non, tapi ya biasa aja...”

Perempuan itu menunjuk beberapa anak kecil yang kebetulan berlari melintas membawa layang-layang. “Dulu, di desa kamu, kalian main layangan juga?”

Wah, yang main itu biasanya anak-anak cowok, Nona.”

Terus kamu mainnya apa dong?”

Macem-macem, kadang kita main rumah-rumahan, main engklek, atau petak umpet. Musiman juga sih, tergantung yang lagi nge-trend apa.”

Wah, ada musim mainan juga? Kok bisa?”

Endah tampak semakin bersemangat menceritakan keadaan desanya. “Iya, jadi misalnya main layangan. Nggak sepanjang tahun kita main layangan, Nona. Soalnya angin yang kencang dan cocok buat main layangan cuma ada sekitar pertengahan tahun.”

Ooh, jadi gitu...” Perempuan itu mengangguk senang. “Aku nggak pernah main seperti itu, Ndah. Selain nggak aman kalau lari-lari di jalanan Jakarta, aku juga nggak kuat. Dulu, kena angin dikit aja pasti langsung tumbang.”

Binar-binar semangat yang menguar dari si pelayan cilik langsung menguap seketika. Dia kembali bersedih mengingat kondisi kesehatan nonanya. Penyakit genetik membuat nonanya itu lemah sejak lahir—begitu kata ibunya selalu, walaupun dia tidak begitu mengerti 'genetik' itu apa. Yang pasti nonanya tidak pernah bisa bergerak terlalu banyak. Mereka bahkan memindahkannya ke pedesaan seperti ini untuk mendukung kesehatannya—udara di ibukota terlalu kotor, kata tuan besar.

Nona, masuk yuk? Kalau terlalu banyak kena angin bisa sakit...”

Sekali lagi si nona malah menertawakannya. Dia tergelak hingga hampir terjengkang dari tempat duduknya, dan susah payah memegangi perut yang sakit. Ledakan tawa ini membuat Endah kebingungan. Kenapa malah tertawa sampai begitu keras?

Ironis banget sih,” ujar perempuan muda itu pendek, masih terengah oleh humor. “Di Jakarta, aku nggak boleh lama-lama di luar karena udaranya kotor. Makanya aku dibawa ke sini. Eh, begitu di sini, aku tetap nggak boleh lama-lama di luar karena anginnya kencang. Terus aku harus gimana?”

Bagi Endah, itu tidak lucu sama sekali.

Mungkin aku saja yang terlalu kekanakan. Maunya pergi ke luar kayak anak-anak seusiaku. Masuk sekolah normal, nggak perlu manggil guru privat segala. Haha, padahal seharusnya dari awal aku sudah paham kondisiku sendiri, kan? Nasibku ya begini ini. Di dalem rumah terus.”

Nona...” Pelayan cilik itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Iya, iya, aku masuk sekarang.” Perempuan itu pada akhirnya bangkit, merapatkan kain yang disampirkan di bahunya. Dia menatap sawah sekali lagi, di mana ibu-ibu bercaping itu kini mulai melangkah pergi ke berbagi arah. Dia menatap hijau dan kuning padi yang begitu dekat, namun begitu jauh dari jangkauan. Dia menatap langit biru cerah yang berhiaskan layang-layang warna-warni saling beradu.



Dan dia membalik tubuh, kini menatap rumah sederhana di mana dia terkurung untuk seumur hidup.

Ya, inilah hidupnya. Sudah kenyang dia mengeluh, tidak ada gunanya. Lebih baik lakukan hal yang berguna. Seperti menulis banyak buku—percakapannya dengan Endah barusan, ditambah pemandangan di pinggiran kota kecil ini memberinya banyak sekali ide.

Endah menangkap senyum sedih dari si nona, namun paham sekali gestur dan bahasa mata yang ditunjukkan olehnya. Itu berarti si nona akan mengurung diri di kamar, menghadap laptop kesayangannya, mengetik begitu cepat hingga malam berlalu tanpa disadari. Dan apa lagi yang bisa dia lakukan, sebagai pelayannya yang setia, selain menunggui si nona hingga selesai (entah karena ceritanya memang sudah mencapai final atau idenya yang sudah mentok) sambil membaca buku-buku karangannya?

Endah sangat mengagumi nona yang satu ini. Ia sakit, namun tidak mau diam saja. Kepiawaiannya dalam literatur mengantarkannya ke penerbit dan menelurkan beberapa novel yang semuanya best seller. Katanya, novel-novel itu adalah bukti bahwa ia masih hidup—jiwanya masih terus berlari menembus imajinasi meski raganya terpasung di sebuah rumah.

Entah sampai kapan rutinitas ini akan terus berlanjut.


Batang-batang padi bergoyang melawan angin, seakan memberi janji bahwa mereka akan senantiasa mengawasi perjuangan perempuan itu, dan bila saatnya tiba nanti, mereka akan ikut menunduk dalam doa, mengantarkan kepergiannya ke surga yang tak berujung.

29062012
11.04
Duniaku, bukan duniamu. Mungkin bersinggungan di satu titik, namun lingkaran ini tetap milikku.
Photos are taken during the trip from Madiun to Tulungagung. It's somewhere in the outskirts of Madiun-Ponorogo.

No comments:

Post a Comment