Summary: Dia bukan perempuan biasa. Tubuhnya tidak biasa, jiwanya tidak biasa. Dunia yang terlihat dalam matanya, jelas bukan dunia biasa pula.
A/N: A quick story, inspired by photos I took with my handphone's cam. Done in about... an hour? No, less than an hour.
Please enjoy.
A/N: A quick story, inspired by photos I took with my handphone's cam. Done in about... an hour? No, less than an hour.
Please enjoy.
Dunia dalam Matanya
(c) Vianna Orchidia
“Nona, sebaiknya anda masuk ke dalam. Anginnya makin kencang.”
Perempuan berambut hitam panjang dengan
sedikit ikal di ujung itu tidak menggubris. Terus saja diam, menatap
kejauhan. Sorot matanya sulit ditebak—sekilas tampak menikmati
aliran udara di sekitarnya, tapi dari sudut pandang lain, ia tampak
bersedih. Dagunya ditopangkan di atas tangan, sama sekali tidak
terusik anak rambut yang sibuk menari di antara angin.
Perempuan itu kurus, dan kulitnya
sedikit terlalu putih sehingga terlihat pucat. Wajahnya tirus dengan
tulang pipi yang menonjol. Dilihat sekilas saja, semua orang juga
tahu kalau ia sakit. Sakit
yang menahun, yang merenggut kecantikan alaminya. Meskipun begitu,
kedua matanya tetap indah—ada sinar yang tak terbendung di dalam
bola mata berwarna cokelat muda itu.
“Nona...”
Pelayan yang masih berumur sekitar dua belas tahun itu berjalan
mendekati nonanya. Takut-takut dia mencoba menangkap pandangan si
perempuan. “Nona, ayo masuk, nanti anda masuk angin...”
Bukannya
jawaban atas bujukannya, malah pertanyaan aneh yang pelayan itu
dapatkan. “Eh, Endah... Di daerah sini masih banyak sawah ya?”
Tentunya
Endah, pelayan cilik itu, terkejut karena tidak menyangka akan
ditanyai begitu. Dengan polos dia menjawab, “Iya, Nona. Ini kan
cuma kota kecil, jadi belum banyak bangunan. Masyarakatnya juga masih
ndeso.”
Senyum
kecil muncul di hadapan si nona. “Kok ndeso?
Menurutku malah keren, tradisional banget. Kayak itu tuh,” ia
menunjuk ke arah kerumunan ibu-ibu bercaping yang memukuli batangan
padi ke sebuah alat, “dari tadi aku perhatiin. Ibu-ibu itu udah
kerja entah dari jam berapa. Tapi mereka tetap semangat, tetap
bekerja keras.”
“Ya
namanya juga cari makan, Nona...”
“Itulah.
Mereka paham esensi dari bekerja itu sendiri, mereka lalui itu semua
dengan tiap tetes keringat, dan nanti malam hidangan di rumah mereka
pasti terasa begitu nikmat. Mereka hargai butiran nasi itu dengan
rasa capek.” Dia terdiam sebentar, lalu meneruskan dengan suara
jauh lebih pelan, “nggak seperti aku... Kadang aku nggak mau makan,
padahal udah susah-susah disiapin sama Mbak Diyah.”
Si
pelayan kecil menggerak-gerakkan kakinya, tampak tidak nyaman dengan
percakapan yang tidak biasa ini. “Nona... Kok tiba-tiba ngomongin
ini sih?”
Lagi-lagi
si nona tidak menjawab. Dia kembali mengalihkan pandangan ke hamparan
sawah yang menguning. “Di sini anginnya kenceng. Seger. Nggak kayak
di Jakarta.”
Endah
cuma bisa mengangguk.
“Di
sini tenang... banget. Aku suka suasananya. Masyarakatnya juga ramah,
senyum sama aku padahal kita nggak kenal... Nggak kayak di Jakarta.”
“Orang
desa ya begitu itu, Nona.”
“Iya
ya? Masih terasa kekeluargaannya ya?” gumam perempuan itu lebih
pada dirinya sendiri. “Ndah, kamu sendiri dari desa seperti ini
kan?”
“Iya.
Tapi bukan di sini, desa saya di Jawa Barat.”
“Suasananya
mirip di sini nggak?”
“Mirip,
Nona.”
“Kamu
kangen nggak?”
Endah
sesaat tercenung. Dia mengingat-ingat desa yang sudah dia tinggalkan
dua tahun yang lalu demi bekerja pada keluarga kaya ini bersama
ibunya. Teman-temannya. Rumah dari bambu yang bolong-bolong. Lalu
membandingkannya dengan keadaan saat ini. “Kangen sih iya, Non,
tapi ya biasa aja...”
Perempuan
itu menunjuk beberapa anak kecil yang kebetulan berlari melintas
membawa layang-layang. “Dulu, di desa kamu, kalian main layangan
juga?”
“Wah,
yang main itu biasanya anak-anak cowok, Nona.”
“Terus
kamu mainnya apa dong?”
“Macem-macem,
kadang kita main rumah-rumahan, main engklek, atau petak umpet.
Musiman juga sih, tergantung yang lagi nge-trend
apa.”
“Wah,
ada musim mainan juga? Kok bisa?”
Endah
tampak semakin bersemangat menceritakan keadaan desanya. “Iya, jadi
misalnya main layangan. Nggak sepanjang tahun kita main layangan,
Nona. Soalnya angin yang kencang dan cocok buat main layangan cuma
ada sekitar pertengahan tahun.”
“Ooh,
jadi gitu...” Perempuan itu mengangguk senang. “Aku nggak pernah
main seperti itu, Ndah. Selain nggak aman kalau lari-lari di jalanan
Jakarta, aku juga nggak kuat. Dulu, kena angin dikit aja pasti
langsung tumbang.”
Binar-binar
semangat yang menguar dari si pelayan cilik langsung menguap
seketika. Dia kembali bersedih mengingat kondisi kesehatan nonanya.
Penyakit genetik membuat nonanya itu lemah sejak lahir—begitu kata
ibunya selalu, walaupun dia tidak begitu mengerti 'genetik' itu apa.
Yang pasti nonanya tidak pernah bisa bergerak terlalu banyak. Mereka
bahkan memindahkannya ke pedesaan seperti ini untuk mendukung
kesehatannya—udara di ibukota terlalu kotor, kata tuan besar.
“Nona,
masuk yuk? Kalau terlalu banyak kena angin bisa sakit...”
Sekali
lagi si nona malah menertawakannya. Dia tergelak hingga hampir
terjengkang dari tempat duduknya, dan susah payah memegangi perut
yang sakit. Ledakan tawa ini membuat Endah kebingungan. Kenapa malah
tertawa sampai begitu keras?
“Ironis
banget sih,” ujar perempuan muda itu pendek, masih terengah oleh
humor. “Di Jakarta, aku nggak boleh lama-lama di luar karena
udaranya kotor. Makanya aku dibawa ke sini. Eh, begitu di sini, aku
tetap nggak boleh lama-lama di luar karena anginnya kencang. Terus
aku harus gimana?”
Bagi
Endah, itu tidak lucu sama sekali.
“Mungkin
aku saja yang terlalu kekanakan. Maunya pergi ke luar kayak anak-anak
seusiaku. Masuk sekolah normal, nggak perlu manggil guru privat
segala. Haha, padahal seharusnya dari awal aku sudah paham kondisiku
sendiri, kan? Nasibku ya begini ini. Di dalem rumah terus.”
“Nona...”
Pelayan cilik itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
“Iya,
iya, aku masuk sekarang.” Perempuan itu pada akhirnya bangkit,
merapatkan kain yang disampirkan di bahunya. Dia menatap sawah sekali
lagi, di mana ibu-ibu bercaping itu kini mulai melangkah pergi ke
berbagi arah. Dia menatap hijau dan kuning padi yang begitu dekat,
namun begitu jauh dari jangkauan. Dia menatap langit biru cerah yang
berhiaskan layang-layang warna-warni saling beradu.
Dan
dia membalik tubuh, kini menatap rumah sederhana di mana dia
terkurung untuk seumur hidup.
Ya,
inilah hidupnya. Sudah kenyang dia mengeluh, tidak ada gunanya. Lebih
baik lakukan hal yang berguna. Seperti menulis banyak
buku—percakapannya dengan Endah barusan, ditambah pemandangan di
pinggiran kota kecil ini memberinya banyak sekali ide.
Endah
menangkap senyum sedih dari si nona, namun paham sekali gestur dan
bahasa mata yang ditunjukkan olehnya. Itu berarti si nona akan
mengurung diri di kamar, menghadap laptop kesayangannya, mengetik
begitu cepat hingga malam berlalu tanpa disadari. Dan apa lagi yang
bisa dia lakukan, sebagai pelayannya yang setia, selain menunggui si
nona hingga selesai (entah karena ceritanya memang sudah mencapai
final atau idenya yang sudah mentok) sambil membaca buku-buku
karangannya?
Endah
sangat mengagumi nona yang satu ini. Ia sakit,
namun tidak mau diam saja. Kepiawaiannya dalam literatur
mengantarkannya ke penerbit dan menelurkan beberapa novel yang
semuanya best seller.
Katanya, novel-novel itu adalah bukti bahwa ia masih hidup—jiwanya
masih terus berlari menembus imajinasi meski raganya terpasung di
sebuah rumah.
Entah
sampai kapan rutinitas ini akan terus berlanjut.
Batang-batang
padi bergoyang melawan angin, seakan memberi janji bahwa mereka akan
senantiasa mengawasi perjuangan perempuan itu, dan bila saatnya tiba
nanti, mereka akan ikut menunduk dalam doa, mengantarkan kepergiannya
ke surga yang tak berujung.
29062012
11.04
Duniaku, bukan duniamu. Mungkin bersinggungan di satu titik, namun lingkaran ini tetap milikku.
Photos are taken during the trip from Madiun to Tulungagung. It's somewhere in the outskirts of Madiun-Ponorogo.
No comments:
Post a Comment