Wednesday, July 8, 2015

Berdamai

"Pada akhirnya, aku bisa berdamai dengan diriku sendiri." Gadis itu menatap jauh ke horizon, senyumnya tipis dengan jejak-jejak luka yang ditanggungnya sendiri selama bertahun-tahun. Itu senyum seorang pejuang, yang garis antara menang dan kalah terburamkan oleh masa kini. Tangan kirinya meremas bagian depan bajunya, bagian yang berada tepat di atas jantung. "Karena kalau tidak, aku pasti hancur."

Sekarang gadis itu berdiam diri. Dia tidak terlihat bangga ketika mengatakan sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Dia hanya terlihat lelah. Mungkin berdamai tidak sama artinya dengan memenangkan pertempuran, aku menyadari. Mungkin iblis dalam hatinya masih ada di sana, membara menyerang isi tubuhnya hingga mengelupas, hingga bernanah. Tapi tak lagi dia melawan. Dia memilih untuk menjilat luka itu dalam diam dan menunggu hingga sang iblis berhenti, baru kemudian dia bisa berdiri tegak dan melangkah maju lagi.

Dia bukan gadis yang luar biasa, apalagi sempurna, tapi bagiku dia punya kilauan tersendiri. Aku tahu gadis itu selalu berusaha untuk mendengarkan kisah dari teman-temannya, menguatkan mereka, menemani mereka ketika tangis melanda--sementara dia sendiri selalu bersikap seolah tidak ada masalah. Ada waktu di mana aku menunggu gadis itu datang padaku, untuk menceritakan keluh kesahnya, tapi tidak pernah hal itu terjadi. Dia selalu berhasil mengenali kekurangannya sendiri, dan berhasil mengatasi masalah-masalahnya sendiri. Dia bukan gadis yang kuat, tapi jelas dia tidak lemah.

Aku melihat senyumnya yang masih setipis tadi, dengan napas yang sedikit bergetar, dan aku terpesona.

No comments:

Post a Comment