Lagi nggak ada kerjaan. Re-publish orific yang ada di FictionPress ke sini ah~
Vianna Orchidia (c) 2012
EXORBITANT
Siang
itu agak beda dari biasanya. Setelah pulang sekolah, aku masih harus
mengikuti tambahan pelajaran dalam rangka persiapan lomba. Babak final
lomba ekonomi yang aku ikuti sudah makin dekat sih, jadi guru ekonomiku
pun ikut-ikutan intens memberi materi. Berkali-kali aku melirik keluar
kelas, dan berkali-kali pula aku mendesah melihat halaman sekolah yang
sudah sepi. Untunglah, Bu Indah sepertinya sadar kalau aku kurang
berkonsentrasi mendengarkan instruksinya, jadi beliau memutuskan untuk
mengakhiri tambahan pelajaran hari ini.
"Saya ngerti kalau kamu
capek, Shin. Hari ini cukup sekian ya. Ingat, jaga kesehatan. Kami
mengharapkanmu," ujar beliau sambil menepuk pundakku. Senyumnya ramah
dan tipe keibuan banget, makanya aku suka sama beliau. Aku pun balas
tersenyum dan menggangguk.
Bu Indah sudah keluar kelas saat aku
membenahi barang-barangku. Dan saat aku akhirnya beranjak keluar dengan
tas di punggung, aku sempat melihat mobilnya menderu keluar gerbang
sekolah. "Tsk, aku yang capek kok Bu Indah yang pulangnya lebih cepet?"
gumamku pada diri sendiri.
Aku memandang langit yang gelap.
Aduuuh, kalau nggak cepat-cepat pergi, aku bisa kehujanan! Makanya aku
berlari-lari kecil menuju lapangan parkir, di mana tinggal motorku
berdiri tegak. Setelah memutar kunci kontak, aku langsung menyalakannya
dan melaju. Tapi...
Takdir tak berpihak padaku hari ini.
Hujan tiba-tiba turun, langsung deras pula!
"Aaaa!
Siaaal!" Tanpa daya aku terpaksa memarkir motorku di depan masjid
sekolah, dan berteduh di sana. Aku menatap kesal bulir-bulir air yang
menderu jatuh dari langit. "Kenapa harus hujan sekarang? Argh! Nggak
bisa pulang deh! Kalo gini kan mending tambahan terus sama Bu Indah!"
teriakku pada langit. Seperti orang gila saja.
Percuma marah-marah pada alam,
pikirku. Aku pun memilih duduk, menopang dagu dengan kedua tangan.
Nggak ada kerjaan, aku hanya menatap seluruh sekolah. Baru aku sadar,
kenapa nggak ada orang sama sekali? Padahal biasanya sekolahku itu nggak
pernah sepi. Adaaa saja kelompok-kelompok kecil yang bertahan di
sekolah, entah untuk mengerjakan tugas ramai-ramai atau ada ekskul atau
cuma bermain bola. Aneh deh. Aku mengingat-ingat, hari apa sekarang.
Rasanya nggak ada sesuatu yang spesial deh.
Nah, whatever.
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya beberapa derajat di bawah jam tiga.
Sudah jam segini? batinku.
"Ngapain
ya...? Nggak bawa novel nih. Masa baca buku ekonomi lagi? Dih,
amit-amit," aku berujar pada diriku sendiri. Toh nggak ada orang ini.
Nggak ada yang lihat aksi gilaku yang bicara panjang lebar seorang diri.
"Mmm...
Ngantuk..." Aku baru saja berpikir untuk merebahkan badan di lantai
masjid yang dingin ini, saat mendengar denting alat musik dari balik
suara hujan. Otakku langsung waspada. Ternyata sekolahku nggak
'sekosong' yang kukira.
Aku mendengarkan dengan seksama. Hujan
sudah agak reda, jadi suara alat musik itu makin jelas. Ini suara
gitar... dan indah sekali. Tipe permainan profesional lah. Dahiku
berkerut sementara aku mempelajari nada-nada itu. Mungkinkah ini
rekaman, yang disetel pakai komputer atau apa? Ah, nggak. Aku cukup
yakin ini
live.
Penasaran tingkat dewa menyelimutiku. Aku
berusaha melacak arah sumber suara ini. Kanan, kiri? Setelah menoleh ke
segala arah beberapa kali, disertai menajamkan pendengaran, akhirnya aku
menyimpulkan kalau suara ini berasal dari lantai atas. Lebih tepatnya,
di ujung barat balkon, dekat dengan kelasku. Kuputuskan untuk pergi
mengeceknya.
Di sekolah yang teramat sepi ini, aku melangkah
perlahan-lahan. Selain ingin menghindari percikan air hujan, aku juga
nggak tega merusak nada-nada indah ini. ...oke, mungkin aku juga takut
kepergok. Pokoknya, aku meminimalisir bunyi sepatuku, bahkan saat meniti
tangga.
Sip, aku sudah sampai di lantai dua. Sekarang tinggal
menoleh ke arah kanan untuk memastikan apakah deduksiku kali ini tepat.
Yaaak, satu, dua, tiga...
—dan aku terpana.